Selasa, 03 September 2019

Menata Wajah Peradilan Mahasiswa


Menata Wajah Peradilan Mahasiswa 
Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau

Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Puji syukur kepada Allah Subhanahuwata’ala atas segala limpahan Rahmat dan karunia_Nya sehingga artikel pendek yang saya beri judul “Menata Wajah Peradilan Mahasiswa Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau” dapat diselesaikan. Terlepas dari banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam artikel ini baik hal mana terkait substansi yang dikemukakan, maupun penyampaian. Artikel ini dibuat memang tidaklah seperti mana idealnya sebuah karya ilmiah seperti buku-buku perkuliahan. Karena itu memang tidak memenuhi syarat atau standar penulisan karya ilmiah. Artikel ini tidak lain adalah pemikiran pribadi saya berdasarkan keilmuan akademik yang saya tekuni di bidang Hukum Tata Negara.

Tidak bermaksud berlebihan, paling tidak artikel ini kiranya dapat menjadi bahan bacaan untuk mengisi waktu senggang para hakim Mahkamah Konstitusi Mahasiswa. Sebab bila memang betul-betul ingin mendalami Hukum Tata Negara sudah banyak buku dijual di toko buku, tinggal diperbanyak saja literaturnya, rajinlah membaca dan mendiskusikan perihal ketatanegaraan. Harapan saya kepada hakim Mahkamah Konstitusi Mahasiswa adalah selain harus menjaga amanah yang melekat padanya, berkaryalah.. menulislah, terbitkan pemikiran kawan-kawan agar semakin banyak literatur di Sekretariat Mahkamah Konstitusi Mahasiswa. Literatur itu akan dibaca oleh generasi hakim Mahkamah Konstitusi berikutnya. Jika kalian ingin di kenal orang maka menulislah. Ulama Besar dan Bapak Bangsa kita Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) pernah mengatakan, “ Menulislah, agar generasi setelahmu tahu bahwa kau pernah hidup di dunia”.

Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada manusia suci panutan umat yakni Baginda Nabi Besar Muhammad Shallallahu’alaihi wassallam, bershalawat kita Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Sayyidina Muhammad, Assalamu’alaika Ya Rasulullah. Suatu hal yang melatarbelakangi saya menulis tentang Peradilan Mahasiswa adalah karena terdorong oleh semangat dan tanggung jawab moral keilmuan yang saya tekuni selama belajar di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau. Selama kuliah saya belajar dan mendalami Hukum Tata Negara dimana suatu bidang hukum yang cenderung tidak banyak diminati, lain halnya di universitas lain dibelahan bumi Sumatera lainnya terlebih lagi di Jawa, Hukum Tata Negara selalu menjadi primadona peminatnya melimpah-limpah berdampingan dengan banyaknya peminat Hukum Pidana. Padahal kebaradaan dan peran Hukum Tata Negara sangatlah penting, sehingga di Fakultas Hukum salah seorang dosen senior seorang legal drafter (perancangan Peraturan daerah) lulusan India, seorang tokoh pengajar kharismatik dalam suatu kesempatan pemberian materi kuliah di kelas mengatakan bahwa, “sebalum mahasiswa fakultas hukum belajar dan mendalami bidang hukum yang lain, maka terlebih dahulu harus mengerti Hukum Tata Negara. Hukum Tata Negara adalah pengantar bagi pembelajaran bidang hukum lainnya”.

Hukum Tata Negara memberikan pedoman terpenting dalam setiap hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara, pembentukan hukum, memberi arah dan petunjuk yang sangat komplit tentang bagaimana pemerintahan suatu negara dapat dijalankan. Hukum Tata Negara merupakan fondasi dalam bangunan kenegaraan, tanpa Hukum Tata Negara tidak mungkin pemerintahan suatu negara dapat diselenggarakan. Banyak hal, seluk-beluk penyelenggaraan negara dibahas dalam Hukum Tata Negara. Bila digeneralisir, secara umum ada tiga hal utama yang menjadi konsentrasi Hukum Tata Negara yaitu struktur dan sistem ketatanegaraan yang meliputi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Secara teoritis ketiga hal ini dikenal dengan teori Trias Politica yang berarti tiga poros, cabang kekuasaan. Mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah dan desa tiga poros kekuasaan itu dibahas sedemikian rupa. Bila dirinci secara umum ketiga kekuasaan itu dapat saya kemukakan sebagai berikut:

1). Kekuasaan Legislatif
     1. Kekuasaan Legislatif Tingkat Pusat mencakup:
         DPR, DPD, dan MPR
     2. Kekuasaan Legislatif Tingkat Daerah Provinsi mencakup:
         DPRD Provinsi
     3. Kekuasaan Legislatif Tingkat Daerah Kabupaten/Kota mencakup:
         DPRD Kabupaten, DPRD Kota.
     4. Kekuasaan Legislatif Tingkat Desa mencakup:
         Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

    2).   Kekuasaan Eksekutif
         1. Kekuasaan Eksekutif Tingkat Pusat mencakup:    
             Presiden dan Wakil Presiden;
             Menteri-menteri Negara;
             Duta dan Konsul;
             Polri;
             TNI;  
                           Gubernur Bank Indonesia;
             Komisi Pemberantasan Korupsi;
             Kejaksaan.
    2.  Kekuasaan Eksekutif Tingkat Daerah Provinsi mencakup:
        Gubernur dan Wakil Gubernur;
-                          Sekretaris Daerah;
-                         Perangkat Daerah (Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Badan, Inspektorat,          dan lainnya).
    3. Kekuasaan Eksekutif Tingkat Daerah Kabupaten/Kota mencakup:
-                          Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota;
-                          Sekretaris Daerah;
-                        Perangkat Daerah (Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Badan, Inspektorat,          dan lainnya).

    3).   Kekuasaan Yudikatif 
         1. Kekuasaan Yudikatif Tingkat Pusat mencakup:
-                            Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
     2. Kekuasaan Yudikatif Tingkat Daerah Provinsi mencakup:
-                            Pengadilan Tinggi Negeri (PTN);
-                            Pengadilan Tinggi Agama (PTA), Mahkamah Tinggi Syar’iyah (Di Aceh);
-                            Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN);
-                            Pengadilan Tinggi Militer/Mahkamah Militer Luar biasa (PTM/Mahmilub).
    3. Kekuasaan Yudikatif Tingkat Daerah Kabupaten/Kota mencakup:
-                          Pengadilan Negeri (PN);
-                          Pengadilan Agama (PA), Mahkamah Syar’iyah (Di Aceh);
-                          Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN);
-                          Pengadilan Militer/Mahkamah Militer (PTM/Mahmilti).

    Catatan: 
   kekuasaan Yudikatif Tingkat Daerah tidak berdiri sendiri melainkan termasuk kedalam peradilan dilingkungan Mahkamah Agung, semua peradilan itu berpuncak kepada Mahkamah Agung. Sebelum suatu perkara sampai ke Mahkamah Agung maka dimulai dari pemeriksaan di tingkat pengadilan yang terbawah (pengadilan tingkat pertama), kemudian lanjut ke pengadilan tingkat banding (pengadilan yang kedudukannya di provinsi), barulah terahir puncaknya ke Mahkamah Agung. Putusan hakim Agung yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht van gewijsd) bersifat final and binding (tidak bisa diganggu gugat, harus dihormati). Beda dengan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan tunggal, bukan pengadilan yang bertingkat-tingkat seperti Mahkamah Agung. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi bersifat incraht, final and binding. Hukum Tata Negara tidak hanya sekedar membahas secara institusional (secara kelembagaan) apa yang termasuk kedalam pengertian Trias Politica itu, melainkan termasuk pula pola hubungan kewenangan antar lembaga, sistem rekrutmen keanggotaan, legitimasinya, kedudukan hukum (legal standing) mekanisme pemberhentian, maupun hal yang berkaitan dengan keprotokoleran.

BAGIAN I 
     A.   Tentang Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau 
   Daulah adalah konsep kenegaraan dalam Islam, yang menandakan dari awal sesuai dengan asas Universitas, maka konsep kenegaraan yang diidealkan kedalam miniatur sebuah negara dalam penyelenggaraan organisasi kemahasiswaan di Universitas Islam Riau, maka penyelenggaraan keorganisasian mahasiswa Universitas Islam Riau adalah mengambil contoh/ajaran Negara Islam, bercirikan Negara Islam atau Negara yang sejauh mungkin mengadopsi nilai-nilai islam dalam praktik penyelenggaraan organisasi. Syari’at islam dijadikan pedoman, asas atau dasar dalam menyelenggarakan organisasi. Meski demikian, tidak berarti nilai-nilai lain yang berasal dari luar tidak dapat diterima, selama baik dan tidak bertentangan dengan ajaran islam maka dapat diterima. Singkatnya, daulah itu artinya Negara. Negara dalam konteks penyelenggaraan organisasi di Universitas Islam Riau ini tidak lebih dari sekedar hanya sebuah miniatur saja, bukan Negara sungguhan memang. 
  
  Tetapi meski demikian, melalui miniatur inilah mahasiswa belajar menyelenggarakan sebuah negara sebelum benar-benar menjadi pejabat negara yang ikut secara aktif menyelenggarakan negara yang sebenarnya, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedapat mungkin dalam penyelenggaraan Daulah ini mahasiswa berpedoman pada praktik yang baik dan konstitusional dalam penyelenggaraan Negara Indonesia. Meski tentulah tidak mungkin kita benar-benar mencontoh dan menerapkan apa yang ada dalam Negara Republik Indonesia ini, melainkan yang dipraktikkan adalah sesuatu yang sudah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dalam penyelenggaraan organisasi kemahasiswaan itu sendiri. Hasil penyesuaian tersebut telah dituangkan kedalam Undang-Undang Dasar Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau (UUDM). Meski untuk mengoperasionalkan UUDM belum dapat dilaksanakan secara efektif sebab masih harus segara dilengkapi dengan membentuk peraturan perundang-undangan mahasiswa seperti undang-undang mahasiswa, peraturan daerah mahasiswa, peraturan pemerintah mahasiswa, peraturan presiden mahasiswa, peraturan menteri mahasiswa dan lain sebagainya.
  
   Pendalaman, penjiwaan dan pemahaman dalam penyelenggaraan Daulah ini sangatlah penting. Daulah ini harus diselenggarakan dengan kewibawaan yang besar dari segenap aparatur Daulah, agar Daulah ini benar-benar dapat dilaksanakan sebaik mungkin. Watak-watak preman, tukang buat onar, tidak boleh dibiarkan tumbuh berkembang terpelihara dalam tiap diri pejabat mahasiswa di Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau. Melalui Daulah ini segenap mahasiswa belajar untuk aktif, belajar untuk profesional, belajar untuk mampu dan dapat diandalkan sebelum menyandang gelar keluar dari universitas. Jika sudah menyandang gelar orang tidak tanya bidang yang kamu tekuni selama kuliah apa, kamu jurusan apa. Tapi yang orang-orang tahu bahwa kamu adalah seorang sarjana, orang yang dianggap berilmu dan siap mengabdi untuk masyarakat bangsa dan negara.


     B.  Hakikat Keberadaan Badan Peradilan
Bila kita melihat lebih jauh pada masa-masa awal sejarah, hakikat dari keberadaan badan peradilan itu sendiri adalah sebagai tempat mencari dan mendapatkan keadilan, untuk mengadili tindakan sewenang-wenang penguasa yang bertindak angkuh dan selalu menindas rakyat. Rakyat diperlakukan sebagai budak yang dianggap tidak mempunyai hak sama sekali. Hanya penguasa yang mempunyai hak, rakyat hanya memiliki kewajiban yang harus dipenuhi kepada penguasa. Apapun yang dilakukan penguasa harus selalu dianggap benar adanya karena itu harus selalu dipatuhi tanpa syarat. Rakyat selalu lemah tidak punya daya upaya, tak punya kekuatan ketika berhadapan dengan penguasa, rakyat selalu menjadi korban rezim yang berkuasa.

Setelah lama terkungkung dalam ketidakberdayaan menjadi objek penindasan dan selalu merasakan perilaku tidak mengenakkan dari penguasa yang tiran, kemajuan paradigma (pola berpikir) seiring bertumbuhnya kesadaran hukum rakyat, pula disebabkan berkecamuknya rasa muak yang begitu mendalam akan perlakukan sewenang-wenang penguasa, maka muncullah gejolak yang meluas menentang kediktatoran penguasa. Semakin lama kekuatan dan suara penentangan terhadap penguasa semakin menguat, sehingga revolusi ataupun kudeta tak bisa lagi dihindari. Puncaknya adalah rakyat berhasil memaksa penguasa untuk menandatangani suatu perjanjian luhur seperti Magna Charta pada 1215 di Inggris, diantara isinya adalah bahwa Raja harus melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak rakyat. 

Dalam perkembangan sejarahnya, konsepsi HAM semakin diterima secara meluas ke berbagai belahan dunia barat. Sedangkan dibelahan dunia timur, pemerintahan Islam sudah lebih dulu mengenal dan memberikan jaminan perlindungan HAM kepada rakyatnya jauh sebelum barat mengenal HAM. Undang-Undang Dasar pertama dalam sejarah peradaban manusia yang disebut Shahifah, Piagam Madinah (Madinah Charter), merupakaan kesepakatan luhur yang dibuat oleh Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wassallam berisikan perlindungan terhadap HAM penduduk Madinah yang plural. Memasuki tahapan yang lebih modern maka muncullah gagasan agar hak-hak asasi warganegara itu dijamin perlindungannya, maka segala tindakan pemerintah harus selalu tersedia mekanisme hukum untuk menguji keabsahannya. 

Tempat pengujian sekaligus mengadili kemungkinan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang itulah yang disebut pengadilan. Singkatnya, tumbuhnya konsepsi perlindungan hak asasi menjadi tonggak paling awal yang membuka ruang dikemudian hari dibentuknya badan peradilan. Sedangkan peradilan yang bebas dan mandiri itu hanya mungkin tumbuh di negara yang menganut supremasi hukum yaitu negara yang menjadikan hukum sebagai panglima, hukum mendapat tempat yang tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan peradilan. Untuk konteks Indonesia, keberadaan badan peradilan yang bernama Mahkamah Konstitusi kelahirannya tidak hanya dipicu oleh keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap HAM, banyak hal yang melatarbelakangi Indonesia kemudian menerima gagasan keberadaan Mahkamah Konstitusi. Karena itu ada baiknya kita mengetahui pula perihal keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia itu untuk menambah khazanah keilmuan kita. Sebab keberadaan, peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi Mahasiswa merupakan percontohan dari keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Berikut perihal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia saya kemukakan dengan mengutip berbagai pendapat yang relevan dari para pakar Hukum Tata Negara.

1.   Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.

Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus Marbury versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua Mahkamah Agung.

Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe, dan Willia Harper) memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai kewenangannnya memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan mereka. tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas surat-surat pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write of mandamus sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan karena ketentuan Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat. 

Atas dasar penafsiran terhadap konstitusi-lah perkara ini diputus oleh John Marshall. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court. Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20 (1881-1973) juga pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian). Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model itu untuk pertama kali adalah Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920 rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria. Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk Constitutional Council (Conseil Constitutional). Negara-negara bekas jajahan Perancis mengikuti pola Perancis ini. Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsikannya. Momen yang patut dicatat berikutnya dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI. 

Mohammad Yamin menggagas lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim disebut constitutioneele geschil atau constitutional disputes. Gagasan Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang “membanding” undang-undang. Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk memberdayakan Mahkamah Agung. 

Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah Agung Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi, bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan. Tetapi setelah terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang menghantam berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Gagasan Yamin muncul kembali pada proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada Maret-April tahun 2000. 

Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA, dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945. 

Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001. UUD 1945 telah mengalami perubahan mendasar sejak Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai Perubahan Keempat pada tahun 2002. Undang-undang Dasar 1945 setelah Perubahan Keempat tahun 2002, saat ini boleh dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali, dengan resmi disebut “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945”. Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan, menyisakan hanya 25 butir yang tidak mengalami perubahan. 

Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir ketentuan dapat dikatakan merupakan materi atau ketentuan yang baru. Sri Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem perubahan Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal, yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya perubahan. Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan UUD 1945 sejak Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat, tentunya harus mempengaruhi sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai lembaga Negara. Sehubungan dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan Republik Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Perubahan itu juga mempengaruhi mekanisme struktural organ-organ Negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Ada pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka UUD 1945 itu; pokok pikiran tersebut antaranya adalah :
a). Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
b). Pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances”
c). Pemurnian sistem pemerintah presidential; dan
d). Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan lembaga yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.

b.  Alasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Apa alasannya sehingga kemudian MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat.

Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm” atau “highest norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.

Ide demikian yang turut melandasi pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga. Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung. Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya menyepakati organ baru bernama MK.

Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. 

Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.

    C.   Kedudukan Mahkamah Konstitusi

Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara. 

Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat. Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. 

Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang  tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain. Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.


    D.  Fungsi dan Kewenangan  Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam Undang Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya. Tetapi dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut:“… salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi”.

Lebih jelas Jimly Asshiddiqie menguraikan:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat”.

Lembaga negara lain dan bahkan orang perorang boleh saja menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Suatu konstitusi memang tidak selalu jelas karena rumusannya luas dan kadang-kadang kabur. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Dan tafsiran yang mengikat itu hanya diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan kepadanya.

Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut:

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.

Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:
1).  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannnya bersifat final untuk:

a.   Menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60. Undang-undang adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.


b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.

c. Memutus pembubaran partai politik;

Kewenangan ini diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74  sampai dengan Pasal 79 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.

2).Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.

Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) anggota DPR.

3). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:

a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sejarah terbentuknya Mahkamah konstitusi tidak begitu saja terbentuk, terbentuknya MK tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review. Empat peristiwa sejarah yang patut dicermati antara lain; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945. Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. 

Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003. Kedudukan MK merupakan satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Juga Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga Negara. Kewenangan MK antara lain sebagai berikut : Menguji undang-undang terhadap  UUD NRI 1945, Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI 1945, Memutus pembubaran partai politik, Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

BAGIAN II

    A.  Mahkamah Konstitusi Mahasiswa Sebagai Sebuah Badan Peradilan 
    dan Perannya.
Mahkamah Konstitusi Mahasiswa adalah satu-satunya badan peradilan di Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau, sebagai tempat pengaduan pelanggaran hak-hak mahasiswa dari segala kemungkinan terjadinya pelanggaran secara tidak sah dalam konteks penyelenggaraan Daulah oleh badan/pejabat mahasiswa. Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili serta memutus dengan seadil-adilnya setiap perkara yang diajukan atau dimohonkan kepadanya oleh mahasiswa yang merasa dirugikan hak-haknya secara tidak sah oleh badan/pejabat mahasiswa. Mahkamah Konstitusi bersidang berdasarkan Undang-Undang Dasar Daulah Mahasiswa, Undang-Undang Mahasiswa, maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi Mahasiswa. Sebagai sebuah badan peradilan maka Mahkamah Konstitusi Mahasiswa dilengkapi dengan sejumlah kewenangan konstitusional. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Daulah Mahasiswa diantaranya yaitu:

1.   Menguji peraturan perundang-undangan mahasiswa yang saling bertentangan secara hierarkis dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.

Kemungkinan bentuk kontradiktif peraturan perundang-undangan mahasiswa itu dapat berupa :
   a.   Terdapat norma undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Mahasiswa;
    b.   Terdapat norma peraturan pemerintah mahasiswa yang dibentuk oleh Presiden Mahasiswa bertentangan dengan undang-undang mahasiswa;
   c.    Terdapat norma peraturan Presiden mahasiswa yang dibentuk oleh Presiden Mahasiswa bertentangan dengan undang-undang mahasiswa;
   d.   Terdapat norma peraturan daerah mahasiswa yang dibuat oleh Gubernur Mahasiswa bersama Dema Fakultas bertentangan dengan undang-undang mahasiswa, bertentangan dengan peraturan pemerintah mahasiswa, dan/atau bertentangan dengan peraturan Presiden Mahasiswa.
   e.    Terdapat keputusan Badan/Pejabat Mahasiswa seperti keputusan Presiden Mahasiswa, keputusan menteri mahasiswa, keputusan Badan Pemilihan Raya Mahasiswa, keputusan Panitia Pemilihan Raya Mahasiswa, keputusan Gubernur Mahasiswa, keputusan Unit Kegiatan Mahasiswa yang melanggar, mengurangi, menghambat, meniadakan dan/atau mengabaikan secara tidak sah dan secara tidak rasional, dan/atau sewenang-wenang hak-hak mahasiswa untuk aktif  ikut serta dalam penyelenggaraan daulah, berkreasi, berinovasi, mengembangkan potensi pribadi dan lain sebagainya.

Dikecualikan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi Mahasiswa yaitu jika terdapat pertentangan norma undang-undang dengan norma undang-undang lainnya sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum, maka Mahkamah Konstitusi Mahasiswa menolak permohonan pemohon dan menyerahkan kepada parlemen mahasiswa untuk menguji dan merevisi kembali produk buatannya itu. Hal yang sama juga berlaku untuk peraturan perundang-undangan mahasiswa lainnya yang sederajat saling bertentangan Mahkamah Konstitusi Mahasiswa menolak permohonan pemohon dan menyerahkan kepada pejabat pembentuknya sepenuhnya untuk dilakukan pengujian dan/atau  merevisinya kembali.

 2. Melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar Daulah Mahasiswa (UUDM).
Suatu hal yang harus dipahami sehingga jangan sampai terjadi kesalahpahaman bahwa dalam hal Mahkamah Konstitusi Mahasiswa melakukan penafsiran norma UUDM, tidak berarti bahwa Mahkamah Konstitusi Mahasiswa mengubah secara tekstual isi UUDM. Tidak sama sekali, tidak seperti itu. Penafsiran itu dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan fungi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution), sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democrazy). Sebab belajar dari praktik penguatan demokrasi dan Negara Hukum oleh Negara Republik Indonesia, dahulunya sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi, pemerintah orde baru bertindak sebagai penfasir tunggal konstitusi (UUD).

Penafsiran itu dilakukan untuk memberikan legitimasi (keabsahan) semua tindakan pemerintah, memberikan keuntungan dan menjadi justifikasi (pembenaran) atas kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah. Sehingga dengan penafsiran itu pemerintah telah mendominasi kebenaran berdasarkan syahwat dan selera kekuasaannya. Konstitusi ditafsirkan semau-maunya saja, hal ini tidak boleh dibiarkan terus menerus. Karena itulah maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi dan diberikan peran sebagai lembaga penafsir tunggal konstitusi. Demikian juga halnya dengan Daulah Mahasiswa ini, Pemerintah mahasiswa tidak boleh diberikan wewenang penafsiran UUDM. Sebab bagaimanapun Pemerintah mahasiswa adalah lembaga politik, setiap keputusan atau kebijakan yang dibuatnya selalu bersifat politis pula. 

Karena itulah agar kepastian hukum dan keadilan tetap dapat diwujudkan maka wewenang penafsiran itu haruslah diberikan kepada peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi Mahasiswa.  Penafsiran UUDM yang dilakukan Mahkamah Konstitusi Mahasiswa bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Norma UUDM itu ditafsirkan, diberi arti tertentu.  Misalnya kata “dapat“ ditafsirkan dengan memberikan kualifikasi arti yang sama kualitasnya, derajatnya dengan kata “berhak”. Dengan kata lain, kata “dapat” mengandung arti yang sama dengan kata “berhak”, dapat=berhak. Atau misalnya kata “dalam waktu 10 (sepuluh) hari”, apakah yang dimaksudkan dengan kata “dalam waktu 10 (sepuluh) hari itu?”. Untuk menghindari multitafsir suatu norma sehingga dengannya membuka kesempatan bagi tindakan Pemerintah mahasiswa yang sewenang-wenang, maka Mahkamah Konstitusi Mahasiswa perlu melakukan penafsiran supaya ada kepastian hukum. Karena itu dalam Hukum Tata Negara termasuk dalam Hukum Pidana dikenal berbagai metode dan macamnya penafsiran itu, diantaranya penafsiran itu meliputi: penafsiran tekstual, penafsiran gramatikal, penafsiran ekstensif, penafsiran historis dan lain sebagainya.

3.  Mahakamah Konstitusi Mahasiswa berkewajiban memutus pendapat perihal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Mahasiswa menurut UUDM, dan wewenang lain yang diberikan oleh UUDM dan undang-undang mahasiswa.

Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, Mahkamah Konstitusi Mahasiswa selain harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan mahasiswa, Mahakamah Konstitusi Mahasiswa dapat pula mengacu kepada kebiasaan atau konvensi yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan ketatanegaraan daulah mahasiswa. Mahkamah Konstitusi harus selalu mengupayakan terwujudnya keadilan dan kepastian hukum kepada semua mahasiswa tanpa diskriminatif. Diskriminatif dalam pengertian tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang berdsarkan status sosialnya, status akademiknya, status politiknya, ras, warna kulit, bahasa, etnik atau nasab (keturunan). 

Semua mahasiswa harus diperlakukan sama dihadapan hukum mahasiswa tanpa terkecuali. Majelis hakim yang bersikap diskriminatif tidak pantas dikatakan sebagai hakim mahasiswa, karena itu dapat terkena sanksi etik oleh lembaga etik terkait. Hakim mahasiswa harus selalu menghindarkan dirinya dari perilaku yang tidak pantas, gaya hidup berlebih-lebihan, angkuh, dan melawan hukum mahasiswa. Hakim mahasiswa harus selalu mengedepankan etika yaitu budi pekerti yang baik dalam setiap pergaulan atau dilingkungan pergaulan manapun, menjaga martabat dan marwah institusi, harus punya integritas (kesungguhan) menjadi hakim mahasiswa untuk menegakkan hukum dan keadilan, harus punya dedikasi (mengabdikan dirinya demi tegaknya hukum dan keadilan), dan yang tidak kalah pentingnya adalah harus mengerti dan menguasi ketatanegaraan.
        
    B.  Mencari Sosok Ideal Hakim Konstitusi Mahasiswa
Terkait dengan poin yang terakhir diatas bahwa hakim Mahkamah Konstitusi Mahasiswa itu harus mengerti dan menguasai ketatanegaraan. Sebab ranah atau domain menjadi hakim mahasiswa itu adalah lapangannya Hukum Tata Negara sebagaimana telah dibahas diawal. Idealnya memang hakim mahasiswa itu adalah orang-orang yang memiliki latar belakang akademik bidang Hukum Tata Negara. Yaitu mereka yang kesehariannya selalu belajar, membaca dan menganalisa persoalan ketatanegaraan. Tetapi oleh karena peminat Hukum Tata Negara itu sangat minim di Fakultas Hukum, kalah jauh jika dibandingkan dengan banyaknya peminat Hukum Pidana, Hukum Perdata ataupun Hukum Administrasi Negara yang selalu ramai peminat. 

Yang sangat disayangkan adalah bahwa grafik kuantitas peminat Hukum Tata Negara sepertinya paralel dengan merosotnya kualitas generasi mahasiswa Hukum Tata Negara dari waktu ke waktu, sehingga tidak dapat diharapkan, tidak dapat diandalkan untuk mengisi jabatan berkelas sebagai hakim konstitusi mahasiswa. Mahasiswa Hukum Tata Negara yang ada sekarangpun kebanyakan hanyalah kelompok mahasiswa pemalas, minim buku, sibuk dengan aktivitas non akademik yang semakin menjauhkannya dari pergulatan dan dinamika ketatanegaraan di organisasi. Jikapun nanti jumlah peminat Hukum Tata Negara meningkat dan kualitasnya meningkat pula dibarengi pula dengan kepeduliannya terhadap pergelutan dunia ketatanegaraan di organisasi, maka ada baiknya cukuplah kedepan hakim konstitusi mahasiswa itu dipilih dari orang-orang yang menekuni Hukum Tata Negara itu. 

Tidak perlu dipersoalkan dengan mengemukakan isu bahwa Fakultas Hukum ingin menguasai dan mendominasi peradilan mahasiswa, kemudian dimunculkan persangkaan liar yang tidak jelas dengan mengajukan pertanyaan, “dibalik ini semua ada apa?”. Kalaupun dikatakan menguasai, bukan Fakultas Hukum yang menguasai, tetapi bidang Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum. Sebab mereka orang-orang yang menekuni Hukum Tata Negara, jauh lebih ideal dan cocok untuk dipilih sebagai hakim mahasiswa. Disamping mereka belajar ilmu hukum, mereka juga belajar Hukum Tata Negara dengan segala kompleksitasnya. Demikian artikel singkat pendek ini, kiranya dapat menjadi bahan pembelajaran dan menambah wawasan hakim konstitusi mahasiswa. Kritik dan saran yang membangun dari para hakim mahasiswa dan segenap pihak penulis terima dengan hati yang lapang.

Jum’at, 1 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pe...