Pilkades Serentak Dalam
Demokrasi
Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa secara langsung dan
serentak atau yang lazim disebut Pilkades relatif masih baru dilaksanakan dalam
demokrasi Indonesia, mungkin saja ide-ide ke arah itu telah mendahului daripada implementasinya secara konkret dalam
lapangan praktis. Sebelumnya kepala desa hanya dipilih secara langsung oleh
masyarakat dan tidak dilaksanakan secara serentak. Sebelum kita bicara lebih
luas tentang Pilkades langsung dan serentak ini perlu dikemukakan disini dasar
hukum yang menjadi patokan dan tolok ukur analisa dalam penyelenggaraan
Pilkades secara langsung dan serentak ini meliputi:
1.
UUD
Tahun 1945;
2.
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
3. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 128/PUU-XIII/2015
yang pada pokoknya merupakan judicial review atas beberapa pasal
dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
4.
Permendagri
Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014
tentang Pemilihan
Kepala Desa.
Kepala Desa.
Ada alasan lain bagi saya menempatkan putusan Mahkamah
Konstitusi diatas permendagri dalam penomoran diatas. Secara prinsipil ada
perbedaan yang sangat mendasar antara putusan Mahkamah Konstitusi atau putusan
pengadilan dengan peraturan menteri dalam negeri (permendagri) maupun peraturan
lain seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, termasuk Peraturan Desa.
Perbedaannya adalah, Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi atau putusan pengadilan itu tidak termasuk kedalam kategori peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan itu dilihat dari segi subjek/lembaga yang membentuknya bukanlah produk politik, melainkan merupakan produk hukum sebab dibentuk oleh lembaga hukum/penegak hukum. Putusan pengadilan yang saya maksud disini adalah putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkraht van gewijsde. Adapun putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap tidak relevan dijadikan objek studi ilmiah. Tidak hanya putusan pengadilan yang tidak termasuk kedalam kategori peraturan perundang-undangan, tetapi semua keputusan administratif juga bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan.
Perbedaannya adalah, Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi atau putusan pengadilan itu tidak termasuk kedalam kategori peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan itu dilihat dari segi subjek/lembaga yang membentuknya bukanlah produk politik, melainkan merupakan produk hukum sebab dibentuk oleh lembaga hukum/penegak hukum. Putusan pengadilan yang saya maksud disini adalah putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkraht van gewijsde. Adapun putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap tidak relevan dijadikan objek studi ilmiah. Tidak hanya putusan pengadilan yang tidak termasuk kedalam kategori peraturan perundang-undangan, tetapi semua keputusan administratif juga bukanlah merupakan peraturan perundang-undangan.
Keputusan administratif itu misalnya Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan
Kepala Desa dan semua keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga atau
komisi-komisi negara lainnya. Karena itu jugalah maka bilamana terdapat
kebijakan yang berupa keputusan administratif yang merugikan kepentingan umum,
atau subjek hukum tertentu maka tempat mengujinya adalah di Pengadilan Tata
Usaha Negara, bukan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Negeri atau
Mahkamah Agung. Apalagi di pengadilan perdata, jelas sangat jauh tidak ada
relevansinya sama sekali.
Pengadilan Tata Usaha Negara juga disebut sebagai Pengadilan Administrasi yang hanya mengurusi persoalan administrasi yang melibatkan pejabat tata usaha negara. Adapun putusan Mahkamah Konstitusi secara struktural-institusional bilamana merugikan kepentingan umum atau pihak baik secara individual maupun secara kolektif merasa dirugikan maka tidak tersedia tempat untuk mengujinya. Sebab Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan tunggal dan hanya mengurusi persoalan ketatanegaraan. Tidak seperti putusan pengadilan pada umumnya dapat diajukan perlawanan, atau pengujian berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Pengadilan Tata Usaha Negara juga disebut sebagai Pengadilan Administrasi yang hanya mengurusi persoalan administrasi yang melibatkan pejabat tata usaha negara. Adapun putusan Mahkamah Konstitusi secara struktural-institusional bilamana merugikan kepentingan umum atau pihak baik secara individual maupun secara kolektif merasa dirugikan maka tidak tersedia tempat untuk mengujinya. Sebab Mahkamah Konstitusi adalah pengadilan tunggal dan hanya mengurusi persoalan ketatanegaraan. Tidak seperti putusan pengadilan pada umumnya dapat diajukan perlawanan, atau pengujian berupa banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Kedua, alasan
berikutnya mengapa saya meletakkan putusan Mahkamah Konstitusi diatas peraturan
perundang-undangan lain yang lebih rendah dari undang-undang, sebab sekali
Mahkamah Konstitusi menjatuhkan vonnis (putusan) maka putusannya itu langsung inkraht van gewijsde. Karena itu
kekuatan hukum mengikatnya sama kuatnya dengan undang-undang, dimana semua
kebijakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang.
Maka dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi pun tidak boleh ada peraturan perundang-undangan maupun kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. (tentang hal ini dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan saya “Memahami Peraturan Perundang-Undangan”, “Perihal Ilmu Undang-Undang”, “Perihal Putusan Pengadilan”). Pilkades secara langsung dan serentak ini praktis baru dapat diselenggarakan sejak tahun 2017 dan tahun-tahun berikutnya selama tidak ada perubahan sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 128/PUU-XIII/2015 dan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Maka dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi pun tidak boleh ada peraturan perundang-undangan maupun kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. (tentang hal ini dapat dibaca lebih lanjut dalam tulisan saya “Memahami Peraturan Perundang-Undangan”, “Perihal Ilmu Undang-Undang”, “Perihal Putusan Pengadilan”). Pilkades secara langsung dan serentak ini praktis baru dapat diselenggarakan sejak tahun 2017 dan tahun-tahun berikutnya selama tidak ada perubahan sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 128/PUU-XIII/2015 dan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa.
Tetapi ternyata sudah ada daerah yang
menyelenggarakan Pilkades pada tahun 2016, padahal putusan Mahkamah Konstitusi
baru dibacakan pada Selasa, 23 agustus 2016. Sedangkan Permendagri Nomor 65
Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Kepala Desa ditetapkan pada 02 Agustus 2017. Saya menduga,
penyelenggaraan Pilkades di tahun 2016 mutlak hanya mengacu kepada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 128/PUU-XIII/2015.
Padahal, putusan pengujian undang-undang tetap memerlukan peraturan pelaksana agar teknis penyelenggaraan Pilkades dapat diselenggarakan dengan sejelas-jelasnya. Saya menilai bahwa salah satu motivasi yang paling mendasari paradigma pembentuk undang-undang mengambil kebijakan penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak ini dilatabelakangi oleh penyelenggaraan Pemilu secara langsung dan serentak, yakni Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Juga dipengaruhi oleh penyelenggaraan Pilkada secara langsung dan serentak di seleuruh Indonesia.
Padahal, putusan pengujian undang-undang tetap memerlukan peraturan pelaksana agar teknis penyelenggaraan Pilkades dapat diselenggarakan dengan sejelas-jelasnya. Saya menilai bahwa salah satu motivasi yang paling mendasari paradigma pembentuk undang-undang mengambil kebijakan penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak ini dilatabelakangi oleh penyelenggaraan Pemilu secara langsung dan serentak, yakni Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Juga dipengaruhi oleh penyelenggaraan Pilkada secara langsung dan serentak di seleuruh Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui
bahwa Pemilu secara langsung dan serentak ini untuk pertama kalinya dalam
sejarah di Indonesia diselenggarakan pada 17 April 2019 dan Pilkada secara
langsung dan serentak pertama kali diselenggarakan pada 2018 lalu. Walaupun untuk
konteks Pilkada mungkin juga Pilkades pemahaman dipilih secara langsung dan
serentak itu dilaksanakan secara bertahap, jadi tidak secara sekaligus seluruh
Indonesia. Diantara sebabnya adalah masa jabatan kepala daerah yang habisnya
berbeda antar satu daerah dengan daerah lain, demikian juga masa jabatan kepala
desa habisnya berbeda dengan desa-desa lainnya.
1.
Tantangan
Penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak
Tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan kepala desa walaupun tidak serumit Pilkada secara langsung dan serentak tetapi cukup
menguras energi. Pertama kita ketahui bahwa jumlah desa atau yang disebut
dengan nama lain seperti gampong, kampung, distrik, pekon, nagari, nagori,
lembah, dusun yang selanjutnya disejajarkan dengan desa, secara keseluruhan
jumlahnya sebanyak 41. 591 desa. Praktis tentunya
penyelenggaraan Pilkades secara langsung dan serentak menjadi tanggung jawab
tiap-tiap kabupaten/kota. Oleh karena habisnya masa jabatan kepala desa di
tiap-tiap desa berbeda, maka akan kita jumpai di suatu kabupaten dalam periode
tertentu penyelenggaraan Pilkades di wilayahnya hanya ada di beberapa desa saja,
bisa saja lebih banyak ataupun lebih sedikit dibandingkan dengan Pilkades di
wilayah kabupaten/kota lainnya. Kondisi seperti ini juga terjadi pada Pilkada langsung dan serantak.
Tantangan lainnya yaitu terkait dengan kemampuan keuangan
daerah, tentunya penyelenggaraan Pilkades ini membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Jangan karena ingin menegakkan semangat efisiensi malah berdampak
tidak efektifnya penyelenggaraan Pilkades, atau jika terlalu royal dapat pula
berdampak pada ketersediaan pos-pos anggaran di bidang lainnya yang mungkin
turut tertarik sehingga mengakibatkan defisit anggaran. Selain itu juga terkait
dengan potensi konflik, ini juga tidak dapat di pandang remeh. Kerena itu
pengamanan penyelenggaran Pilkades juga harus diperhatikan oleh stake holder terkait.
Tantangan yang paling krusial dalam penyelenggaraan Pilkades dengan model secara langsung dan serentak ini menurut saya terjadi dalam tataran regulasi. Walaupun telah ada permendagri yang menjadi dasar penyelenggaraannya teknis pelaksanaannya tetap masih perlu diatur dalam peraturan daerah atau setidak-tidaknya peraturan kepala daerah. Apalagi yang menyangkut tentang penganggaran, berapa besaran biaya yang dibutuhkan, bagaimana control mechanism penyelenggaran Pilkades dan lain sebagainya. Soal regulasi misalnya andai dituangkan lebih lanjut dalam peraturan daerah, kondisi sekarang ini legal drafter perda khususnya di tiap daerah masih tergolong minim, sehingga membutuhkan tenaga ahli di bidang legal drafter yang memadai untuk membantu “proyek” penyelenggaraan Pilkades ini.
Tantangan yang paling krusial dalam penyelenggaraan Pilkades dengan model secara langsung dan serentak ini menurut saya terjadi dalam tataran regulasi. Walaupun telah ada permendagri yang menjadi dasar penyelenggaraannya teknis pelaksanaannya tetap masih perlu diatur dalam peraturan daerah atau setidak-tidaknya peraturan kepala daerah. Apalagi yang menyangkut tentang penganggaran, berapa besaran biaya yang dibutuhkan, bagaimana control mechanism penyelenggaran Pilkades dan lain sebagainya. Soal regulasi misalnya andai dituangkan lebih lanjut dalam peraturan daerah, kondisi sekarang ini legal drafter perda khususnya di tiap daerah masih tergolong minim, sehingga membutuhkan tenaga ahli di bidang legal drafter yang memadai untuk membantu “proyek” penyelenggaraan Pilkades ini.
Saya kurang sependapat dengan kebijakan menteri dalam
negeri mengeluarkan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa sebagai dasar
bagi daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Pilkades. Sebab bagaimanapun, penyelenggaraan
Pilkades secara langsung dan serentak ini bersifat nasional walaupun praktik
pelaksanaannya secara serentak dalam cakupan wilayah kabupaten/kota
masing-masing.
Akan lebih baik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah atau sekurang-kurangnya Peraturan Presiden. Sehingga dengan demikian substansi yang diatur dalam Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 yang merupakan perubahan dari permendagri sebelumnya tentang Pilkades dapat dituangkan dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Dengan demikian akan lebih kuat legitimasinya, apalagi penjabaran atau pengaturan secara teknis penyelenggaraan Pilkades itu merupakan perintah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sedangkan peraturan pelaksana yang paling dekat dengan undang-undang adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Akan lebih baik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah atau sekurang-kurangnya Peraturan Presiden. Sehingga dengan demikian substansi yang diatur dalam Permendagri Nomor 65 Tahun 2017 yang merupakan perubahan dari permendagri sebelumnya tentang Pilkades dapat dituangkan dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Dengan demikian akan lebih kuat legitimasinya, apalagi penjabaran atau pengaturan secara teknis penyelenggaraan Pilkades itu merupakan perintah dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sedangkan peraturan pelaksana yang paling dekat dengan undang-undang adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
2.
Penyelenggaraan
Pilkades di Riau
Pertama kalinya dan menjadi percontohan seluruh desa di Indonesia pemilihan kepala desa atau
Pilkades secara langsung dan serentak diselenggarakan di Kabupaten Pemalang,
Jawa Tengah pada Ahad, 25 September 2016. Sebanyak 11
desa sukses menggelar pemilihan kepala desa dengan menggunakan sistem e- voting dan e- verifikasi atau sistem komputer. Pilkades serentak ini kali pertama dan
menjadi percontohan seluruh desa di Indonesia. Meskipun perdana di Indonesia, masyarakat mengaku tidak
kesulitan memberikan hak pilihnya dengan menggunakan sistem elektronik atau
komputer. Untuk di Riau dari
berbagai informasi yang beredar Pilkades serentak akan dilaksanakan di beberapa
kabupaten, yaitu diantaranya di Kabupaten Inhu, Inhil dan Bengkalis.
Pada tahun 2019
ini Pemerintah
Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) tengah mempersiapkan
tahapan pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak 2019. Setidaknya
ada 62 desa se-Kabupaten Inhu akan ikut melaksanakan Pilkades. Bahkan
pada tahun ini, diagendakan pelaksanaan Pilkades dengan pola e-voting. Sementara Pilkades serentak tahun 2018
lalu, hanya satu desa yang melaksanakan Pilkades dengan pola e-voting yakni di Desa
Buluh Rampai Kecamatan Seberida. Sementara itu Plt. Kepala
Bagian (Kabag) Pemerintahan Desa (Pemdes) Supandi, S.Sos. MP mengatakan bahwa pelaksanaan Pilkades
dengan pola e-voting di Kabupaten Inhu
akan menjadi yang pertama di Provinsi Riau. Dengan
demikian proses penyelenggaraan Pilkades di Inhu akan mencontoh pula Pilkades
di Kabupaten
Pemalang, Jawa Tengah pada 2016 lalu.
Sementara itu dikutip dari Tribun
Tembilahan.com, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Inhil
menjadwalkan penyelenggaraan Pilkades di 43 Desa pada 02 Oktober mendatang dan
rencananya akan digelar sebanyak dua gelombang. Sementara itu di Bengkalis,
Pemerintah Kabupaten Bengkalis melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD)
telah merencanakan akan menyelenggarakan Pilkades serentak gelombang ke-III di
10 desa pada 30 Oktober tahun ini.
Kita tentunya menginginkan pemerintah kabupaten/kota dapat mengemban tanggung jawab ini agar para pemimpin desa yang terpilih benar-benar orang yang diharapkan oleh masyarakat di desanya, jangan ada money politic dan jangan sampai pemimpin desa yang terpilih dengan cara-cara curang. Pemerintah Propinsi Riau juga harus mendorong dan ikut berpartisipasi membantu kabupaten/kota agar penyelenggaraan Pilkades serentak berjalan secara efektif, demokratis dan konstitusional yang menjadi harapan dan cita-cita kita semua.
Kita tentunya menginginkan pemerintah kabupaten/kota dapat mengemban tanggung jawab ini agar para pemimpin desa yang terpilih benar-benar orang yang diharapkan oleh masyarakat di desanya, jangan ada money politic dan jangan sampai pemimpin desa yang terpilih dengan cara-cara curang. Pemerintah Propinsi Riau juga harus mendorong dan ikut berpartisipasi membantu kabupaten/kota agar penyelenggaraan Pilkades serentak berjalan secara efektif, demokratis dan konstitusional yang menjadi harapan dan cita-cita kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar