Kamis, 26 September 2019

UU KPK Perlu Direvisi


UU KPK Perlu Direvisi

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Tulisan ini adalah pandangan saya yang merupakan kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya “Menakar Revisi UU KPK dan Masa Depan Penegakan Hukum di Indonesia”. Saya melihat bahwa revisi undang-undang KPK adalah pilihan yang baik untuk memperkokoh sendi ketatanegaraan khususnya di bidang penegakan hukum. Pertama perlu ditekankan disini bahwa setiap undang-undang, undang-undang apapun selalu terbuka untuk segala ide pembaharuan. Undang-undang bagaimanapun tetaplah produk manusia yang tidak luput dari kekurangan, zaman yang berkembang dan pemikiran dalam bernegara hukum yang semakin kaya, pula turut mempengaruhi bangunan kenegaraan yang ideal. Walaupun soal ideal itu selalu mengalami perubahan, ideal hari ini bisa saja tertinggal di waktu yang akan tiba.

Saya sadar bahwa pandangan saya dalam menyikapi revisi undang-undang KPK ini akan dipandang sebagian orang bahwa saya secara langsung telah menempatkan posisi saya melawan arus deras, besar dan bergemuruh di negeri ini. Sebab itu mungkin saja saya akan dimarginalkan dan di sumpah serahi, dituduh yang bukan-bukan. Saya menganggap hal itu wajar disebabkan beberapa hal, Pertama, perbedaan kemampuan untuk menjelaskan masalah ini, dan, Kedua, mayoritas orang cenderung mengikut saja kepada keputusan-keputusan diantara mereka. Saya menilai masalah ini (revisi undang-undang KPK) tidak dalam kapasitas sebagai pengamat politik yang kadang kita dapati ia tidak kukuh dalam memberi tanggapan dan gagap mencetus penilaian daripada tanggapannya itu sendiri, kadang hanya mengikut saja kemana arus mengalir. 

Saya sebagai orang yang banyak bergumul dalam pemikiran kenegaraan melihat bahwa ada kebaikan dalam revisi undang-undang KPK itu.  Saya memandang bagaimanapun undang-undang KPK perlu direvisi, tidak berarti bahwa saya menyetujui dengan sepenuh-penuhnya pengaturan substansi oleh DPR dan Pemerintah. Beberapa hal justru perlu diperdebatkan karena rupa-rupanya ia kita anggap bahwa cita penegakan hukum yang fair menjadi sulit dan sangat kaku. Disamping itu tentu revisi yang melemahkan kinerja law enforcement oleh KPK harus kita tolak. Saya menjadi berat, dilematis tatkala keinginan untuk menelaah persoalan ini ternyata terpaksa hanya mengandalkan bahan-bahan yang tersebar di media. Bagi saya ini tak lebih daripada wilayah spekulasi yang tidak jelas, menjebak dan membingungkan. Sebab kitapun tidak dapat memastikan apakah benar bahan-bahan itu, sementara draft dari DPR maupun Pemerintah tidak dipublikasikan. Menganalisa lalu memberikan penilaian berdasarkan kepada bahan-bahan yang tidak jelas itu seperti mengawang-ngawang saja. 

Andaipun itu benar, saya melihat ada juga kebaikan di dalamnya, selainnya pula terdapat substansi yang kontroversial, sehingga menggiring kita kepada banyak prasangka. Kesalahan pembentuk undang-undang tidak mensosialisasikan rancangan undang-undang KPK menjadi biang dari semua kebingungan dan aksi massa. Secara umum beberapa poin yang menjadi substansi revisi undang-undang KPK itu seperti, eksistensi dewan pengawas (pengisian keanggotaannya dibentuk Presiden) dengan segala kewenangannya (memberi izin untuk penyadapan, penggeledahan, penyitaan), status ASN semua pegawai KPK, rekrutmen penyelidik harus dari kepolisian, kedudukan KPK dalam struktur ketatanegaraan, yang diletakkan dalam domain kekuasaan eksekutif, KPK diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3 untuk penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam waktu satu tahun, perlunya izin untuk memproses pejabat negara tertentu, PPNS di KPK berada dibawah koordinasi penyidik Polri, pengangkatan pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden pengetatan wewenang pencekalan bepergian ke luar negeri.

     1.   Kebaikan Dalam Revisi UU KPK
Beberapa hal yang ada kebaikan di dalamnya saya kemukakan dahulu, yaitu:
a.    Rekrutmen penyelidik dari kepolisian;
b.   Kedudukan KPK dalam domain kekuasaan eksekutif;
c.   SP3 untuk penyidikan dan penuntutan bagi perkara yang tidak 
    selesai dalam waktu satu tahun;
d.   PPNS di KPK berada dibawah koordinasi penyidik Polri;

Tentang rekrutmen penyelidik harus dari kepolisian, disatu pihak saya menilai memang ada sisi baiknya. Sebab dengan direkrut dari kepolisian penyelidik pastinya tenaga handal yang berpengalaman melakukan penyelidikan. Andai harus merekrut dari luar kepolisian agak berat juga sebab KPK perlu melakukan serangkaian pelatihan atau pendidikan penyelidikan, jika tidak tentu akan menyulitkan KPK dan menjadikan penyelidikan menjadi terkendala. Kedantipun demikian, KPK tentu saja dapat merekrut dari mereka yang memang telah berpengalaman juga dalam melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan misalnya mereka tersebutu adalah mantan anggota Polri. Disamping itu dampak buruknya jika penyelidik harus berasal dari anggota Polri, maka dikhawatirkan kepolisian dapat mengintervensi proses penegakan hukum melalui penyelidiknya yang ditempatkan di KPK. 

Kepolisian dapat saja mengontrol atau mengendalikan dari luar proses penyelidikan sehingga penegakan hukum menjadi tidak fair dan diskriminatif. Selanjutnya, terkait penataan tempat duduk KPK dalam struktur ketatanegaraan. KPK sebagaimana telah disepakati dalam perubahan undang-undangnya diletakkan sebagai bagian dari domain kekuasaan eksekutif. Seperti halnya kejaksaan yang tegas dinyatakan dalam undang-undangnya sebagai lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan dan pelaksana putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang, KPK pun juga ditentukan sebagai lembaga pemerintah. Dalam iklim ketatanegaraan kita saat ini, kejaksaan dan KPK memang dipandang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif sebab kewenangan atau tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan itu dipandang adalah tugas-tugasnya eksekutif (Pemerintah), bukan tugasnya legislatif maupun yudikatif. 

Hal ini di dasarkan pada logika dan pemahaman doktrinal terhadap anutan Trias Politica yang dipelopori oleh Charles Louis desecondat Baron de La Breth et de Montesquieu atau yang lazim dikenal Montesquieu. Bahwa kekuasaan dalam negara dibedakan, dibagi atau dipisah-pisahkan kedalam tiga poros besar yakni legislatif sebagai pemegang kebijakan legislasi yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif yang diciptakan dengan fungsi mengatur, mengelola, melakukan penertiban, mewakili kepentingan hukum rakyat dalam sidang pengadilan untuk memperjuangkan hak-haknya. Walaupun dalam bidang eksekutif tersebut pemerintah dapat saja salah dan menjadi pihak yang digugat, maka kepada rakyat juga dapat secara langsung berhadapan dengan pemerintah memperjuangkan hak-haknya dalam sebuah forum khusus, kita mengenalnya Pengadilan Tata Usaha Negara maupun dalam forum pengadilan ad-hoc.

Poros ketiga dari Trias Politica adalah domain kekuasaan yudikatif sebagai wadah bagi para pencari keadilan untuk menuntut dan memperjuangkan hak-haknya. Dan hanya pengadilan lah yang berhak menjatuhkan hukuman, bukan pemerintah dalam arti pemangku kekuasaan eksekutif. Untuk sementara ini doktrin Trias Politica lah yang menjadi basis argumentasi dan dasar bagi ide-ide ketatanegaraan khususnya dalam hal ini keharusan meletakkan KPK dalam kekuasaan eksekutif. Seakan dalam hal ini tidak tersedia atau telah tertutup ide untuk meletakkan kejaksaan, dan KPK termasuk kepolisian dalam cabang kekuasaan yang lain selain eksekutif. Yang penting ditekankan adalah sekalipun KPK diletakkan dalam domain kekuasaan eksekutif tapi kewenangan KPK dalam menegakkan hukum bukan bersumber dari Presiden tapi langsung bersumber dari undang-undang, karena itu KPK tidak boleh di intervensi oleh pemerintah atas dasar apapun juga yang bertentangan dengan cita penegakan hukum di republik ini. 

Tentang keharusan meletakkan KPK dalam kekuasaan eksekutif ini, saya memandang secara berbeda persoalan ini terutama kita perlu memikirkan ulang tentang kemungkinan adanya pilihan lain yang lebih sesuai dalam teori fungsi negara selain yang kita anut sekarang ini yaitu (yang sekarang) doktrin Trias Politica yang mengidealkan bahwa kekuasaan negara mutlak harus dipisah-pisahkan kedalam tiga poros besar, sekalipun tidak berarti antar kekuasaan itu dilarang berkoordinasi satu dengan yang lain. Maksud saya, saya hendak mengajukan pemikiran lain walaupun bukanlah tergolong pemikiran yang baru, tetapi pernah digagas dalam berabad-abad lalu di Prancis, yakni tentang kemungkinan kita perlu memikirkan ulang untuk menerima ide teori fungsi negara yang membagi atau memisahkan kekuasaan dalam negara kedalam lima poros besar, yakni poros Defencie, poros Financie, Politie, Bestuur dan Rechtspraak.

Demikian teori asalnya, tetapi untuk konteks kita di negeri ini tidak mengapa agak sedikit kita kembangkan yaitu menjadi poros Regeling, Bestuur, Rechtspraak, Politie, dan Financie (baca tulisan saya tentang hal ini dalam “Rombak Ulang Struktur Ketatanegaraan, Trias Politica Perlu Diganti”). Dalam doktrin ini Kejaksaan, KPK, Advokad dan Pengadilan lebih tepat diletakkan kedalam poros  Rechtspraak. Bahwa ditekankan dalam doktrin lima poros kekuasaan ini masing-masing poros kekuasaan kedudukannya sederajat dan independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dengan demikian, KPK dan kita tidak perlu lagi khawatir pemerintah sebagai penguasa di poros Bestuur akan mengintervensi atau menggerogoti independensi KPK dalam penegakan hukum. Sebab pemerintah dan KPK berada dalam poros yang berlainan dan tiap-tiap poros berkedudukan sederajat satu sama lain. Dengan demikian saya menilai dengan doktrin lima poros kekuasaan ini dapat lebih menjamin stabilitas kita dalam bernegara di republik ini.

Berikutnya, tentang kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 terhadap penyidikan dan penuntutan bagi perkara yang tidak selesai dalam waktu satu tahun. Ketentuan seperti ini menurut saya baik sekali untuk diberikan kepada KPK, sehingga KPK benar-benar di dorong agar efektif, berhati-hati dan cekatan dalam menegakkan hukum. Kita tidak ingin kasus dan cerita-cerita memilukan di waktu lampau terulang lagi, seperti pada masa berlakunya HIR (Het Inlands Reglement) yaitu hukum acara di masa kolonial. Bahwa seseorang yang setelah ditangkap tidak jelas ujung pangkal penyelesaian kasusnya, sementara ia terus ditahan bertahun-tahun bahkan stres, dan meninggal dalam masa penahanannya itu, sedangkan kasusnya belum juga mendapat kepastian penyelesaiannya. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan tidak pantas bagi suatu negara yang mengklaim dirinya sebagai negara hukum berperilaku demikian. Karena itu pemberian kewenangan SP3 ini penting dilakukan agar ada kepastian hukum dalam menegakkan hukum prosedural.

Selanjutnya, PPNS di KPK berada dibawah koordinasi penyidik Polri. Ketentuan seperti ini telah sesuai dengan pengaturan awalnya yaitu dalam KUHAP. Bahwa memang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berada dibawah koordinasi penyidik Polri. Hanya saja daalm revisi undang-undang KPK itu harus jelas bahwa penyidik Polri yang dimaksud adalah penyidik Polri di KPK, atau penyidik yang berasal dari unsur kepolisian yang ditugaskan menjadi penyidik di KPK. Jadi bukan penyidik Polri yang bertugas melakukan penyidikan di institusi Polri, Melainkan ia telah ditugaskan, penugasannya dipindahkan di institusi KPK. Penyidik Polri di kepolisian hanya menjalankan tugasnya dalam cakupan tugas-tugas kepolisian, demikian pula penyidik Polri di KPK menjalankan tugasnya atas nama KPK. Jadi tidak dipahami bahwa penyidik PPNS di KPK berada dibawah koordinasi penyidik Polri di kepolisian, melainkan berada dibawah koordinasi penyidik Polri di KPK. Penyidik Polri di KPK ini sebaiknya cukup disebut penyidik saja, penyebutan dari unsur Polri hanya sekedar untuk membedakannya dengan penyidik dari kalangan PNS atau penyidik PPNS.

     2.   Kelemahan Dalam Revisi UU KPK 
Beberapa hal yang mempersulit, dianggap menghambat kinerja KPK yakni:
a. Eksistensi dewan pengawas (pengisian keanggotaannya dibentuk Presiden) dengan segala kewenangannya (memberi izin untuk penyadapan, penggeledahan, penyitaan);
b.   Perlunya izin untuk memproses pejabat negara tertentu;
c.    pengangkatan pimpinan KPK dilakukan oleh Presiden;
d.   Pengetatan wewenang pencekalan bepergian ke luar negeri;
e.    Status ASN bagi semua pegawai KPK.

Pembahasan poin a sampai d saya bahas mengalir saja tidak dalam bentuk poin-poin tersendiri. Agak sulit saya memutuskan menempatkan pembahasan tentang dewan pengawas ini di sub pembahasan kelemahan revisi undang-undang KPK. Sebab bagaimanapun ada juga sisi baiknya. Tentang keberadaan dewan pengawas KPK, perlu dipahami disini, Pertama,  fungsi dewan pengawas ini sangat vital bahwa KPK diantaranya harus mendapat izin dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan, termasuk izin untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. Saya melihat keberadaan dewan pengawas ini memiliki potensi atau kecenderungan yang membawa dampak sekurang-kurangnya kepada dua keadaan yaitu, Pertama, dapat membatasi gerak langkah KPK sehingga tidak maksimal dalam penegakan hukum. 

Disini dewan pengawas dengan fungsi dan seperangkat kewenangannya potensial dapat terjadi atau dapat saja dinilai menghambat kinerja KPK dan menjauhkan KPK dari cita penegakan hukum yang luhur untuk mengupayakan keadilan bagi segenap warga negara. Kedua, keberadaan dewan pengawas dapat menciptakan penegakan hukum oleh KPK menjadi lebih berwibawa. Untuk keadaan yang pertama, penilaian terhadap hal ini sangat subjektif sifatnya. Baik-buruknya terutama dirasakan oleh KPK sebagai pihak yang terkena dampak dari implementasi kebijakan dewan pengawas bila mana KPK memandang kebijakan dewan pengawas tidak sejalan dengan konsepsi maupun cara pandang penegakan hukum oleh KPK. Kendatipun bersifat subjektif, subjektifitas tersebut selalu dapat diukur berdasarkan kriteria objektif untuk menentukan sejauh manakah penilaian subjektif itu dapat sejalan dengan kriteria objektif berdasarkan pengaturan dalam undang-undang. 

Artinya, bukanlah penilaian subjektif yang kosong yang dikesankan hanya mengikuti kehendak nafsu belaka yang justru semakin menjauhkan dari cita penegakan hukum itu sendiri. Pengukuran derajat subjektifitas ini baru hanya akan dapat dinilai ketika terjadi beda pendapat atau perselisihan antara pimpinan dan/atau penyidik KPK dengan dewan pengawas dalam proses penegakan hukum. Masih tentang keadaan yang pertama ini, penting dipersoalkan disini apakah UU KPK hasil perbaikan tersebut menyediakan ruang, solusi atau mekanisme andai terjadi perselisihan pimpinan dan/atau penyidik KPK dengan dewan pengawas terkait dengan kebijakan dewan pengawas yang dinilai tidak sepaham dengan apa yang dikehendaki pimpinan dan/atau penyidik KPK. Atau jangan-jangan kita dibuat khawatir bahwa keputusan dewan pengawas bersifat final tidak dapat diganggu gugat.

Andai demikian halnya maka menurut pendapat saya pengaturan seperti ini sangat menciderai rasa keadilan dalam penegakan hukum prosedural (procedural law) sehingga KPK akhirnya tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti keputusan dewan pengawas sekalipun dianggap bertentangan dengan prosedur maupun menjauhkan KPK dari cita penegakan hukum yang berkeadilan. Ini penting dipersoalkan sebab ini merupakan salah satu wilayah konflik antara pimpinan/penyidik KPK dengan dewan pengawas sehingga proses penegakan hukum dapat menjadi terkendala. Selanjutnya keadaan kedua dampak dari keberadaan dewan pengawas, yaitu justru dapat mengarahkan dan membawa KPK pada kondisi penegakan hukum yang lebih berwibawa. 

Sebab mungkin saja dalam proses penegakan hukum oleh KPK dipandang oleh dewan pengawas tidak bijak sehingga berrdampak sangat fatal dan merugikan hak-hak warga negara serta justru menjauhkan KPK pada cita penegakan hukum yang berkeadilan. Disini pertimbangan dan kebijaksanaan dewan pengawas menjadi sangat penting, sebab dapat memfilter gerak langkah KPK agar tetap berada pada jalur penegakan hukum yang benar berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apalagi mungkin saja kita harus akui dalam praktik selama ini proses penegakan hukum oleh KPK dinilai offside atau keluar dari relnya (undang-undang) sehingga merugikan hak-hak warga negara yang menjadi tahanan KPK. 

Bagaimanapun, terhadap kekurangan-kekurangan penegakan hukum yang dilakukan KPK kita harus berlapang dada mengakuinya bahwa yang keliru perlu diperbaiki dan yang salah harus diarahkan kembali kepada jalan yang benar berdasarkan semangat dan jiwa undang-undang. Disatu pihak undang-undang yang baik adalah undang-undang yang mengakomodir sebanyak-banyaknya kebutuhan hukum masyarakat, kebijakan legislasi dibuat berdasarkan serapan bottom-up dan bukan dipaksakan dari atas ke bawah (top-down) sehingga tidak mengurat dan tidak mengakar dari aspirasi masyarakat. Dalam hal ini hukum haruslah hidup dan berangkat dari kesadaran hukum rakyat serta hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum. 

Selanjutnya perihal penyadapan harus seiizin dewan pengawas. Disini penting sekali satu persepsi antara dewan pengawa dan pimpinan KPK dalam melihat dan menilai kondisi ataupun kebutuhan hukum untuk melakukan penyadapan. Jika dewan pengawas terlalu ketat dalam memberikan izin penyadapan dapat mempersempit ruang dan mempersulit kinerja KPK dalam proses penegakan hukum, terutama untuk perkara yang harus ditangani dengan sangat mendesak misalnya karena berhadapan dengan kondisi daluwarsa, pelaku melarikan diri dan/atau dikhawatirkan menghilangkan barang bukti, dan lain sebagainya. Namun jika dewan pengawas mempermudah atau cenderung mengobral izin untuk melakukan penyadapan justru akan berdampak lepasnya jaminan konstitusional terhadap hak dan kebebasan warga negara. 

Selain itu, mengenai mekanisme penyadapan, saya terpaksa harus dan hanya dapat mengutip beberapa informasi yang berkembang, dikatakan bahwa penyadapan dapat dilakukan setelah melewati birokrasi yang berlapis banyaknya. Disini umpanya disebut bahwa untuk menyadap dimulai dari penyelidik ke Satgas, lalu dari Satgas ke Direktur Penyelidikan, lalu diteruskan kepada Deputi Bidang Penindakan, melangkah lagi dari Deputi ke Pimpinan KPK, masih perlu memasuki pintu Dewan Pengawas, setelah itu perlu gelar perkara terlebih dahulu. Dari sini berkembang ke kekhawatiran potensial terdapat resiko bocornya perkara ke luar gedung KPK bahkan saja bisa sampai kepada orang yang sedang ditangani kasusnya akibat lamanya waktu proses pengajuan penyadapan. Benar tidaknya informasi ini sayapun tidak dapat memastikan.

Tapi soal kewenangan penyadapan hanya dibatasi sampai pada tingkat pra penuntutan, di satu pihak dapat mendorong KPK agar lebih teliti dan hati-hati pada masa pra penuntutan untuk mempersiapkan dan menyusun dakwaannya selengkap-lengkapnya dengan mengambil bahan-bahan selama proses pra penuntutan itu. Kendatipun demikian tidak tertutup kemungkinan dalam praktiknya, andailah memang demikian yang kita dengar kabarnya tentang hal ini, KPK dalam praktik di tahap penuntutan memandang perlu untuk melakukan penyadapan lanjutan sebab ada beberapa informasi lain yang diperlukan untuk memperkuat tuntutan dalam surat dakwaan. Tetapi oleh karena sudah ditutup kesempatan untuk penyadapan lanjutan itu maka berdampak kepada lemahnya dakwaan.  

Lemahnya dakwaan membuat terbukanya peluang terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (vrijspraak/ontslag van alle rechtvervolging). Sedangkan kemungkinan bagi hakim untuk mengesampingkan ketentuan seperti itu, atau dengan kata lain hakim memberi izin kepada penuntut umum KPK sekalipun dengan alasan yang logis dan demi kepastian dalam penegakan hukum, hakim menjadi dilematis pula sebab ia pun nyatanya hanya corong undang-undang belaka yang mesti taati law in procedure (kecuali andai KUHP yang baru telah disahkan). Sementara itu soal-soal seperti izin penggeledahan dan penyitaan akan menjadi kontradiktif dengan pengaturan dalam KUHAP, meskipun KUHAP adalah hukum acara umum bagi KPK dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, termasuk di dalamnya kewenangan melakukan penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan. 

Tetapi hukum acara yang khusus dalam revisi undang-undang KPK terkait izin penggeledahan dan penyitaan itu justru menyulitkan dari yang menurut KUHAP diberi kelonggaran agar penegakan hukum menjadi efektif dan efisien. Hal lain yang perlu dikritisi adalah kewenangan pencekalan oleh penyelidik kepada imigrasi bagi orang yang sedang ditangani kasusnya. Bahwa penyelidik dipersulit dalam mengambil kewenangan itu sehingga orang yang sedang ditangani kasusnya itu dapat saja melarikan diri ke luar negeri. Kemungkinan lain yang dikhawatirkan adalah bahwa dewan pengawas tidak memberikan izin penyadapan sebab mendapat intervensi oleh pemerintah sebab dewan pengawas dibentuk oleh Presiden, sehingga izin penyadapan menjadi sengaja dikecualikan kepada orang-orang tertentu yang masih dekat atau berasal dari lingkungan istana atau bahkan orang yang dikecualikan tersebut ternyata adalah Presiden, Wakil Presiden, Kapolri, atau Jaksa Agung dan pejabat tinggi lainnya. 

Padahal UUD 1945 kita tidak mengenal adanya warga negara istimewa, melainkan semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum (equality before the law). Jika demikian keadaannya, ini jelas melukai penegakan hukum yang dijauhkan dari cita keadilan. Selanjutnya, perihal pengangkatan pimpinan KPK oleh Presiden. Saya tidak dapat menerima ketentuan seperti ini, sama seperti keberatan saya untuk pengisian jabatan Jaksa Agung saat ini dilakukan sepihak Presiden. Jika benar pengisian jabatan komisioner atau pimpinan KPK dilakukan sepihak Presiden, maka independensi lembaga ini akan menjadi hilang. Muncullah penegakan hukum yang tebang pilih, hukum hanya akan ditegakkan kepada  orang tertentu saja yang dipandang membahayakan atau merugikan kepentingan rezim yang sedang berkuasa. 

Dengan demikian KPK diarahkan menjadi lembaga yang bertugas mengamankan kepentingan dan kediktatoran rezim yang berkuasa. Terakhir tentang pengetatan wewenang pencekalan berpergian ke luar negeri, sebaiknya ketentuan seperti ini dihapus saja. Sebab soal pencekalan itu sudah diatur dalam undang-undang tentang keimigrasian, tidak perlu lagi diatur kembali yang malah dapat memperkeruh keadaan. Terakhir, status Aparatur Sipil Negara (ASN) bagi semua pegawai KPK. Penting ditegaskan disini, apakah profesi sebagai penyidik juga termasuk kategori pegawai KPK. Atau apakah pegawai KPK itu dimaknai hanya mereka yang bekerja menjalankan tugas-tugas administrasi untuk menunjang kinerja KPK. Sebab penyidik adalah profesi yang sifatnya fungsional, ia dibutuhkan sesuai dengan bidang keahliannya yaitu melakukan tugas-tugas penyidikan dan hal-hal yang bersangkut-paut dalam bidang tugasnya itu. 

Sedangkan pegawai yang menjalankan tugas-tugas administrasi keberadaannya adalah sebuah keharusan dalam sebuah birokrasi atau lembaga negara. Tanpa mereka KPK tidak akan terselenggara sebagaimana harusnya. Jadi pegawai yang menjalankan tugas-tugas administrasi itu keebradaannya adalah keharusan kelembagaan, sedangkan keberadaan penyidik adalah keharusan tugas dan kewenangan penegakan hukum oleh KPK. Andai yang dimaksud pembentuk undang-undang bahwa pegawai KPK itu adalah pegawai administrasi dan penyidik, lalu mereka semua berstatus ASN, hal ini menjadi simpang siur. Sebab ASN sebagaimana dalam Undang-Undnag Nomor 5 Tahun 2014  adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai peemrintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. 

Pada ketentuan umum Pasal 1 angka 2 undang-undang itu dikatakan bahwa Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 1 angka 3 dikatakan pula bahwa Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Selanjutnya Pasal 1 angka 4 bahwa Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Rekrutmen kedua jenis pegawai ini walaupun sama-sama ASN terdapat perbedaan. Hal ini perlu dipertegas supaya tidak menimbulkan kesulitan teknis dalam perekrutannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...