Memahami Peraturan Perundang-undangan
Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Di kalangan banyak orang, termasuk ormas yang mengambil konsentrasi pada penegakan hukum terlebih masyarakat awam, sering muncul kebingungan, bahkan kekeliruan dalam memahami peraturan perundang-undangan, dan untuk sebagian berdampak pada kekeliruan dalam mengambil sikap hukum tertentu. Sebab jangan dikira semua produk yang dikeluarkan oleh pejabat/lembaga negara adalah peraturan perundang-undangan.
Produk hukum baik yang berupa peraturan perundang-undangan maupun yang bukan berupa peraturan perundang-undangan dilihat dari segi jenis dan jumlahnya sangat beragam, dapat mencapai ribuan yang masih berlaku sampai hari ini.
Produk hukum baik yang berupa peraturan perundang-undangan maupun yang bukan berupa peraturan perundang-undangan dilihat dari segi jenis dan jumlahnya sangat beragam, dapat mencapai ribuan yang masih berlaku sampai hari ini.
Dari segi jenisnya, ada yang berupa Peraturan Pemerintah (Pp), Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), Peraturan Presiden (Perpres), Instruksi Presiden (Inpres), Penetapan Presiden, Keputusan Presiden (Kepres), Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), keputusan yang dibuat oleh beberapa menteri yang lazim dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB), Perda Provinsi, Perda Kabupaten, Perda Kota, Peraturan Gubernur, Keputusan Gubernur, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Peraturan Walikota, Keputusan Walikota, peraturan desa (perdes), Peraturan Kepala Desa, Keputusan Kepala Desa.
Selain itu masih ada lagi Peraturan Mahkamah Agung (Perma), Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Semuanya itu jumlahnya sangat banyak baik dibuat dalam tahun-tahun yang sama maupun dalam rentetan tahun-tahun yang berbeda.
Persoalan ini dipelajari dalam ilmu hukum khususnya ilmu perundang-undangan yang merupakan bagian dari ilmu hukum tata negara. Dalam ilmu perundang-undangan inilah dipelajari secara spesifik pembicaraan mengenai peraturan perundang-undangan.
Semua tulisan yang saya buat adalah dengan berdasar kepada keilmuan saya di bidang hukum tata negara.
Adapun dalam tulisan saya ini, saya hanya membahas secara umum saja masalah ini. Jika ingin mengerti secara lebih mendetil, silahkan baca tulisan saya dalam:
1. Perihal Ilmu Perundang-undangan;
2. Perihal Putusan Pengadilan;
3. Keputusan Mendagri Berhentikan Bupati Rokan Hulu Menyalahi Kaidah Hukum;
4. Juga ada disinggung dalam, Perihal Konvensi Ketatanegaraan; dan
5. Ambiguitas Fungsi Mahkamah Konstitusi, Positive Legislator atau Negative Legislator.
Karena banyak jumlahnya produk hukum yang dibentuk oleh Negara (pemerintah), maka perlu disusun kedalam sebuah tertib hukum agar tertata dengan baik.
Sebab jika tidak ditata dengan baik maka akan selalu terjadi tumpang tindih, bertentangan antara yang satu dengan lainnya. Kalau sudah demikian maka akan mengacaukan penyelenggaraan pemerintahan dan peradilan.
Diantara semua produk hukum itu tentulah ada yang kedudukannya diperlakukan harus lebih tinggi, dan harus pula ditentukan mana produk hukum yang posisinya lebih rendah atau mana yang sederajat.
Jika tidak ada penataan yang baik dan teratur, maka sangat menyulitkan bagi para pencari keadilan, lembaga penegak hukum (advokat, polisi, jaksa, hakim) dalam proses penegakan hukum ketika terdapat tindakan yang melanggar hukum baik oleh pemerintah maupun antar sesama warganegara sendiri.
Seperti Mahkamah Agung misalnya, bahwa Mahkamah Agung itu berdasarkan kewenangan konstitusionalnya (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945) berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang. Tentulah menjadi persoalan ketika diajukan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan itu, dan peraturan perundang-undangan yang manakah yang dimaksudkan kedudukannya itu berada dibawah undang-undang.
Demikian juga halnya dengan wewenang konstitusional Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, berwenang menguji undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Bagi orang yang awal-awal belajar hukum apalagi buat masyarakat umum yang besar minatnya tentang masalah ini tentu menjadi pertanyaan juga, dimanakah posisi undang-undang itu ketika dihadapkan kepada UUD 1945.
Berdasar kepada pertimbangan-pertimbangan itulah maka perlu diadakan tertib peraturan perundang-undangan. Karena itu disahkanlah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lahirnya undang-undang ini sebagai jawaban atas semua seluk beluk pertanyaan yang diajukan dimuka.
Pada Pasal 7 ayat (1) undang-undang itu ditegaskan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
a. UUD 1945;
b. Ketetapan MPR (Tap MPR);
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Urutan diatas menjadi penentu tingkatan peraturan perundang-undangan itu. Jadi jelaslah bahwa UUD 1945 adalah yang paling tinggi kedudukannya dibawahnya ada Ketatapan MPR, dan terus kebawahnya. Atau ketika diajukan pertanyaan manakah yang lebih tinggi dan manakah yang lebih rendah kedudukannya perda provinsi atau Peraturan Presiden, tidak akan ada keraguan lagi. Perda provinsi berada dibawah Peraturan Presiden.
Tingkatan seperti mana termaktub dalam pasal tersebut juga menjadi patokan untuk memastikan bahwa tidak boleh ada materi/substansi (isi) suatu peraturan perundang-undangan itu yang bertentangan dengan peraturan tingkat diatasnya. Peraturan di tingkat atas menjadi dasar, acuan, referensi bagi pembentukan peraturan yang lebih rendah.
Jika terjadi pertentangan norma (isi) maka seperti telah saya singgung dimuka sudah tersedia mekanisme pengujian atau norm control mechanism diantaranya menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi lah tempat untuk menyelesaikan persoalan itu melalui praktik judicial review (baik berupa pengujian materil maupun pengujian formil).
Memang benar bahwa yang dibicarakan secara eksplisit dalam pasal tersebut hanya beberapa produk hukum saja, tidak seperti yang saya sampaikan di muka bahwa sangat banyak jumlah dan jenisnya produk hukum itu.
Adapun mengapa hanya produk hukum yang demikian saja yang ditegaskan kedudukannya secara eksplisit, sebab itulah produk hukum yang menjadi acuan pokok dan yang harus dijadikan patokan bagi pembentukan produk hukum yang lain.
Sementara itu dalam Pasal 8 UU No. 12/2011 tersebut diakui ada lebih banyak jenis peraturan perundang-undangan. keberadaan dan kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-undangan dimaksud diakui selama tidak bertentangan dengan pengaturan hierarki yang pokok sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) seperti yang telah dijelaskan di muka.
Sementara itu dalam Pasal 8 UU No. 12/2011 tersebut diakui ada lebih banyak jenis peraturan perundang-undangan. keberadaan dan kekuatan hukum mengikat peraturan perundang-undangan dimaksud diakui selama tidak bertentangan dengan pengaturan hierarki yang pokok sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) seperti yang telah dijelaskan di muka.
Peraturan perundang-undangan lain yang dimaksudkan dalam Pasal 8 itu diantaranya adalah Peraturan DPR, Peraturan DPD, Peraturan DPRD, Peraturan Menteri, Peraturan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), Peraturan Mahkamah Agung (Perma), Peraturan Komisi Yudisial, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi, Peraturan Kapolri, Peraturan Badan Pengawas Pemilu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum, dan sebagainya dan sebagainya.
Setiap undang-undang kedudukannya sederajat (setara) sebab jenis/bentuknya sama-sama undang-undang. Hanya masalah atau substansi yang diatur di dalamnya saja yang berbeda-beda. Misalnya UU No. 42 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian. Semuanya adalah undang-undang karena itu kedudukannya sederajat.
Mengapa tidak dibuatkan saja cukup satu undang-undang saja, tidak perlu berpuluh-puluh, atau ratusan banyak jumlahnya undang-undang itu?, sangat tidak mungkin untuk semua hal, semua peristiwa diatur dalam satu undang-undang. Juga karena keterbatasan kemampuan dan daya fikir yang dimiliki manusia.
Sebab masalah yang dihadapi, yang berkembang di masyarakat sangat banyak dan beragam, dan dari waktu ke waktu selalu menunjukkan dinamikanya sendiri-sendiri. Secara umum dapat dikelompokkan masalah di masyarakat dalam konteks berbangsa dan bernegara diantaranya meliputi: politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, agama.
Di setiap macamnya itu memiliki kerumitan, corak dan dinamikanya sendiri-sendiri. Terlebih kemampuan berfikir manusia yang terlibat merumuskan suatu undang-undang itu juga sangat terbatas, dibatasi dan dipengaruhi oleh ruang dan waktu tempat dimana zaman dan lingkungan manusia itu hidup ketika suatu peraturan perundang-undangan dibentuk.
Karena itulah dalam ajaran soiologis dibidang hukum mengatakan, "ketika masyarakat berubah maka selalu berdampak terhadap pembaharuan hukum". Maksudnya jika masyarakat berubah pola hidupnya dan kebutuhannya terhadap benda maka peraturan hukumpun akan berubah, sebab hukum itu ilmu sosial, dia berjalan paralel dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Masyarakat berubah maka hukumpun ikut mengalami perubahan. Walaupun seringkali hukum tidak dapat mengimbangi laju dinamika masyarakat.
Jika hukum tidak berubah, maka jadilah dia hukum yang usang yang tertinggal oleh zamannya. Kalau sudah demikian halnya, bila dipaksakan pun pemberlakuannya maka ia akan kehilangan kewibawaan sebab tidak Lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Soal jenis dan kedudukan hukum suatu peraturan perundang-undangan, ada peraturan perundang-undangan yang berbeda bentuk formalnya tetapi kedudukannya sederajat. Yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) kedudukannya sederajat dengan Undang-Undang. Mengapa demikian, sebab Perppu itu hakikatnya undang-undang juga, bajunya (bentuk formalnya) Peraturan Pemerintah tetapi isinya (materi muatannya) adalah undang-undang.
Soal jenis dan kedudukan hukum suatu peraturan perundang-undangan, ada peraturan perundang-undangan yang berbeda bentuk formalnya tetapi kedudukannya sederajat. Yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) kedudukannya sederajat dengan Undang-Undang. Mengapa demikian, sebab Perppu itu hakikatnya undang-undang juga, bajunya (bentuk formalnya) Peraturan Pemerintah tetapi isinya (materi muatannya) adalah undang-undang.
Singkatnya Perppu adalah undang-undang yang dibentuk dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, keadaan darurat atau dalam keadaan bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan berkaitan pula dengan Pasal 12 UUD 1945 serta diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.138/PUU-VII/2009. Walaupun mengenai Perppu dan undang-undang saya berbeda pendapat, analisis perihal itu saya tuangkan kedalam Skripsi saya dengan judul "Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya".
Hal yang tidak kurang pentingnya dibicarakan dalam tulisan ini adalah produk hukum berupa keputusan yang berisi atau bersifat penetapan administratif (beschikking) dan keputusan yang bersifat penghukuman (vonnis) yaitu putusan pengadilan tidak termasuk kedalam kategori cakupan atau ruang lingkup peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, keputusan administratif, penetapan dan putusan pengadilan bukanlah peraturan perundang-undangan.
Untuk menentukan apakah suatu produk hukum peraturan perundang-undangan atau bukan, Pasal 1 angka 2 UU No.12 Tahun 2011, telah memberikan batasan yang tegas dalam rumusan pasalnya dengan menyatakan bahwa, "Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan".
Dalam rumusan pasal itu ada beberapa syarat untuk dapat disebut dan diakui suatu produk hukum itu adalah peraturan perundang-undangan. Syarat itu adalah:
1. Bersifat tertulis, tertulis disini maksudnya dalam suatu naskah formal;
2. Memuat norma hukum;
3. Mengikat secara umum;
4. Pembentukannya oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang.
Kalau kita kaitkan dengan keputusan administratif (beschikking) maupun keputusan yang bersifat penghukuman (vonnis, yaitu putusan pengadilan), maka dapat dipastikan sudah memenuhi dua persyaratan di awal dan syarat yang ke empat yaitu syarat tertulis, memuat norma hukum dan dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang.
Adapun untuk syarat yang ketiga tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya salah satu diantara persyaratan itu maka saya berpendapat sudah dengan sendirinya semestinya tidak layak disebut peraturan perundang-undangan. Karena itulah keputusan administratif (seperti Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati, Keputusan Walikota, Keputusan Komisi Pemilihan Umum, dan keputusan administratif lembaga negara lainnya), Penetapan dan Putusan atau vonnis pengadilan bukanlah peraturan perundang-undangan. Demikian pula Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) tidak dapat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, kendatipun diletakkan di urutan teratas dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Mengenai penempatan Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan ini memiliki sejarahnya sendiri, mungkin akan saya bahas pada tulisan lain secara tersendiri.
Karena itu salah besar jika dikatakan semua produk hukum pejabat/lembaga negara semuanya adalah peraturan perundang-undangan. Selain itu harus pula dipahami selain produk hukum baik yang berupa peraturan perundang-undangan maupun yang bukan berupa peraturan perundang-undangan, dikenal pula ada produk kebijakan yang lazimnya disebut peraturan kebijakan (beleidsregel, freies ermessen atau diskresi).
Karena itu salah besar jika dikatakan semua produk hukum pejabat/lembaga negara semuanya adalah peraturan perundang-undangan. Selain itu harus pula dipahami selain produk hukum baik yang berupa peraturan perundang-undangan maupun yang bukan berupa peraturan perundang-undangan, dikenal pula ada produk kebijakan yang lazimnya disebut peraturan kebijakan (beleidsregel, freies ermessen atau diskresi).
Dalam konteks ilmu perundang-undangan, dikenal ada beberapa sifat-sifat norma yang melekat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Ada sifatnya mengatur (regeling), ada dauer haftig (berlaku terus menerus), ada sifatnya enmaligh (sekali selesai), ada pula bersifat umum dan abstrak, atau bersifat konkret dan individual. Meski masih dapat pula dibedakan sifat norma hukum kedalam norma imperatif (keharusan) dan norma fakultatif (pilihan).
Keputusan admnistratif dan vonnis itu keduanya adalah produk hukum yang bersifat konkret dan individual. Dan terkait pemberlakuannya melekat pula sifat enmaligh (sekali selesai).
Enmaligh artinya bahwa suatu keputusan, putusan, penetapan, atau ketetapan (istilah beda-beda, tapi hakikatnya sama) itu mengandung dua keharusan. Pertama, berlaku seketika diucapkan, diumumkan, atau ditetapkan. Kedua, tidak boleh ditunda pemberlakuannya setelah secara resmi diumumkan, diucapkan atau ditetapkan.
Sementara konkret dan individual membatasi dirinya berlaku umum dan untuk peristiwa yang tidak tertentu. (Lebih rinci baca tulisan saya dalam "Perihal Ilmu Perundang-undangan"). Dengan demikian beschikking dan vonnis itu bukan peraturan perundang-undangan.
Sebab peraturan perundang-undangan itu terbatas hanya terhadap produk hukum yang dibuat oleh lembaga politik dan bersifat mengatur. Atau setidak-tidaknya peraturan yang dibuat oleh lembaga yang bukan lembaga politik seperti peraturan Mahkamah Agung dan peraturan Mahkamah Konstitusi tetapi perintah pembentukannya itu berdasarkan amanat undang-undang sebagai produk politik yang dibuat oleh lembaga politik (DPR dan Presiden).
Sedangkan keputusan administratif pemerintah memang dibuat oleh lembaga politik tetapi ia tidak bersifat mengatur. Terlebih lagi vonnis, bukan dibentuk oleh lembaga politik dan tidak bersifat mengatur.
Demikian tulisan ini saya buat, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar