Penegakan Hukum di Indonesia
Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Pertama harus saya katakan bahwa revisi UU KPK ini
merupakan salah satu hal yang sangat sensitif selain revisi KUHP yang sampai
sekarang setelah puluhan tahun dibahas tidak juga kunjung disahkan. Semula sempat
terfikirkan saya akan menulis sebuah tulisan dengan judul “Revisi UU KPK Matikan Independensi Penegakan Hukum”, tetapi oleh
sebab kita tidak mungkin dan sangat tidak bijak bila “memvonis” di awal sebelum
melihat bagaimana praktik penegakan hukum oleh KPK pasca disahkannya RUU KPK
oleh Pemerintah dan DPR, maka saya mengurungkan niat untuk menulis dengan judul
demikian itu. Juga karena sejak disahkan sampai sekarang kita belum melihat
bagaimana pengaturan dalam perubahan UU KPK tersebut sebab UU hasil perbaikan
tersebut belum disosialisasikan oleh Pemerintah sehingga belum dapat diakses
dan dipelajari.
Pun juga karena sebagai seorang intelektual dan penulis
yang bijak, saya perlu menghindari diri saya dan pemikiran saya agar tidak
terjebak kedalam hiruk pikuk penolakan terhadap revisi UU KPK sebagaimana ramai
kita saksikan. Singkatnya, profesionalitas dan proporsionalitas dalam melihat
persoalan ini sangat penting untuk dilakukan. Namun demikian, tidak berarti
bahwa saya menutup diri dari potensi polemik dalam tubuh penegakan hukum yang
akan dilakukan KPK pasca perubahan undang-undangnya, maksud saya, kita tentu
dapat saja menilai berdasakan prediktabilitas atau kemampuan untuk memprediksi ke
arah manakah masa depan penegakan hukum oleh KPK dan sejauh mana pulakah
kemungkinan-kemungkinan terburuk dari revisi UU KPK tersebut ketika di implementasikan.
Prediktabilitas itu kita kemukakan dengan melihat kepada beberapa poin
substansi yang sering kali terlontar dari gedung parlemen maupun dari isu-isu
yang memenuhi ruang publik di media.
Tetapi merujuk kepada beberapa poin
substansi yang disepakati DPR dan Pemerintah terdapat ada 7 poin yaitu soal
pendapat DPR tentang perlunya dibentuk dewan pengawas KPK untuk mengawasi
pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, tentang mekanisme penerbitan SP3 diantaranya
bahwa KPK diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3 untuk penyidikan dan
penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam waktu satu tahun, tentang pegawai
KPK seluruhnya menjadi ASN, KPK hanya dapat merekrut penyelidik dari
kepolisian, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Jaksa Agung, perihal
penyitaan dan penggeledahan, mendudukkan ulang perihal penyadapan yang selama
ini dinilai sangat merugikan hak dan kebebasan warganegara diubah dengan ketentuan
harus seizin dewan pengawas, bahkan menjalar lebih jauh kepada jantung
penegakan hukum oleh KPK yaitu berkaitan dengan independensi KPK.
Diantara 7 poin yang disepakati tersebut yang paling
krusial dan mengkhawatirkan keselamatan nyawa penegakan hukum adalah tentang
keberadaan dewan pengawas KPK, penyadapan harus seiizin dewan pengawas,
rekrutmen penyelidik harus dari kepolisian, dan kedudukan KPK dalam struktur
ketatanegaraan yang diletakkan dibawah kekuasaan eksekutif. Pertama, terkait dengan keberadaan dewan
pengawas KPK, fungsi dewan pengawas ini sangat vital bahwa KPK diantaranya
harus mendapat izin dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan, mungkin
juga termasuk izin untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. Saya melihat keberadaan
dewan pengawas ini memiliki potensi atau kecenderungan yang membawa dampak
sekurang-kurangnya kepada dua keadaan yaitu, Pertama, dapat membatasi gerak langkah KPK sehingga tidak maksimal
dalam penegakan hukum. Disini dewan pengawas dengan fungsi dan seperangkat
kewenangannya potensial dapat terjadi atau dapat saja dinilai menghambat kinerja
KPK dan menjauhkan KPK dari cita penegakan hukum yang luhur untuk mengupayakan keadilan
bagi segenap warga negara.
Kedua, keberadaan dewan pengawas dapat menciptakan penegakan
hukum oleh KPK menjadi lebih berwibawa. Untuk keadaan yang pertama, penilaian
terhadap hal ini sangat subjektif sifatnya. Baik-buruknya terutama dirasakan
oleh KPK sebagai pihak yang terkena dampak dari implementasi kebijakan dewan
pengawas bila mana KPK memandang kebijakan dewan pengawas tidak sejalan dengan
konsepsi maupun cara pandang penegakan hukum oleh KPK. Kendatipun bersifat
subjektif, subjektifitas tersebut selalu dapat diukur berdasarkan kriteria
objektif untuk menentukan sejauh manakah penilaian subjektif itu dapat sejalan
dengan kriteria objektif berdasarkan pengaturan dalam undang-undang. Artinya,
bukanlah penilaian subjektif yang kosong yang dikesankan hanya mengikuti
kehendak nafsu belaka yang justru semakin menjauhkan dari cita penegakan hukum
itu sendiri. Pengukuran derajat subjektifitas ini baru hanya akan dapat dinilai
ketika terjadi beda pendapat atau perselisihan antara pimpinan dan/atau
penyidik KPK dengan dewan pengawas dalam proses penegakan hukum.
Masih tentang keadaan yang pertama ini, penting dipersoalkan
disini apakah UU KPK hasil perbaikan tersebut menyediakan ruang, solusi atau
mekanisme andai terjadi perselisihan pimpinan dan/atau penyidik KPK dengan
dewan pengawas terkait dengan kebijakan dewan pengawas yang dinilai tidak
sepaham dengan apa yang dikehendaki pimpinan dan/atau penyidik KPK. Atau jangan-jangan
kita dibuat khawatir bahwa keputusan dewan pengawas bersifat final tidak dapat
diganggu gugat. Andai demikian halnya maka menurut pendapat saya pengaturan
seperti ini sangat menciderai rasa keadilan dalam penegakan hukum prosedural (procedural law) sehingga KPK akhirnya
tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti keputusan dewan pengawas
sekalipun dianggap bertentangan dengan prosedur maupun menjauhkan KPK dari cita
penegakan hukum yang berkeadilan.
Ini penting dipersoalkan sebab ini merupakan
salah satu wilayah konflik antara pimpinan/penyidik KPK dengan dewan pengawas
sehingga proses penegakan hukum dapat menjadi terkendala. Selanjutnya keadaan
kedua dampak dari keberadaan dewan pengawas, yaitu justru dapat mengarahkan dan
membawa KPK pada kondisi penegakan hukum yang lebih berwibawa. Sebab mungkin
saja dalam proses penegakan hukum oleh KPK dipandang oleh dewan pengawas tidak
bijak sehingga berrdampak sangat fatal dan merugikan hak-hak warga negara serta
justru menjauhkan KPK pada cita penegakan hukum yang berkeadilan. Disini pertimbangan
dan kebijaksanaan dewan pengawas menjadi sangat penting, sebab dapat memfilter
gerak langkah KPK agar tetap berada pada jalur penegakan hukum yang benar
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apalagi mungkin saja
kita harus akui dalam praktik selama ini proses penegakan hukum oleh KPK dinilai offside atau keluar dari relnya (undang-undang)
sehingga merugikan hak-hak warga negara yang menjadi tahanan KPK. Bagaimanapun,
terhadap kekurangan-kekurangan penegakan hukum yang dilakukan KPK kita harus
berlapang dada mengakuinya bahwa yang keliru perlu diperbaiki dan yang salah
harus diarahkan kembali kepada jalan yang benar berdasarkan semangat dan jiwa
undang-undang. Disatu pihak undang-undang yang baik adalah undang-undang
yang mengakomodir sebanyak-banyaknya kebutuhan hukum masyarakat, kebijakan
legislasi dibuat berdasarkan serapan bottom-up
dan bukan dipaksakan dari atas ke bawah (top-down)
sehingga tidak mengurat dan tidak mengakar dari aspirasi masyarakat. Dalam hal
ini hukum haruslah hidup dan berangkat dari kesadaran hukum rakyat serta hukum
untuk manusia bukan manusia untuk hukum.
Selanjutnya perihal penyadapan harus
seiizin dewan pengawas. Disini penting sekali satu persepsi antara dewan
pengawa dan pimpinan KPK dalam melihat dan menilai kondisi ataupun kebutuhan hukum
untuk melakukan penyadapan. Jika dewan pengawas terlalu ketat dalam memberikan
izin penyadapan dapat mempersempit ruang dan mempersulit kinerja KPK dalam
proses penegakan hukum, terutama untuk perkara yang harus ditangani dengan
sangat mendesak misalnya karena berhadapan dengan kondisi daluwarsa, pelaku
melarikan diri dan/atau dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, dan lain
sebagainya. Namun jika dewan pengawas mempermudah atau cenderung mengobral izin
untuk melakukan penyadapan justru akan berdampak lepasnya jaminan
konstitusional terhadap hak dan kebebasan warga negara.
Kemungkinan lain yang
dikhawatirkan adalah bahwa dewan pengawas tidak memberikan izin penyadapan
sebab mendapat intervensi oleh pemerintah sebab dewan pengawas dibentuk oleh
Presiden, sehingga izin penyadapan menjadi sengaja dikecualikan kepada
orang-orang tertentu yang masih dekat atau berasal dari lingkungan istana atau
bahkan orang yang dikecualikan tersebut ternyata adalah Presiden, Wakil
Presiden, Kapolri, atau Jaksa Agung dan pejabat tinggi lainnya. Padahal UUD
1945 kita tidak mengenal adanya warga negara istimewa, melainkan semua warga
negara sama kedudukannya dalam hukum (equality
before the law). Jika demikian keadaannya, ini jelas melukai penegakan
hukum yang dijauhkan dari cita keadilan. Selanjutnya tentang rekrutmen penyidik
harus dari kepolisian, disatu pihak saya menilai memang ada sisi baiknya.
Sebab dengan direkrut dari kepolisian penyelidik pastinya
tenaga handal yang berpengalaman melakukan penyelidikan. Andai harus merekrut
dari luar kepolisian agak berat juga sebab KPK perlu melakukan serangkaian
pelatihan atau pendidikan penyelidikan, jika tidak tentu akan menyulitkan KPK
dan menjadikan penyelidikan menjadi terkendala. Kedantipun demikian, KPK tentu
saja dapat merekrut dari mereka yang memang telah berpengalaman juga dalam
melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan misalnya mereka tersebutu adalah
mantan anggota Polri. Disamping itu dampak buruknya jika penyelidik harus
berasal dari anggota Polri, maka dikhawatirkan kepolisian dapat mengintervensi
proses penegakan hukum melalui penyelidiknya yang ditempatkan di KPK.
Kepolisian
dapat saja mengontrol atau mengendalikan dari luar proses penyelidikan sehingga
penegakan hukum menjadi tidak fair
dan diskriminatif. Terakhir yang perlu mendapat sorotan kita adalah terkait
penataan tempat duduk KPK dalam struktur ketatanegaraan. KPK sebagaimana telah
disepakati dalam perubahan undang-undangnya diletakkan sebagai bagian dari
domain kekuasaan eksekutif. Seperti halnya kejaksaan yang tegas dinyatakan
dalam undang-undangnya sebagai lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan
melakukan penuntutan dan pelaksana putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang, KPK pun juga ditentukan
sebagai lembaga pemerintah. Dalam iklim ketatanegaraan kita saat ini, kejaksaan
dan KPK memang dipandang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif sebab
kewenangan atau tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan itu dipandang
adalah tugas-tugasnya eksekutif (Pemerintah), bukan tugasnya legislatif maupun
yudikatif.
Hal ini di dasarkan pada logika dan pemahaman doktrinal terhadap
anutan Trias Politica yang dipelopori
oleh Charles Louis desecondat Baron de La Breth et de Montesquieu atau yang
lazim dikenal Montesquieu. Bahwa kekuasaan dalam negara dibedakan, dibagi atau
dipisah-pisahkan kedalam tiga poros besar yakni kekuasaan legislatif sebagai pemegang
kebijakan legislasi yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan
eksekutif yang diciptakan dengan fungsi mengatur, mengelola, penertiban,
mewakili kepentingan hukum rakyat dalam sidang pengadilan untuk memperjuangkan
hak-haknya. Walaupun dalam bidang eksekutif tersebut pemerintah dapat saja
salah, maka kepada rakyat juga dapat secara langsung berhadapan dengan
pemerintah memperjuangkan hak-haknya dalam sebuah forum khusus kita mengenalnya
Pengadilan Negeri khusus untuk perkara perdata dan Pengadilan Tata Usaha Negara
maupun dalam forum pengadilan ad-hoc.
Poros
ketiga dari Trias Politica adalah
domain kekuasaan yudikatif sebagai wadah bagi para pencari keadilan untuk
menuntut dan memperjuangkan hak-haknya. Dan hanya pengadilan lah yang berhak
menjatuhkan hukuman bukan pemerintah dalam arti kekuasaan eksekutif. Untuk sementara
ini doktrin Trias Politica lah yang menjadi basis argumentasi dan dasar bagi
ide-ide ketatanegaraan khususnya dalam hal ini keharusan untuk meletakkan KPK
dalam kekuasaan eksekutif. Seakan dalam hal ini tidak tersedia atau telah
tertutup ide untuk meletakkan kejaksaan, dan KPK termasuk kepolisian dalam
cabang kekuasaan yang lain selain eksekutif. Yang penting ditekankan adalah
sekalipun KPK diletakkan dalam domain kekuasaan eksekutif tapi kewenangan KPK
dalam menegakkan hukum bukan bersumber dari Presiden tapi langsung bersumber
dari undang-undang, karena itu KPK tidak boleh di intervensi oleh pemerintah
atas dasar apapun juga yang bertentangan dengan cita penegakan hukum di
republik ini.
Tentang keharusan meletakkan KPK dalam kekuasaan eksekutif ini,
saya memandang secara berbeda persoalan ini terutama kita perlu memikirkan
ulang tentang kemungkinan adanya pilihan lain yang lebih sesuai dalam teori
fungsi negara selain yang kita anut sekarang ini yaitu doktrin Trias Politica yang mengidealkan bahwa
kekuasaan negara mutlak harus dipisah-pisahkan kedalam tiga poros besar,
sekalipun tidak berarti antar kekuasaan itu dilarang saling berkoordinasi satu
dengan yang lain. Maksud saya, saya hendak mengajukan pemikiran lain walaupun
bukan lah tergolong pemikiran yang baru tetapi pernah digagas dalam
berabad-abad lalu di Perancis, yakni tentang kemungkinan kita perlu memikirkan
ulang untuk menerima ide teori fungsi negara yang membagi atau memisahkan
kekuasaan dalam negara kedalam lima poros besar, yakni poros Defencie, Financie Politie, Bestuur dan
Rechtspraak.
Demikian teori asalnya, tetapi untuk konteks kita di
negeri ini tidak mengapa agak sedikit kita kembangkan yaitu menjadi poros Regeling, Bestuur, Rechtspraak, Politie, dan
Financie (baca tulisan saya tentang hal ini dalam “Rombak Ulang Struktur
Ketatanegaraan, Trias Politica Perlu
Diganti”). Dalam doktrin ini Kejaksaan, KPK, Advokad dan Pengadilan lebih tepat
diletakkan kedalam poros Rechtspraak. Bahwa ditekankan dalam
doktrin lima poros kekuasaan ini masing-masing poros kekuasaan kedudukannya
sederajat dan independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dengan demikian,
KPK dan kita tidak perlu lagi khawatir pemerintah sebagai penguasa di poros Bestuur
akan mengintervensi atau menggerogoti independensi KPK dalam penegakan hukum. Sebab
pemerintah dan KPK berada dalam poros yang berlainan dan tiap-tiap poros
berkedudukan sederajat satu sama lain. Dengan demikian saya menilai dengan
doktrin lima poros kekuasaan ini dapat lebih menjamin stabilitas kita dalam bernegara
di republik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar