Senin, 23 September 2019

Karhutla Harus Ditangani Dengan Hukum Dalam Keadaan Darurat


Karhutla Harus Ditangani 
Dengan Hukum Dalam Keadaan Darurat

Oleh: Syahdi, SH
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Hari ini, Ahad (23/9/2019) Gubernur Riau menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di Provinsi Riau. Pengumuman itu dilakukan saat konferensi pers di Media Center Karhutla Riau, Jalan Gajah Mada. Penetapan itu dilakukan dengan berdasarkan kepada Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Penetapan keadaan darurat tersebut diantaranya berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf b yaitu apabila hasil pemantauan menunjukan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya”. Selanjutnya Pasal 26 ayat (2) menyatakan bahwa, Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media elektronik.

Jika ditelaah lebih mendasar, Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 1999 mengandung kelemahan ditingkat landasan yuridis dan sosiologis, sebab dalam konsideran menimbang dan mengingat Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 1999 hanya merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena dalam Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 1999 diatur juga mengenai penetapan dan pengumuman keadaan darurat (keadaan darurat pencemaran udara), maka seharusnya juga mengambil rujukan kepada Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 ini diatur jenis-jenis keadaan darurat serta kapan dan dalam hal bagaimana pemerintah dapat menetapkan keadaan darurat itu, termasuk menentukan tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan. 

Kelemahan tersebut dapat mempersulit pemerintah Provinsi Riau dalam mengatasi karhutla, sebab tetutupnya pilihan kebijakan lain selain daripada apa yang telah diatur dalam Perpres maupun undang-undang lingkungan hidup tersebut. Sehingga hanya dalam batas-batas itulah pemerintah termasuk pemerintah Provinsi Riau dapat bertindak menangani karhutla. Padahal, kebakaran hutan dan lahan khususnya di Provinsi Riau perlu penanganan yang serius apalagi menurut data terkini dari berbagai media, kebakaran hutan dan lahan yang paling luas terjadi di Riau yaitu mencapai 49 hektar lebih. Kenyataan itu menempatkan Provinsi Riau sebagai daerah yang mengalami kebakaran hutan dan lahannya terluas pertama se-Indonesia dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Adapun Kalimantan menempati urutan kedua luasnya hutan dan lahan yang mengalami kebakaran yaitu berkisar 44 hektar lebih. 

Karena itu tidak dapat tidak, penanganan karhutla di provinsi Riau membutuhkan cara-cara luar biasa dengan menggunakan hukum dalam keadaan darurat. Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tersebut dibentuk dengan berdasarkan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Pasal 12 UUD 1945 menyatakan bahwa, “Presiden menyatakan keadaan bahaya.Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang”. Demikian pula ketentuan pada Pasal 22 UUD 1945 ditegaskan bahwa:
(1). Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak  menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2).  Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3).  Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.”

1. Penetapan Keadaan Darurat Pencemaran Udara Bagian Dari Hukum Tata Negara Darurat.

Oleh sebab penetapan keadaan darurat pencemaran udara merupakan bagian dari Hukum Tata Negara Darurat, maka persoalan ini perlu di dudukkan dalam pemahaman yang lebih luas dan fundamental. Sebab penetapan keadaan darurat pencemaran udara oleh Gubernur Riau dilakukan dalam keadaan yang tidak biasa, melainkan dalam keadaan abnormal atau emergency (darurat). Sementara itu, dalam keadaan darurat membutuhkan penanganan yang berbeda dengan keadaan biasa, karena itu pula dalam keadaan darurat berlaku hukum tata negara darurat atau emergency constitutional law. Pertama sekali perlu ditekankan disini bahwa Hukum Tata Negara Darurat harus dibedakan dari istilah hukum darurat atau emergency law  yang mencakup pengertian yang lebih luas, yaitu meliputi segala bidang hukum yang berlaku pada waktu negara berada dalam keadaan darurat. 

Sebab hukum yang berlaku dalam suatu negara, tidak hanya berkenaan dengan hukum tata negara, tetapi juga meliputi bidang-bidang hukum yang lain, misalnya, bidang hukum perdata, bidang hukum bisnis, bidang hukum pidana, bidang hukum administrasi negara, dan lain sebagainyaAdapun penetapan keadaan darurat pencemaran udara oleh Gubernur Riau termasuk kedalam golongan Hukum Tata Negara. Hanya persoalannya meskipun kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau sebagai keadaan darurat pencemaran udara, tetapi penanganannya tidak mencerminkan penanganan sebagaimana layaknya keadaan darurat. Singkatnya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau masih ditangani dengan cara-cara biasa menurut prosedur biasa dan menggunakan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal. Padahal keadaannya sudah tidak lagi normal, melainkan emergency atau darurat. 

Dalam praktik selama ini kita bernegara, dalam banyak keadaan pemerintah tidak menetapkan keadaan darurat, padahal keadaan pada waktu itu menghendaki ditetapkannya keadaan darurat termasuk penanganannya dengan menggunakan hukum yang diberlakukan dalam keadaan darurat pula. Atau sebaliknya, pernah pemerintah menetapkan status keadaan darurat untuk suatu keadaan tetapi pemerintah tidak kunjung menetapkannya sebagai keadaan darurat. Beberapa kasus dapat dikemukakan disini, diantaranya kasus di Aceh maupun luapan lumpur panas PT. Lapindo Brantas, seperti yang dikatakan Prof. Jimly Asshiddiqie, untuk kasus tsunami yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 maupun untuk kasus luapan lumpur panas PT. Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo Jawa Timur yang mulai terjadi sejak 2007 seharusnya dapat lebih mudah diatasi jika penanganannya dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960 Tentang Keadaan Bahaya, namun ternyata keadaan-keadaan yang terjadi baik di Aceh maupun di Porong oleh pemerintah pada waktu itu ternyata tidak diperlakukan sebagai keadaan darurat. 

Atau seperti keadaan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya di Provinsi Riau dan sekitarnya yang sudah beberapa kali terjadi dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, sehingga menciptakan kehebohan nasional bahkan telah pula membawa dampak kepada negara tetangga, sehingga potensial pula mengganggu harmonisasi hubungan dengan negara tetangga kita itu, nyatanya pemerintah tidak pernah menetapkan keadaan yang demikian itu sebagai keadaan darurat. Padahal semestinya pemerintah menetapkannya sebagai keadaan darurat sehingga dalam penanganannya pemerintah bisa lebih leluasa dan mudah tanpa harus memikirkan akan melanggar hukum. Sebab dalam keadaan darurat, dalam batas-batas tertentu pemerintah dapat melanggar undang-undang bahkan UUD 1945 yang merupakan hukum yang tertinggi di republik ini. Sebab dalam keadaan darurat berlaku asas “Ius Populi Suprema Lex”, yang berarti keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. 

Istilah Hukum Tata Negara Darurat (HTN Darurat) itu dipakai sebagai terjemahan perkataan “staatsnoodrecht yang membahas mengenai hukum negara darurat atau negara dalam keadaan bahaya (nood) itu. Oleh sebab itu harus dibedakan antara “staatsnodrecht” dengan “noodstaatsrecht”Perkataan “nood” dalam “staatsnoodrecht” menunjuk kepada keadan darurat negara, sedangkan “nood” dalam perkataan “staatsrecht” menunjuk kepada pengertian keadaan hukumnya yang bersifat darurat. Disamping itu, pokok soal dalam “noodstaatsrecht” adalah “staatsrecht”. Artinya, yang dipersoalkan dalam istilah “noodstaatrecht” itu adalah hukum tata negaranya yang berada dalam keadaan darurat.Sedangkan, dalam istilah “staatsnoodrecht” negaranya yang berada dalam keadaan darurat sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang memang dimaksudkan untuk berlaku dalam keadaan darurat. Dengan demikian, pengertian hukum yang dimaksud dalam “staatsnoodrecht” lebih luas daripada “noodstaatsrecht’” yang hanya menyangkut hukum tata negara saja.

2. Penggolongan Hukum Tata Negara Darurat
Jimly Asshiddiqie menggolongkan atau mengelompokkan Hukum Tata Negara Darurat itu yaitu kedalam:
1.     Hukum Tata Negara Darurat Subjektif; dan
2.     Hukum Tata Negara Darurat Objektif.
Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa, Hukum Tata Negara Darurat Subjektif atau “staatsnoodrecht” dalam arti subjektif adalah hak, yaitu hak negara untuk bertindak dalam keadaan darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang dari Undang-Undang Dasar. Dalam banyak literatur, istilah “staatsnoodrecht” dalam arti subjektif ini biasa disebut “staatsnoodrecht” saja, tanpa tambahan subjektif. Oleh karena itu, jika kita menemukan istilah “staatsnoodrecht” dalam berbagai literatur, kita dapat memahaminya dalam konteks pengertian yang bersifat subjektif itu. Selanjutnya beliau menuturkan, berbeda dengan pengertian hukum tata negara subjektif atau “staatsnoodrecht” dalam arti subjektif, maka yang dimaksud dengan “staatsnoodrecht” dalam arti objektif adalah hukum yang berlaku dalam masa negara dalam keadaan darurat itu.
3.   Penggolongan Keadaan Darurat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya
Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960 Tentang Keadaan Bahaya menentukan adanya tiga tingkatan keadaan darurat, yaitu:
1.   Keadaan darurat perang;
2.   Keadaan darurat militer; dan
3.   Keadaan darurat sipil.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960 Tentang Keadaan Bahaya dikemukakan bahwa, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari Wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau keadaan perang, apabila:
a.  Keamanan atau ketertiban umum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan, atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
b. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
c.    Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Selanjutnya, pada ayat (2) ditegaskan pula bahwa, “pengumuman pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden”.

Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa, terhadap ketiga macam tingkatan keadaan darurat tersebut diatas menghendaki harus adanya keputusan Presiden sebagai sumber dan dasar legitimasi keadaan darurat itu. Terkait dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) diatas, Jimly Asshiddiqie menuturkan bahwa, pemberlakuan keadaan darurat itu haruslah didahului oleh suatu pernyataan  atau proklamasi resmi yang menyebabkan keabsahan untuk dilakukannya tindakan-tindakan yang besifat melanggar hukum biasa (ordinary law) tersebut. Jika proklamasi atau deklarasi keadaan darurat itu tidak dilakukan, sedangkan langkah-langkah yang diambil bersifat melanggar hukum biasa, maka keadaan darurat demiian itulah yang disebut sebagai “emergency de facto” yang justru harus dihindari dalam setiap negara hukum. Dalam konteks kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau, keadaannya termasuk kedalam kategori keadaan darurat sipil. Tanpa mengabaikan berbagai kenyataan di lapangan bahwa hutan dan lahan tersebut sengaja dibakar, karhutla di Provinsi Riau termasuk kedalam cakupan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959, yakni bencana alam.

4.   Kendala dan Upaya Yang Dapat Ditempuh Pemerintah Provinsi Riau
Memang ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959, yang menyatakan bahwa, “pengumuman pernyataan atau penghapusan keadaan bahaya dilakukan oleh Presiden”. Tetapi ketentuan ini telah dikesampingkan oleh Pasal 26 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 1999, sehingga Gubernur Riau dapat pula menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat, dalam hal ini keadaan darurat pencemaran udara yang sebetulnya konkretisasi atau spesifikasi dari bencana alam sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959. Sekaligus pengaturan seperti ini dalam Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 1999 merupakan gejala pemihakan pada konstitusionalitas otonomi daerah. Sebab otonomi daerah sebagaimana termaktub dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945. 

Pasal 18 ayat (2) menyatakan, “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya Pasal 18 ayat (5) menyatakan bahwa “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat”. Saya katakan ini merupakan gejala pemihakan kepada otonomi daerah sebab dengan diberikannya kesempatan kepada Gubernur untuk menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara, maka sudah semakin mendekati gerbong yang lebih fundamental menuju pemberian kewenangan kepada Gubernur untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi bencana alam di daerahnya. Selangkah lagi Gubernur dapat mengeluarkan semacam “Peraturan Daerah Darurat” yang digunakan sebagai dasar legitimasi mengatasi keadaan darurat. 

Untuk di tingkat nasional, Presiden lah yang berwenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-Undang (Perppu) sebagai dasar legitimasi untuk mengatasi keadaan darurat maupun keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945. Meskipun tidak tegas diatur atau dilarang dalam UUD 1945 maupun dalam undang-undang, tetapi menurut logika konstitusional yang bertahan selama ini, kepala daerah seperti misalnya Gubernur tidak berwenang mengeluarkan produk semacam Perppu, saya menyebutnya “Peraturan Daerah Darurat”. Tidak dibenarkannya kepala daerah dalam hal ini Gubernur mengeluarkan produk berupa “Peraturan Daerah Darurat”, menurut pendapat saya hal itu bentuk daripada sikap yang berseberangan dengan konstitusionalitas anutan asas otonomi daerah. 

Karena itu ketika Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara, saya mengatakan ini merupakan gejala pemihakan kepada otonomi daerah yang sebenarnya menurut konstitusi kita. Oleh karena Gubernur dalam hal ini Gubernur Riau dalam menghadapi karhutla dipandang tidak berwenang menetapkan “Peraturan Daerah Darurat”, maka ini sesungguhnya menjadi hambatan dalam penanganan karhutla yang seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa untuk konteks penanganan dan dalam keadaan darurat, sebab Gubernur pun sudah menetapkan status karhutla sebagai keadaan darurat pencemaran udara. Tetapi Gubernur dapat melakukan terobosan hukum melalui kebijakannya dengan mengeluarkan “Peraturan Daerah Darurat”. 

Masalah ini akan menjadi pembicaraan yang menarik nantinya sebab akan menjadi soroton para ahli Hukum Tata Negara Indonesia. Dengan demikian pintu menuju otonomi daerah yang sebenar-benarnya akan terbuka lebar melalui berbagai dialog kebangsaan di republik ini. Tidak semata soal berwenang tidaknya Gubernur mengeluarkan “Peraturan Daerah Darurat” yang ingin dipersoalkan, seakan pembaca sekalian bertanya-tanya, memangnya apa manfaatnya, apa untungnya kewenangan membentuk “Peraturan Daerah Darurat” itu. Sebab, hanya dengan kewenangan mengeluarkan “Peraturan Daerah Darurat” itulah, maka Gubernur dapat mengambil alih beberapa materi yang berkaitan dengan sanksi dalam undang-undang tentang lingkungan hidup, bahwa dapat diatur di dalam “Peraturan Daerah Darurat” itu ancaman hukuman administrasi tentang pembekuan aktivitas korporasi selama sekian waktu lamanya dan disertai dengan kewajiban membayar ganti rugi termasuk tanggung jawab pemulihan keadaan yang ditimbulkan dari pembakaran hutan dan lahan oleh korporasi. 

Juga dapat diatur bahwa kepada pelaku daripada unsur korporasi itu diancam pidana seumur hidup mengingat parahnya dampak yang ditimbulkan dari pembakaran hutan dan lahan itu. Masih dapat ditambahkan pula dengan sanksi bahwa segala keuntungan yang masih atau sedang mengalir pada korporasi dalam menjalankan aktivitasnya sebelum dibekukan itu, dalam masa terjadinya dampak akibat pembakaran hutan dan lahan harus diserahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Riau, menjadi aset atau pendapat lain-lain daerah dalam APBD Riau. Pengaturan atau gagasan seperti ini memang akan terlihat bertentangan dengan undang-undang. Tetapi dalam keadaan darurat, berlaku lex specialis derogat legi generalis, bahwa “Peraturan Daerah Darurat” yang notabene adalah Perda dan secara hierarkis berada dibawah undang-undang, dalam keadaan darurat “Peraturan Daerah Darurat” dapat mengenyampingkan atau bahkan melanggar undang-undang. 

Tentang mengapa hal seperti ini dapat terjadi sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sehingga melalui dibentuknya “Peraturan Daerah Darurat” Gubernur Riau atau pemerintah Provinsi Riau mempunyai keleluasaan untuk mengatasi keadaan darurat di lingkup wilayahnya. Sebab konsekuensi logis dari penetapan dan pengumuman keadaan darurat adalah kemestian untuk melakukan penanganan dengan cara-cara luar biasa dengan hukum yang berlaku dalam keadaan darurat pula. Sebab itu selaku intelektual yang banyak bergelut dalam pemikiran Hukum Tata Negara, saya mendorong Gubernur Riau untuk melakukan terobosan hukum melalui kebijakannya yaitu dengan mengeluarkan “Peraturan Daerah Darurat”. Tindakan itu akan menjadi babak baru dalam perkembangan pemikiran ketatanegaraan modern. Namun jika Gubernur Riau tidak berani mengambil tindakan itu, upaya yang dapat dilakukan sesungguhnya tetap ada meskipun tidak memberikan kepuasan kepada masyarakat Riau yang menderita kerugian akibat karhutla, baik kerugian materil maupun immateril.


Upaya tersebut yaitu melakukan kerjasama dengan lembaga pemadaman kebakaran negara lain, dengan kemampuan teknologi yang canggih tentu karhutla dapat secepatnya diatasi sehingga udara kembali bersih dari asap dan polusi atau zat-zat yang membahayakan kesehatan masyarakat Riau. Selain itu berkoordinasi dengan daerah lain seperti DKI Jakarta yang semula menawarkan bantuan untuk memadamkan karhutla di Riau, tetapi sialnya tawaran budi baik itu malah ditolak. Ini sangat memalukan dan pemerintah Provinsi Riau terlihat sangat sombong. Kesombongan seperti itu tidak baik dipelihara apalagi oleh selevel Gubernur. Tetapi semua upaya itu orientasinya hanya pada pemadaman kebakaran hutan dan lahan saja. Setelah itu merasa seakan tidak terjadi apa-apa. Disini perlukaan rasa keadilan dialami oleh masyarakat Riau, sebab kerugian yang dialami masyarakat Riau dirasakan tidak diperhatikan, tidak sebanding dengan kebijakan parsial yang masih pro pada kapitalis dan menguntungkan imperialis di republik ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...