Rabu, 18 September 2019

Menakar Revisi UU KPK dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia


 Menakar Revisi UU KPK dan Masa Depan

Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Pertama harus saya katakan bahwa revisi UU KPK ini merupakan salah satu hal yang sangat sensitif selain revisi KUHP yang sampai sekarang setelah puluhan tahun dibahas tidak juga kunjung disahkan. Semula sempat terfikirkan saya akan menulis sebuah tulisan dengan judul “Revisi UU KPK Matikan Independensi Penegakan Hukum”, tetapi oleh sebab kita tidak mungkin dan sangat tidak bijak bila “memvonis” di awal sebelum melihat bagaimana praktik penegakan hukum oleh KPK pasca disahkannya RUU KPK oleh Pemerintah dan DPR, maka saya mengurungkan niat untuk menulis dengan judul demikian itu. Juga karena sejak disahkan sampai sekarang kita belum melihat bagaimana pengaturan dalam perubahan UU KPK tersebut sebab UU hasil perbaikan tersebut belum disosialisasikan oleh Pemerintah sehingga belum dapat diakses dan dipelajari.

Pun juga karena sebagai seorang intelektual dan penulis yang bijak, saya perlu menghindari diri saya dan pemikiran saya agar tidak terjebak kedalam hiruk pikuk penolakan terhadap revisi UU KPK sebagaimana ramai kita saksikan. Singkatnya, profesionalitas dan proporsionalitas dalam melihat persoalan ini sangat penting untuk dilakukan. Namun demikian, tidak berarti bahwa saya menutup diri dari potensi polemik dalam tubuh penegakan hukum yang akan dilakukan KPK pasca perubahan undang-undangnya, maksud saya, kita tentu dapat saja menilai berdasakan prediktabilitas atau kemampuan untuk memprediksi ke arah manakah masa depan penegakan hukum oleh KPK dan sejauh mana pulakah kemungkinan-kemungkinan terburuk dari revisi UU KPK tersebut ketika di implementasikan. Prediktabilitas itu kita kemukakan dengan melihat kepada beberapa poin substansi yang sering kali terlontar dari gedung parlemen maupun dari isu-isu yang memenuhi ruang publik di media. 

Tetapi merujuk kepada beberapa poin substansi yang disepakati DPR dan Pemerintah terdapat ada 7 poin yaitu soal pendapat DPR tentang perlunya dibentuk dewan pengawas KPK untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, tentang mekanisme penerbitan SP3 diantaranya bahwa KPK diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3 untuk penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam waktu satu tahun, tentang pegawai KPK seluruhnya menjadi ASN, KPK hanya dapat merekrut penyelidik dari kepolisian, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Jaksa Agung, perihal penyitaan dan penggeledahan, mendudukkan ulang perihal penyadapan yang selama ini dinilai sangat merugikan hak dan kebebasan warganegara diubah dengan ketentuan harus seizin dewan pengawas, bahkan menjalar lebih jauh kepada jantung penegakan hukum oleh KPK yaitu berkaitan dengan independensi KPK.

Diantara 7 poin yang disepakati tersebut yang paling krusial dan mengkhawatirkan keselamatan nyawa penegakan hukum adalah tentang keberadaan dewan pengawas KPK, penyadapan harus seiizin dewan pengawas, rekrutmen penyelidik harus dari kepolisian, dan kedudukan KPK dalam struktur ketatanegaraan yang diletakkan dibawah kekuasaan eksekutif. Pertama, terkait dengan keberadaan dewan pengawas KPK, fungsi dewan pengawas ini sangat vital bahwa KPK diantaranya harus mendapat izin dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan, mungkin juga termasuk izin untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. Saya melihat keberadaan dewan pengawas ini memiliki potensi atau kecenderungan yang membawa dampak sekurang-kurangnya kepada dua keadaan yaitu, Pertama, dapat membatasi gerak langkah KPK sehingga tidak maksimal dalam penegakan hukum. Disini dewan pengawas dengan fungsi dan seperangkat kewenangannya potensial dapat terjadi atau dapat saja dinilai menghambat kinerja KPK dan menjauhkan KPK dari cita penegakan hukum yang luhur untuk mengupayakan keadilan bagi segenap warga negara. 

Kedua, keberadaan dewan pengawas dapat menciptakan penegakan hukum oleh KPK menjadi lebih berwibawa. Untuk keadaan yang pertama, penilaian terhadap hal ini sangat subjektif sifatnya. Baik-buruknya terutama dirasakan oleh KPK sebagai pihak yang terkena dampak dari implementasi kebijakan dewan pengawas bila mana KPK memandang kebijakan dewan pengawas tidak sejalan dengan konsepsi maupun cara pandang penegakan hukum oleh KPK. Kendatipun bersifat subjektif, subjektifitas tersebut selalu dapat diukur berdasarkan kriteria objektif untuk menentukan sejauh manakah penilaian subjektif itu dapat sejalan dengan kriteria objektif berdasarkan pengaturan dalam undang-undang. Artinya, bukanlah penilaian subjektif yang kosong yang dikesankan hanya mengikuti kehendak nafsu belaka yang justru semakin menjauhkan dari cita penegakan hukum itu sendiri. Pengukuran derajat subjektifitas ini baru hanya akan dapat dinilai ketika terjadi beda pendapat atau perselisihan antara pimpinan dan/atau penyidik KPK dengan dewan pengawas dalam proses penegakan hukum.

Masih tentang keadaan yang pertama ini, penting dipersoalkan disini apakah UU KPK hasil perbaikan tersebut menyediakan ruang, solusi atau mekanisme andai terjadi perselisihan pimpinan dan/atau penyidik KPK dengan dewan pengawas terkait dengan kebijakan dewan pengawas yang dinilai tidak sepaham dengan apa yang dikehendaki pimpinan dan/atau penyidik KPK. Atau jangan-jangan kita dibuat khawatir bahwa keputusan dewan pengawas bersifat final tidak dapat diganggu gugat. Andai demikian halnya maka menurut pendapat saya pengaturan seperti ini sangat menciderai rasa keadilan dalam penegakan hukum prosedural (procedural law) sehingga KPK akhirnya tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti keputusan dewan pengawas sekalipun dianggap bertentangan dengan prosedur maupun menjauhkan KPK dari cita penegakan hukum yang berkeadilan. 

Ini penting dipersoalkan sebab ini merupakan salah satu wilayah konflik antara pimpinan/penyidik KPK dengan dewan pengawas sehingga proses penegakan hukum dapat menjadi terkendala. Selanjutnya keadaan kedua dampak dari keberadaan dewan pengawas, yaitu justru dapat mengarahkan dan membawa KPK pada kondisi penegakan hukum yang lebih berwibawa. Sebab mungkin saja dalam proses penegakan hukum oleh KPK dipandang oleh dewan pengawas tidak bijak sehingga berrdampak sangat fatal dan merugikan hak-hak warga negara serta justru menjauhkan KPK pada cita penegakan hukum yang berkeadilan. Disini pertimbangan dan kebijaksanaan dewan pengawas menjadi sangat penting, sebab dapat memfilter gerak langkah KPK agar tetap berada pada jalur penegakan hukum yang benar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Apalagi mungkin saja kita harus akui dalam praktik selama ini proses penegakan hukum oleh KPK dinilai offside atau keluar dari relnya (undang-undang) sehingga merugikan hak-hak warga negara yang menjadi tahanan KPK. Bagaimanapun, terhadap kekurangan-kekurangan penegakan hukum yang dilakukan KPK kita harus berlapang dada mengakuinya bahwa yang keliru perlu diperbaiki dan yang salah harus diarahkan kembali kepada jalan yang benar berdasarkan semangat dan jiwa undang-undang. Disatu pihak undang-undang yang baik adalah undang-undang yang mengakomodir sebanyak-banyaknya kebutuhan hukum masyarakat, kebijakan legislasi dibuat berdasarkan serapan bottom-up dan bukan dipaksakan dari atas ke bawah (top-down) sehingga tidak mengurat dan tidak mengakar dari aspirasi masyarakat. Dalam hal ini hukum haruslah hidup dan berangkat dari kesadaran hukum rakyat serta hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. 

Selanjutnya perihal penyadapan harus seiizin dewan pengawas. Disini penting sekali satu persepsi antara dewan pengawa dan pimpinan KPK dalam melihat dan menilai kondisi ataupun kebutuhan hukum untuk melakukan penyadapan. Jika dewan pengawas terlalu ketat dalam memberikan izin penyadapan dapat mempersempit ruang dan mempersulit kinerja KPK dalam proses penegakan hukum, terutama untuk perkara yang harus ditangani dengan sangat mendesak misalnya karena berhadapan dengan kondisi daluwarsa, pelaku melarikan diri dan/atau dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, dan lain sebagainya. Namun jika dewan pengawas mempermudah atau cenderung mengobral izin untuk melakukan penyadapan justru akan berdampak lepasnya jaminan konstitusional terhadap hak dan kebebasan warga negara. 

Kemungkinan lain yang dikhawatirkan adalah bahwa dewan pengawas tidak memberikan izin penyadapan sebab mendapat intervensi oleh pemerintah sebab dewan pengawas dibentuk oleh Presiden, sehingga izin penyadapan menjadi sengaja dikecualikan kepada orang-orang tertentu yang masih dekat atau berasal dari lingkungan istana atau bahkan orang yang dikecualikan tersebut ternyata adalah Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, atau Jaksa Agung dan pejabat tinggi lainnya. Padahal UUD 1945 kita tidak mengenal adanya warga negara istimewa, melainkan semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum (equality before the law). Jika demikian keadaannya, ini jelas melukai penegakan hukum yang dijauhkan dari cita keadilan. Selanjutnya tentang rekrutmen penyidik harus dari kepolisian, disatu pihak saya menilai memang ada sisi baiknya.

Sebab dengan direkrut dari kepolisian penyelidik pastinya tenaga handal yang berpengalaman melakukan penyelidikan. Andai harus merekrut dari luar kepolisian agak berat juga sebab KPK perlu melakukan serangkaian pelatihan atau pendidikan penyelidikan, jika tidak tentu akan menyulitkan KPK dan menjadikan penyelidikan menjadi terkendala. Kedantipun demikian, KPK tentu saja dapat merekrut dari mereka yang memang telah berpengalaman juga dalam melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan misalnya mereka tersebutu adalah mantan anggota Polri. Disamping itu dampak buruknya jika penyelidik harus berasal dari anggota Polri, maka dikhawatirkan kepolisian dapat mengintervensi proses penegakan hukum melalui penyelidiknya yang ditempatkan di KPK. 

Kepolisian dapat saja mengontrol atau mengendalikan dari luar proses penyelidikan sehingga penegakan hukum menjadi tidak fair dan diskriminatif. Terakhir yang perlu mendapat sorotan kita adalah terkait penataan tempat duduk KPK dalam struktur ketatanegaraan. KPK sebagaimana telah disepakati dalam perubahan undang-undangnya diletakkan sebagai bagian dari domain kekuasaan eksekutif. Seperti halnya kejaksaan yang tegas dinyatakan dalam undang-undangnya sebagai lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan dan pelaksana putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang, KPK pun juga ditentukan sebagai lembaga pemerintah. Dalam iklim ketatanegaraan kita saat ini, kejaksaan dan KPK memang dipandang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif sebab kewenangan atau tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan itu dipandang adalah tugas-tugasnya eksekutif (Pemerintah), bukan tugasnya legislatif maupun yudikatif. 

Hal ini di dasarkan pada logika dan pemahaman doktrinal terhadap anutan Trias Politica yang dipelopori oleh Charles Louis desecondat Baron de La Breth et de Montesquieu atau yang lazim dikenal Montesquieu. Bahwa kekuasaan dalam negara dibedakan, dibagi atau dipisah-pisahkan kedalam tiga poros besar yakni kekuasaan legislatif sebagai pemegang kebijakan legislasi yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif yang diciptakan dengan fungsi mengatur, mengelola, penertiban, mewakili kepentingan hukum rakyat dalam sidang pengadilan untuk memperjuangkan hak-haknya. Walaupun dalam bidang eksekutif tersebut pemerintah dapat saja salah, maka kepada rakyat juga dapat secara langsung berhadapan dengan pemerintah memperjuangkan hak-haknya dalam sebuah forum khusus kita mengenalnya Pengadilan Negeri khusus untuk perkara perdata dan Pengadilan Tata Usaha Negara maupun dalam forum pengadilan ad-hoc. 

Poros ketiga dari Trias Politica adalah domain kekuasaan yudikatif sebagai wadah bagi para pencari keadilan untuk menuntut dan memperjuangkan hak-haknya. Dan hanya pengadilan lah yang berhak menjatuhkan hukuman bukan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif. Untuk sementara ini doktrin Trias Politica lah yang menjadi basis argumentasi dan dasar bagi ide-ide ketatanegaraan khususnya dalam hal ini keharusan untuk meletakkan KPK dalam kekuasaan eksekutif. Seakan dalam hal ini tidak tersedia atau telah tertutup ide untuk meletakkan kejaksaan, dan KPK termasuk kepolisian dalam cabang kekuasaan yang lain selain eksekutif. Yang penting ditekankan adalah sekalipun KPK diletakkan dalam domain kekuasaan eksekutif tapi kewenangan KPK dalam menegakkan hukum bukan bersumber dari Presiden tapi langsung bersumber dari undang-undang, karena itu KPK tidak boleh di intervensi oleh pemerintah atas dasar apapun juga yang bertentangan dengan cita penegakan hukum di republik ini. 

Tentang keharusan meletakkan KPK dalam kekuasaan eksekutif ini, saya memandang secara berbeda persoalan ini terutama kita perlu memikirkan ulang tentang kemungkinan adanya pilihan lain yang lebih sesuai dalam teori fungsi negara selain yang kita anut sekarang ini yaitu doktrin Trias Politica yang mengidealkan bahwa kekuasaan negara mutlak harus dipisah-pisahkan kedalam tiga poros besar, sekalipun tidak berarti antar kekuasaan itu dilarang saling berkoordinasi satu dengan yang lain. Maksud saya, saya hendak mengajukan pemikiran lain walaupun bukan lah tergolong pemikiran yang baru tetapi pernah digagas dalam berabad-abad lalu di Perancis, yakni tentang kemungkinan kita perlu memikirkan ulang untuk menerima ide teori fungsi negara yang membagi atau memisahkan kekuasaan dalam negara kedalam lima poros besar, yakni poros Defencie, Financie Politie, Bestuur dan Rechtspraak.

Demikian teori asalnya, tetapi untuk konteks kita di negeri ini tidak mengapa agak sedikit kita kembangkan yaitu menjadi poros Regeling, Bestuur, Rechtspraak, Politie, dan Financie (baca tulisan saya tentang hal ini dalam “Rombak Ulang Struktur Ketatanegaraan, Trias Politica Perlu Diganti”). Dalam doktrin ini Kejaksaan, KPK, Advokad dan Pengadilan lebih tepat diletakkan kedalam poros  Rechtspraak. Bahwa ditekankan dalam doktrin lima poros kekuasaan ini masing-masing poros kekuasaan kedudukannya sederajat dan independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dengan demikian, KPK dan kita tidak perlu lagi khawatir pemerintah sebagai penguasa di poros Bestuur akan mengintervensi atau menggerogoti independensi KPK dalam penegakan hukum. Sebab pemerintah dan KPK berada dalam poros yang berlainan dan tiap-tiap poros berkedudukan sederajat satu sama lain. Dengan demikian saya menilai dengan doktrin lima poros kekuasaan ini dapat lebih menjamin stabilitas kita dalam bernegara di republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...