Menata Wajah Peradilan Mahasiswa
Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau
Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Puji syukur kepada Allah
Subhanahuwata’ala atas segala limpahan Rahmat dan karunia_Nya sehingga artikel
pendek yang saya beri judul “Menata Wajah Peradilan Mahasiswa Daulah
Mahasiswa Universitas Islam Riau” dapat diselesaikan. Terlepas dari
banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam artikel ini baik hal mana terkait
substansi yang dikemukakan, maupun penyampaian. Artikel ini dibuat memang
tidaklah seperti mana idealnya sebuah karya ilmiah seperti buku-buku
perkuliahan. Karena itu memang tidak memenuhi syarat atau standar penulisan
karya ilmiah. Artikel ini tidak lain adalah pemikiran pribadi saya berdasarkan
keilmuan akademik yang saya tekuni di bidang Hukum Tata Negara.
Tidak bermaksud berlebihan, paling
tidak artikel ini kiranya dapat menjadi bahan bacaan untuk mengisi waktu
senggang para hakim Mahkamah Konstitusi Mahasiswa. Sebab bila memang
betul-betul ingin mendalami Hukum Tata Negara sudah banyak buku dijual di toko
buku, tinggal diperbanyak saja literaturnya, rajinlah membaca dan mendiskusikan
perihal ketatanegaraan. Harapan saya kepada hakim Mahkamah Konstitusi Mahasiswa
adalah selain harus menjaga amanah yang melekat padanya, berkaryalah..
menulislah, terbitkan pemikiran kawan-kawan agar semakin banyak literatur di
Sekretariat Mahkamah Konstitusi Mahasiswa. Literatur itu akan dibaca oleh
generasi hakim Mahkamah Konstitusi berikutnya. Jika kalian ingin di kenal orang
maka menulislah. Ulama Besar dan Bapak Bangsa kita Buya
Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) pernah mengatakan, “ Menulislah, agar generasi setelahmu tahu
bahwa kau pernah hidup di dunia”.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada manusia suci panutan umat yakni Baginda Nabi Besar Muhammad
Shallallahu’alaihi wassallam, bershalawat kita Allahumma Shalli ‘ala Muhammad
wa’ala ali Sayyidina Muhammad, Assalamu’alaika Ya Rasulullah. Suatu hal yang melatarbelakangi saya
menulis tentang Peradilan Mahasiswa adalah karena terdorong oleh semangat dan
tanggung jawab moral keilmuan yang saya tekuni selama belajar di Fakultas Hukum
Universitas Islam Riau. Selama kuliah saya belajar dan mendalami Hukum Tata
Negara dimana suatu bidang hukum yang cenderung tidak banyak diminati, lain
halnya di universitas lain dibelahan bumi Sumatera lainnya terlebih lagi di Jawa,
Hukum Tata Negara selalu menjadi primadona peminatnya melimpah-limpah
berdampingan dengan banyaknya peminat Hukum Pidana. Padahal kebaradaan dan
peran Hukum Tata Negara sangatlah penting, sehingga di Fakultas Hukum salah
seorang dosen senior seorang legal
drafter (perancangan Peraturan daerah) lulusan India, seorang tokoh
pengajar kharismatik dalam suatu kesempatan pemberian materi kuliah di kelas
mengatakan bahwa, “sebalum mahasiswa
fakultas hukum belajar dan mendalami bidang hukum yang lain, maka terlebih
dahulu harus mengerti Hukum Tata Negara. Hukum Tata Negara adalah pengantar
bagi pembelajaran bidang hukum lainnya”.
Hukum Tata Negara memberikan pedoman
terpenting dalam setiap hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara,
pembentukan hukum, memberi arah dan petunjuk yang sangat komplit tentang
bagaimana pemerintahan suatu negara dapat dijalankan. Hukum Tata Negara
merupakan fondasi dalam bangunan kenegaraan, tanpa Hukum Tata Negara tidak
mungkin pemerintahan suatu negara dapat diselenggarakan. Banyak hal,
seluk-beluk penyelenggaraan negara dibahas dalam Hukum Tata Negara. Bila
digeneralisir, secara umum ada tiga hal utama yang menjadi konsentrasi Hukum
Tata Negara yaitu struktur dan sistem ketatanegaraan yang meliputi kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Secara teoritis
ketiga hal ini dikenal dengan teori Trias
Politica yang berarti tiga poros, cabang kekuasaan. Mulai dari tingkat
pusat sampai tingkat daerah dan desa tiga poros kekuasaan itu dibahas
sedemikian rupa. Bila dirinci secara umum ketiga kekuasaan itu dapat saya
kemukakan sebagai berikut:
1). Kekuasaan Legislatif
1. Kekuasaan Legislatif Tingkat Pusat mencakup:
DPR,
DPD, dan MPR
2. Kekuasaan Legislatif Tingkat Daerah Provinsi mencakup:
DPRD
Provinsi
DPRD
Kabupaten, DPRD Kota.
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD).
2).
Kekuasaan Eksekutif
1. Kekuasaan Eksekutif Tingkat Pusat mencakup:
Presiden dan Wakil Presiden;
Menteri-menteri Negara;
Duta dan Konsul;
Polri;
TNI;
Gubernur Bank Indonesia;
Komisi Pemberantasan Korupsi;
Kejaksaan.
Presiden dan Wakil Presiden;
Menteri-menteri Negara;
Duta dan Konsul;
Polri;
TNI;
Gubernur Bank Indonesia;
Komisi Pemberantasan Korupsi;
Kejaksaan.
Gubernur dan Wakil Gubernur;
- Sekretaris Daerah;
- Perangkat Daerah (Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Badan,
Inspektorat, dan lainnya).
- Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota;
- Sekretaris Daerah;
- Perangkat Daerah (Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Badan,
Inspektorat, dan lainnya).
3).
Kekuasaan Yudikatif
1. Kekuasaan Yudikatif Tingkat Pusat
mencakup:
- Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
- Pengadilan Tinggi Negeri (PTN);
- Pengadilan Tinggi Agama (PTA), Mahkamah Tinggi Syar’iyah (Di
Aceh);
- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN);
- Pengadilan Tinggi Militer/Mahkamah Militer Luar biasa
(PTM/Mahmilub).
- Pengadilan Negeri (PN);
- Pengadilan Agama (PA), Mahkamah Syar’iyah (Di Aceh);
- Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN);
- Pengadilan Militer/Mahkamah Militer (PTM/Mahmilti).
Catatan:
kekuasaan Yudikatif Tingkat Daerah tidak berdiri sendiri
melainkan termasuk kedalam peradilan dilingkungan Mahkamah Agung, semua
peradilan itu berpuncak kepada Mahkamah Agung. Sebelum suatu perkara sampai ke
Mahkamah Agung maka dimulai dari pemeriksaan di tingkat pengadilan yang terbawah
(pengadilan tingkat pertama), kemudian lanjut ke pengadilan tingkat banding
(pengadilan yang kedudukannya di provinsi), barulah terahir puncaknya ke
Mahkamah Agung. Putusan hakim Agung yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht van gewijsd) bersifat final and binding (tidak bisa diganggu
gugat, harus dihormati). Beda dengan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi
adalah pengadilan tunggal, bukan pengadilan yang bertingkat-tingkat seperti
Mahkamah Agung. Setiap putusan Mahkamah Konstitusi bersifat incraht, final and binding. Hukum Tata
Negara tidak hanya sekedar membahas secara institusional (secara kelembagaan)
apa yang termasuk kedalam pengertian Trias
Politica itu, melainkan termasuk pula pola hubungan kewenangan antar
lembaga, sistem rekrutmen keanggotaan, legitimasinya, kedudukan hukum (legal standing) mekanisme
pemberhentian, maupun hal yang berkaitan dengan keprotokoleran.
BAGIAN I
A.
Tentang Daulah Mahasiswa Universitas
Islam Riau
Daulah
adalah konsep kenegaraan dalam Islam, yang menandakan dari awal sesuai dengan
asas Universitas, maka konsep kenegaraan yang diidealkan kedalam miniatur
sebuah negara dalam penyelenggaraan organisasi kemahasiswaan di Universitas
Islam Riau, maka penyelenggaraan keorganisasian mahasiswa Universitas Islam
Riau adalah mengambil contoh/ajaran Negara Islam, bercirikan Negara Islam atau
Negara yang sejauh mungkin mengadopsi nilai-nilai islam dalam praktik
penyelenggaraan organisasi. Syari’at islam dijadikan pedoman, asas atau dasar
dalam menyelenggarakan organisasi. Meski demikian, tidak berarti nilai-nilai
lain yang berasal dari luar tidak dapat diterima, selama baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran islam maka dapat diterima. Singkatnya, daulah itu
artinya Negara. Negara dalam konteks penyelenggaraan organisasi di Universitas
Islam Riau ini tidak lebih dari sekedar hanya sebuah miniatur saja, bukan
Negara sungguhan memang.
Tetapi meski demikian, melalui miniatur inilah
mahasiswa belajar menyelenggarakan sebuah negara sebelum benar-benar menjadi
pejabat negara yang ikut secara aktif menyelenggarakan negara yang sebenarnya,
yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedapat mungkin dalam penyelenggaraan
Daulah ini mahasiswa berpedoman pada praktik yang baik dan konstitusional dalam
penyelenggaraan Negara Indonesia. Meski tentulah tidak mungkin kita benar-benar
mencontoh dan menerapkan apa yang ada dalam Negara Republik Indonesia ini,
melainkan yang dipraktikkan adalah sesuatu yang sudah disesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhan dalam penyelenggaraan organisasi kemahasiswaan itu
sendiri. Hasil penyesuaian tersebut telah dituangkan kedalam Undang-Undang
Dasar Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau (UUDM). Meski untuk
mengoperasionalkan UUDM belum dapat dilaksanakan secara efektif sebab masih
harus segara dilengkapi dengan membentuk peraturan perundang-undangan mahasiswa
seperti undang-undang mahasiswa, peraturan daerah mahasiswa, peraturan
pemerintah mahasiswa, peraturan presiden mahasiswa, peraturan menteri mahasiswa
dan lain sebagainya.
Pendalaman,
penjiwaan dan pemahaman dalam penyelenggaraan Daulah ini sangatlah penting.
Daulah ini harus diselenggarakan dengan kewibawaan yang besar dari segenap
aparatur Daulah, agar Daulah ini benar-benar dapat dilaksanakan sebaik mungkin.
Watak-watak preman, tukang buat onar, tidak boleh dibiarkan tumbuh berkembang
terpelihara dalam tiap diri pejabat mahasiswa di Daulah Mahasiswa Universitas
Islam Riau. Melalui Daulah ini segenap mahasiswa belajar untuk aktif, belajar
untuk profesional, belajar untuk mampu dan dapat diandalkan sebelum menyandang
gelar keluar dari universitas. Jika sudah menyandang gelar orang tidak tanya
bidang yang kamu tekuni selama kuliah apa, kamu jurusan apa. Tapi yang
orang-orang tahu bahwa kamu adalah seorang sarjana, orang yang dianggap berilmu
dan siap mengabdi untuk masyarakat bangsa dan negara.
B. Hakikat Keberadaan Badan Peradilan
Bila kita melihat lebih jauh pada
masa-masa awal sejarah, hakikat dari keberadaan badan peradilan itu sendiri
adalah sebagai tempat mencari dan mendapatkan keadilan, untuk mengadili
tindakan sewenang-wenang penguasa yang bertindak angkuh dan selalu menindas
rakyat. Rakyat diperlakukan sebagai budak yang dianggap tidak mempunyai hak
sama sekali. Hanya penguasa yang mempunyai hak, rakyat hanya memiliki kewajiban
yang harus dipenuhi kepada penguasa. Apapun yang dilakukan penguasa harus
selalu dianggap benar adanya karena itu harus selalu dipatuhi tanpa syarat.
Rakyat selalu lemah tidak punya daya upaya, tak punya kekuatan ketika berhadapan
dengan penguasa, rakyat selalu menjadi korban rezim yang berkuasa.
Setelah lama terkungkung dalam
ketidakberdayaan menjadi objek penindasan dan selalu merasakan perilaku tidak
mengenakkan dari penguasa yang tiran, kemajuan paradigma (pola berpikir)
seiring bertumbuhnya kesadaran hukum rakyat, pula disebabkan berkecamuknya rasa
muak yang begitu mendalam akan perlakukan sewenang-wenang penguasa, maka
muncullah gejolak yang meluas menentang kediktatoran penguasa. Semakin lama
kekuatan dan suara penentangan terhadap penguasa semakin menguat, sehingga
revolusi ataupun kudeta tak bisa lagi dihindari. Puncaknya adalah rakyat
berhasil memaksa penguasa untuk menandatangani suatu perjanjian luhur seperti Magna Charta pada 1215 di Inggris,
diantara isinya adalah bahwa Raja harus melindungi, menghormati dan memenuhi
hak-hak rakyat.
Dalam perkembangan sejarahnya, konsepsi HAM semakin diterima
secara meluas ke berbagai belahan dunia barat. Sedangkan dibelahan dunia timur,
pemerintahan Islam sudah lebih dulu mengenal dan memberikan jaminan
perlindungan HAM kepada rakyatnya jauh sebelum barat mengenal HAM.
Undang-Undang Dasar pertama dalam sejarah peradaban manusia yang disebut
Shahifah, Piagam Madinah (Madinah
Charter), merupakaan kesepakatan luhur yang dibuat oleh Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihi wassallam berisikan perlindungan terhadap HAM penduduk
Madinah yang plural. Memasuki tahapan yang lebih modern maka
muncullah gagasan agar hak-hak asasi warganegara itu dijamin perlindungannya,
maka segala tindakan pemerintah harus selalu tersedia mekanisme hukum untuk
menguji keabsahannya.
Tempat pengujian sekaligus mengadili kemungkinan tindakan
pemerintah yang sewenang-wenang itulah yang disebut pengadilan. Singkatnya,
tumbuhnya konsepsi perlindungan hak asasi menjadi tonggak paling awal yang
membuka ruang dikemudian hari dibentuknya badan peradilan. Sedangkan peradilan
yang bebas dan mandiri itu hanya mungkin tumbuh di negara yang menganut
supremasi hukum yaitu negara yang menjadikan hukum sebagai panglima, hukum
mendapat tempat yang tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
peradilan. Untuk konteks Indonesia, keberadaan
badan peradilan yang bernama Mahkamah Konstitusi kelahirannya tidak hanya
dipicu oleh keinginan untuk memberikan perlindungan terhadap HAM, banyak hal
yang melatarbelakangi Indonesia kemudian menerima gagasan keberadaan Mahkamah
Konstitusi. Karena itu ada baiknya kita mengetahui pula perihal keberadaan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia itu untuk menambah khazanah keilmuan
kita. Sebab keberadaan, peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi Mahasiswa
merupakan percontohan dari keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Berikut perihal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia saya kemukakan dengan
mengutip berbagai pendapat yang relevan dari para pakar Hukum Tata Negara.
1.
Sejarah dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Membicarakan MK di Indonesia berarti tidak dapat lepas
jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review, yang sejatinya
merupakan kewenangan paling utama lembaga MK. Empat momen dari jelajah
histories yang patut dicermati antara lain ; kasus Madison vs Marbury di AS,
ide Hans Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan
perdebatan PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai Special
Tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, mengemban tugas khusus, merupakan
konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada
dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum
yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial
review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi, di
Amerika Serikat dilakukan oleh Mahkamah Agung, dimulai sejak terjadinya kasus
Marbury versus Madison (1803). Mahkamah Agung Amerika Serikat yang waktu itu di
ketuai oleh Hakim Agung John Marshall memutus sengketa yang pada dasarnya
bukanlah apa yang dimohonkan untuk diputus oleh kewenangannnya sebagai ketua
Mahkamah Agung.
Para penggugat (William Marbury, Dennis Ramsay, Robert
Townsend Hooe, dan Willia Harper) memohonkan agar ketua Mahkamah Agung sebagai
kewenangannnya memerintahkan pemerintah mengeluarkan write of mandamus dalam rangka penyerahan surat-surat pengangkatan
mereka. tetapi Mahkamah Agung dalam putusannnya membenarkan bahwa pemerintahan
John Adams telah melakukan semua persyaratan yang ditentukan oleh hukum
sehingga William Marbury dan kawan-kawan dianggap memang berhak atas
surat-surat pengangkatan mereka. Namun Mahkamah Agung sendiri menyatakan tidak
berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat-surat
yang dimaksud. Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat,
yaitu agar Mahkamah Agung mengeluarkan write
of mandamus sebagaimana ditentukan oleh Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat
dibenarkan karena ketentuan Judiciary Act
itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika
Serikat.
Atas dasar penafsiran terhadap konstitusi-lah perkara ini
diputus oleh John Marshall. Keberanian John Marshall dalam kasus itu menjadi preseden
dalam sejarah Amerika yang kemudian berpengaruh luas terhadap pemikiran dan
praktik hukum di banyak negara. Semenjak itulah, banyak undang-undang federal
maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan
konstitusi oleh Supreme Court. Hans
Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20
(1881-1973) juga pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi
University of Vienna, diminta untuk menyusun sebuah konstitusi bagi Republik
Austria yang muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama
dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai
seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi dari undang-undang biasa
dan harus ditegakkan secara demikian). Kelsen juga mengakui adanya
ketidakpercayaan yang luas terhadap badan peradilan biasa untuk melaksanakan
tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah
khusus yang terpisah dari peradilan biasa untuk mengawasi undang-undang dan
membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang
mendirikan Mahkamah Konstitusi berdasar model itu untuk pertama kali adalah
Cekoslowakia pada bulan Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920
rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria. Setelah perang dunia
kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial
Review menyebar keseluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi
secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Perancis mengadopsi konsepsi
ini secara berbeda dengan membentuk Constitutional
Council (Conseil Constitutional). Negara-negara bekas jajahan Perancis
mengikuti pola Perancis ini. Sehingga saat ini telah ada 78 negara yang
mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi. dan Indonesia merupakan
negara ke 78 yang mengadopsikannya. Momen yang patut dicatat berikutnya
dijumpai dalam salah satu rapat BPUPKI.
Mohammad Yamin menggagas lembaga yang
berwenang menyelesaikan sengketa di bidang pelaksanaan konstitusi, lazim
disebut constitutioneele geschil atau
constitutional disputes. Gagasan
Yamin berawal dari pemikiran perlunya diberlakukan suatu materieele toetsingrecht (uji materil) terhadap UU. Yamin
mengusulkan perlunya Mahkamah Agung diberi wewenang “membanding” undang-undang.
Namun usulan Yamin disanggah Soepomo dengan empat alasan bahwa (i) konsep dasar
yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep
pembagian kekuasaan (distribution of
power), selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan
menguji undang-undang, (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian
undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan
Rakyat, dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli
mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide itu urung diadopsi dalam UUD 1945. Ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dalam rangka tuntutan untuk
memberdayakan Mahkamah Agung.
Diawali pada tahun 1970-an dengan perjuangan
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang memperjuangkan agar Mahkamah Agung
Indonesia diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang
Dasar. Tuntutan ini tidak pernah ditanggapi karena dilatarbelakangi
oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang
monolitik waktu itu. Juga tidak diperkenankannya adanya perubahan konstitusi,
bahkan Undang-Undang Dasar cendrung disakralkan. Tetapi setelah terjadinya
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998 yang menghantam berbagai
aspek kehidupan sosial, politik dan hukum. Gagasan Yamin muncul kembali pada
proses amandemen UUD 1945. Gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi mengemuka pada
sidang kedua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI (PAH I BP MPR), pada
Maret-April tahun 2000.
Mulanya, MK akan ditempatkan dalam lingkungan MA,
dengan kewenangan melakukan uji materil atas undang-undang, memberikan putusan
atas pertentangan antar undang-undang serta kewenangan lain yang diberikan
undang-undang. Usulan lainnya, MK diberi kewenangan memberikan putusan atas
persengketaan kewenangan antarlembaga negara, antar pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah. Dan setelah melewati perdebatan
panjang, pembahasan mendalam, serta dengan mengkaji lembaga pengujian
konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan
berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai
pembentukan Mahkamah Konstitusi diakomodir dalam Perubahan Ketiga UUD 1945.
Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang
diberi nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
Akhirnya sejarah MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimulai, tepatnya
setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal
24C, dan Pasal 7B pada 9 November 2001. UUD 1945 telah mengalami perubahan mendasar sejak Perubahan Pertama pada tahun 1999
sampai Perubahan Keempat pada tahun 2002. Undang-undang Dasar 1945 setelah
Perubahan Keempat tahun 2002, saat ini boleh dikatakan merupakan konstitusi
baru sama sekali, dengan resmi disebut “Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945”. Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang
sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari tiga kali lipat jumlah materi
muatan asli UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka
setelah empat kali perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup
199 butir ketentuan, menyisakan hanya 25 butir yang tidak mengalami perubahan.
Selebihnya, yaitu sebanyak 174 butir ketentuan dapat dikatakan merupakan materi
atau ketentuan yang baru. Sri Soemantri menyatakan, bahwa prosedur serta sistem
perubahan Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya merupakan perwujudan dua hal,
yaitu menjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia dan memungkinkan adanya
perubahan. Merujuk pada pendapat ini, terjadinya perubahan UUD 1945 sejak
Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat, tentunya harus mempengaruhi sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Terjadinya perubahan yang mendasar terhadap
sistem ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai lembaga Negara. Sehubungan
dengan itu penting disadari bahwa sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
setelah Perubahan Keempat UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat
mendasar. Perubahan itu juga mempengaruhi mekanisme struktural organ-organ
Negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara
berpikir lama. Ada pokok-pokok pikiran baru yang diadopsikan ke dalam kerangka
UUD 1945 itu; pokok pikiran tersebut antaranya adalah :
a). Penegasan dianutnya cita demokrasi dan
nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplementer;
b). Pemisahan kekuasaan dan prinsip “checks and balances”
c). Pemurnian sistem pemerintah presidential; dan
d). Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan pasal III Aturan Peralihan Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memerintahkan dibentuknya
Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk
maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tanggal 13 Agustus 2003
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian
pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik dan mulai bekerja
secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) merupakan lembaga
yudikatif selain Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal
ini berarti bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
mempunyai kedudukan setara dengan lembaga-lembaga negara lainnya, seperti
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan yang terakhir
terbentuk yaitu Komisi Yudisial (KY). Ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan
modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita
tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara
pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
b. Alasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Apa alasannya sehingga kemudian
MK disepakati untuk dibentuk di Indonesia? Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
merupakan ekses dari perkembangan pemikiran hukum dan ketatanegaraan modern
yang muncul pada abad ke-20 ini. Di negara-negara yang tengah mengalami tahapan
perubahan dari otoritarian menuju demokrasi, ide pembentukan MK menjadi
diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya menyertai perubahan menuju
rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK dibentuk. Pelanggaran demi
pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi, selain membuat
konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap
prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide
pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan perlindungan terhadap hak-hak
konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai “grundnorm”
atau “highest norm”, yang artinya segala peraturan perundang-undangan
yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur
dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat (the sovereignity of the people) kepada
negara, melalui konstitusi rakyat membuat statement kerelaan pemberian sebagian
hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu, konstitusi harus dikawal dan dijaga.
Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh pemegang kekuasaan maupun aturan
hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi, merupakan wujud nyata
pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Ide demikian yang turut melandasi
pembentukan MK di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Ini mengimplikasikan
agar pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga.
Harus diakui berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan
sejak awal Orde Baru telah terjadi. Carut marutnya peraturan perundangan selain
didominasi oleh hegemoni eksekutif, terutama semasa Orde Baru menuntut
keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial review (menguji bertentangan-tidaknya suatu undang-undang
terhadap konstitusi). Namun, penguasa waktu itu hanya memberikan hak uji materiil
terhadap peraturan perundangan di bawah undang-undang pada Mahkamah Agung.
Identifikasi kenyataan-kenyataan semacam itu kemudian mendorong Panitia Ad Hoc
I Badan Pekerja MPR yang menyiapkan amandemen ketiga UUD 1945 akhirnya
menyepakati organ baru bernama MK.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh
kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai
konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi
yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang
dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku
sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang
menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan
Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan
menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation
of powers) berdasarkan prinsip checks
and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat
potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara.
Sementara itu, perubahan
paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga
tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara.
Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa
tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR
pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari
mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk
itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih
dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam
masa jabatannya. Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga
pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan
masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai
lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil
Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi
nama Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
C.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan separation of power
(pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format
kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun
secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga
tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai
pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu
sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah
lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung
(MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai
lembaga tinggi negara.
Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi
terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga
negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi
juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi
diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain,
kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada
lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara
berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat. Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga
negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD
1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan
kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi
adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi.
Sehingga,
sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi
dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru.
Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama
lain. Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi
pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang
sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah
hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal
ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga
atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.
D. Fungsi dan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan
dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah
Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah
Konstitusi juga menjadi pelindung (protector)
konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam Undang
Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi
hak-hak asasi manusia (fundamental
rights) juga benar adanya. Tetapi dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan sebagai berikut:“… salah
satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang
berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan
kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan
juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa
lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi”.
Lebih jelas Jimly Asshiddiqie menguraikan:
“Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi
dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan
konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas
mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua
komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan
sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar
spirit konstitusi selalu hidup dan mawarnai keberlangsungan bernegara dan
bermasyarakat”.
Lembaga negara lain dan bahkan orang perorang boleh
saja menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi. Suatu
konstitusi memang tidak selalu jelas karena rumusannya luas dan kadang-kadang
kabur. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang
mengikat adalah Mahkamah Konstitusi. Dan tafsiran yang mengikat itu hanya
diberikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan
kepadanya.
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang
Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
2. Mahkamah Konstitusi wajib
memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang Undang Dasar.
Secara khusus, wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut
diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:
1). Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannnya bersifat final untuk:
a. Menguji
undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
Mengenai pengujian UU, diatur dalam Bagian Kesembilan
UU Nomor 24 Tahun 2003 dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 60. Undang-undang
adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan
politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung
kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip
hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah
bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya. Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak
dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu
dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu
dibatalkan MK. Melalui kewenangan judicial
review, MK menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat
ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.
b. Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara adalah perbedaan pendapat yang
disertai persengketaan dan klaim lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga negara tersebut. Hal ini mungkin terjadi mengingat sistem
relasi antara satu lembaga dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti
sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat relasi
yang demikian itu, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing timbul
kemungkinan terjadinya perselisihan dalam menafsirkan amanat UUD., MK dalam hal
ini, akan menjadi wasit yang adil untuk menyelesaikannya. Kewenangan mengenai
ini telah diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 67 UU Nomor 24 Tahun 2003.
c. Memutus
pembubaran partai politik;
Kewenangan ini
diberikan agar pembubaran partai politik tidak terjebak pada otoritarianisme
dan arogansi, tidak demokratis, dan berujung pada pengebirian kehidupan
perpolitikan yang sedang dibangun. Mekanisme yang ketat dalam pelaksanaannya
diperlukan agar tidak berlawanan dengan arus kuat demokrasi. Partai politik
dapat dibubarkan oleh MK jika terbukti ideologi, asas, tujuan, program dan
kegiatannya bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 74 sampai dengan Pasal 79
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur kewenangan ini.
d. Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan Peserta
Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU mempengaruhi 1).
Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan calon yang masuk pada putaran
kedua pemilihan presiden. dan wakil presiden serta terpilihnya pasangan
presiden dan wakil presiden, dan 3). Perolehan kursi partai politik peserta
pemilu di satu daerah pemilihan. Hal ini telah ditentukan dalam Bagian
Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74
sampai dengan Pasal 79.
2).Mahkamah
Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan ini
diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem presidensial, pada dasarnya presiden tidak
dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan
presiden dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before law, presiden dapat
diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang
ditentukan dalam UUD. Tetapi proses pemberhentian tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip negara hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa
diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK.
Dalam hal ini
hanya DPR yang dapat mengajukan ke MK. Namun dalam pengambilan sikap tentang
adanya pendapat semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR
yaitu melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang hadir
dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga)
anggota DPR.
3). Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. Pengkhianatan
terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana
diatur dalam undang-undang.
b. Korupsi
dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur
dalam undang-undang.
c. Tindak
pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih.
d. Perbuatan
tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
e. Tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat
sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Sejarah
terbentuknya Mahkamah konstitusi tidak begitu saja terbentuk, terbentuknya MK
tidak dapat lepas jelajah historis dari konsep dan fakta mengenai judicial review. Empat peristiwa sejarah
yang patut dicermati antara lain; kasus Madison vs Marbury di AS, ide Hans
Kelsen di Austria, gagasan Mohammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan perdebatan
PAH I MPR pada sidang-sidang dalam rangka amandemen UUD 1945. Berdasarkan pasal
III Aturan Peralihan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk maka kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Tanggal 13 Agustus 2003 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi disahkan kemudian pada tanggal 16 Agustus 2003 para hakim
konstitusi dilantik dan mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus
2003. Kedudukan MK merupakan satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi
diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa
mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau
tinggi. Juga Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal konstitusi
agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun
warga Negara. Kewenangan MK
antara lain sebagai berikut : Menguji undang-undang terhadap UUD NRI
1945, Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD NRI 1945, Memutus pembubaran partai politik, Memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum, dan Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
BAGIAN II
A. Mahkamah Konstitusi Mahasiswa Sebagai Sebuah Badan Peradilan
dan Perannya.
Mahkamah Konstitusi Mahasiswa adalah
satu-satunya badan peradilan di Daulah Mahasiswa Universitas Islam Riau,
sebagai tempat pengaduan pelanggaran hak-hak mahasiswa dari segala kemungkinan
terjadinya pelanggaran secara tidak sah dalam konteks penyelenggaraan Daulah
oleh badan/pejabat mahasiswa. Mahkamah Konstitusi berkewajiban untuk memeriksa
dan mengadili serta memutus dengan seadil-adilnya setiap perkara yang diajukan
atau dimohonkan kepadanya oleh mahasiswa yang merasa dirugikan hak-haknya
secara tidak sah oleh badan/pejabat mahasiswa. Mahkamah Konstitusi bersidang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Daulah Mahasiswa, Undang-Undang Mahasiswa,
maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi Mahasiswa. Sebagai sebuah badan peradilan
maka Mahkamah Konstitusi Mahasiswa dilengkapi dengan sejumlah kewenangan
konstitusional. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang Dasar Daulah Mahasiswa diantaranya yaitu:
1.
Menguji peraturan perundang-undangan mahasiswa yang saling
bertentangan secara hierarkis dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
Kemungkinan bentuk kontradiktif
peraturan perundang-undangan mahasiswa itu dapat berupa :
a.
Terdapat norma undang-undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Mahasiswa;
b.
Terdapat norma peraturan pemerintah mahasiswa yang dibentuk
oleh Presiden Mahasiswa bertentangan dengan undang-undang mahasiswa;
c.
Terdapat norma peraturan Presiden mahasiswa yang dibentuk
oleh Presiden Mahasiswa bertentangan dengan undang-undang mahasiswa;
d.
Terdapat norma peraturan daerah mahasiswa yang dibuat oleh
Gubernur Mahasiswa bersama Dema Fakultas bertentangan dengan undang-undang
mahasiswa, bertentangan dengan peraturan pemerintah mahasiswa, dan/atau
bertentangan dengan peraturan Presiden Mahasiswa.
e.
Terdapat keputusan Badan/Pejabat Mahasiswa seperti keputusan
Presiden Mahasiswa, keputusan menteri mahasiswa, keputusan Badan Pemilihan Raya
Mahasiswa, keputusan Panitia Pemilihan Raya Mahasiswa, keputusan Gubernur
Mahasiswa, keputusan Unit Kegiatan Mahasiswa yang melanggar, mengurangi,
menghambat, meniadakan dan/atau mengabaikan secara tidak sah dan secara tidak
rasional, dan/atau sewenang-wenang hak-hak mahasiswa untuk aktif ikut serta dalam penyelenggaraan daulah,
berkreasi, berinovasi, mengembangkan potensi pribadi dan lain sebagainya.
Dikecualikan menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi Mahasiswa yaitu jika terdapat pertentangan norma
undang-undang dengan norma undang-undang lainnya sehingga mengakibatkan tidak
adanya kepastian hukum, maka Mahkamah Konstitusi Mahasiswa menolak permohonan
pemohon dan menyerahkan kepada parlemen mahasiswa untuk menguji dan merevisi
kembali produk buatannya itu. Hal yang sama juga berlaku untuk peraturan
perundang-undangan mahasiswa lainnya yang sederajat saling bertentangan
Mahkamah Konstitusi Mahasiswa menolak permohonan pemohon dan menyerahkan kepada
pejabat pembentuknya sepenuhnya untuk dilakukan pengujian dan/atau merevisinya kembali.
2. Melakukan penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar Daulah
Mahasiswa (UUDM).
Suatu hal yang harus dipahami sehingga
jangan sampai terjadi kesalahpahaman bahwa dalam hal Mahkamah Konstitusi
Mahasiswa melakukan penafsiran norma UUDM, tidak berarti bahwa Mahkamah
Konstitusi Mahasiswa mengubah secara tekstual isi UUDM. Tidak sama sekali,
tidak seperti itu. Penafsiran itu dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan fungi
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution), sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democrazy). Sebab
belajar dari praktik penguatan demokrasi dan Negara Hukum oleh Negara Republik
Indonesia, dahulunya sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi, pemerintah orde
baru bertindak sebagai penfasir tunggal konstitusi (UUD).
Penafsiran itu dilakukan untuk
memberikan legitimasi (keabsahan) semua tindakan pemerintah, memberikan
keuntungan dan menjadi justifikasi (pembenaran) atas kesewenang-wenangan yang
dilakukan pemerintah. Sehingga dengan penafsiran itu pemerintah telah
mendominasi kebenaran berdasarkan syahwat dan selera kekuasaannya. Konstitusi
ditafsirkan semau-maunya saja, hal ini tidak boleh dibiarkan terus menerus. Karena
itulah maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi dan diberikan peran sebagai lembaga
penafsir tunggal konstitusi. Demikian juga halnya dengan Daulah Mahasiswa ini, Pemerintah
mahasiswa tidak boleh diberikan wewenang penafsiran UUDM. Sebab bagaimanapun
Pemerintah mahasiswa adalah lembaga politik, setiap keputusan atau kebijakan
yang dibuatnya selalu bersifat politis pula.
Karena itulah agar kepastian hukum
dan keadilan tetap dapat diwujudkan maka wewenang penafsiran itu haruslah diberikan
kepada peradilan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi Mahasiswa. Penafsiran UUDM yang dilakukan Mahkamah
Konstitusi Mahasiswa bertujuan untuk memberikan kepastian hukum. Norma UUDM itu
ditafsirkan, diberi arti tertentu. Misalnya kata “dapat“ ditafsirkan dengan memberikan kualifikasi arti yang sama
kualitasnya, derajatnya dengan kata “berhak”.
Dengan kata lain, kata “dapat”
mengandung arti yang sama dengan kata “berhak”, dapat=berhak. Atau misalnya
kata “dalam waktu 10 (sepuluh) hari”,
apakah yang dimaksudkan dengan kata “dalam
waktu 10 (sepuluh) hari itu?”. Untuk menghindari multitafsir suatu norma
sehingga dengannya membuka kesempatan bagi tindakan Pemerintah mahasiswa yang
sewenang-wenang, maka Mahkamah Konstitusi Mahasiswa perlu melakukan penafsiran
supaya ada kepastian hukum. Karena itu dalam Hukum Tata Negara
termasuk dalam Hukum Pidana dikenal berbagai metode dan macamnya penafsiran
itu, diantaranya penafsiran itu meliputi: penafsiran tekstual, penafsiran
gramatikal, penafsiran ekstensif, penafsiran historis dan lain sebagainya.
3. Mahakamah Konstitusi Mahasiswa
berkewajiban memutus pendapat perihal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden Mahasiswa menurut UUDM, dan wewenang lain yang diberikan oleh UUDM dan
undang-undang mahasiswa.
Dalam memeriksa, mengadili dan memutus
perkara, Mahkamah Konstitusi Mahasiswa selain harus mengacu kepada peraturan
perundang-undangan mahasiswa, Mahakamah Konstitusi Mahasiswa dapat pula mengacu
kepada kebiasaan atau konvensi yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan ketatanegaraan daulah mahasiswa. Mahkamah Konstitusi harus
selalu mengupayakan terwujudnya keadilan dan kepastian hukum kepada semua
mahasiswa tanpa diskriminatif. Diskriminatif dalam pengertian tidak
membeda-bedakan perlakuan terhadap seseorang berdsarkan status sosialnya,
status akademiknya, status politiknya, ras, warna kulit, bahasa, etnik atau
nasab (keturunan).
Semua mahasiswa harus diperlakukan sama dihadapan hukum
mahasiswa tanpa terkecuali. Majelis hakim yang bersikap diskriminatif tidak
pantas dikatakan sebagai hakim mahasiswa, karena itu dapat terkena sanksi etik
oleh lembaga etik terkait. Hakim mahasiswa harus selalu menghindarkan dirinya
dari perilaku yang tidak pantas, gaya hidup berlebih-lebihan, angkuh, dan
melawan hukum mahasiswa. Hakim mahasiswa harus selalu mengedepankan etika yaitu
budi pekerti yang baik dalam setiap pergaulan atau dilingkungan pergaulan
manapun, menjaga martabat dan marwah institusi, harus punya integritas
(kesungguhan) menjadi hakim mahasiswa untuk menegakkan hukum dan keadilan,
harus punya dedikasi (mengabdikan dirinya demi tegaknya hukum dan keadilan),
dan yang tidak kalah pentingnya adalah harus mengerti dan menguasi
ketatanegaraan.
B. Mencari Sosok Ideal Hakim Konstitusi Mahasiswa
Terkait dengan poin yang terakhir diatas
bahwa hakim Mahkamah Konstitusi Mahasiswa itu harus mengerti dan menguasai
ketatanegaraan. Sebab ranah atau domain menjadi hakim mahasiswa itu adalah
lapangannya Hukum Tata Negara sebagaimana telah dibahas diawal. Idealnya memang
hakim mahasiswa itu adalah orang-orang yang memiliki latar belakang akademik
bidang Hukum Tata Negara. Yaitu mereka
yang kesehariannya selalu belajar, membaca dan menganalisa persoalan
ketatanegaraan. Tetapi oleh karena peminat Hukum Tata Negara itu sangat minim
di Fakultas Hukum, kalah jauh jika dibandingkan dengan banyaknya peminat Hukum
Pidana, Hukum Perdata ataupun Hukum Administrasi Negara yang selalu ramai
peminat.
Yang sangat disayangkan adalah bahwa grafik kuantitas peminat Hukum
Tata Negara sepertinya paralel dengan merosotnya kualitas generasi mahasiswa
Hukum Tata Negara dari waktu ke waktu, sehingga tidak dapat diharapkan, tidak
dapat diandalkan untuk mengisi jabatan berkelas sebagai hakim konstitusi
mahasiswa. Mahasiswa Hukum Tata Negara yang ada sekarangpun kebanyakan hanyalah
kelompok mahasiswa pemalas, minim buku, sibuk dengan aktivitas non akademik
yang semakin menjauhkannya dari pergulatan dan dinamika ketatanegaraan di
organisasi. Jikapun nanti jumlah peminat Hukum Tata Negara meningkat dan
kualitasnya meningkat pula dibarengi pula dengan kepeduliannya terhadap
pergelutan dunia ketatanegaraan di organisasi, maka ada baiknya cukuplah
kedepan hakim konstitusi mahasiswa itu dipilih dari orang-orang yang menekuni
Hukum Tata Negara itu.
Tidak perlu dipersoalkan dengan mengemukakan isu bahwa
Fakultas Hukum ingin menguasai dan mendominasi peradilan mahasiswa, kemudian
dimunculkan persangkaan liar yang tidak jelas dengan mengajukan pertanyaan, “dibalik ini semua ada apa?”. Kalaupun
dikatakan menguasai, bukan Fakultas Hukum yang menguasai, tetapi bidang Hukum
Tata Negara di Fakultas Hukum. Sebab mereka orang-orang yang menekuni Hukum
Tata Negara, jauh lebih ideal dan cocok untuk dipilih sebagai hakim mahasiswa.
Disamping mereka belajar ilmu hukum, mereka juga belajar Hukum Tata Negara
dengan segala kompleksitasnya. Demikian
artikel singkat pendek ini, kiranya dapat menjadi bahan pembelajaran dan
menambah wawasan hakim konstitusi mahasiswa. Kritik dan saran yang membangun
dari para hakim mahasiswa dan segenap pihak penulis terima dengan hati yang
lapang.
Jum’at, 1 Desember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar