Konvensi Ketatanegaraan dan Inkonstitusionalitas
Perbuatan Pemerintah
Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Diantara bagian yang paling penting dalam hukum tata negara adalah peranan konvensi. Sebab konvensi dapat menutupi kelemahan/kekurangan yang terdapat dalam UUD 1945. Atau dengan kata lain konvensi menjadi instrumen pelengkap bagi UUD 1945. Bahkan konvensi diterima sebagai konstitusi yang tidak tertulis disamping UUD 1945 yang merupakan konstitusi tertulis.
Masih ada saja orang-orang yang menyamakan konvensi dengan kebiasaan ketatanegaraan. Konvensi itu beda dengan kebiasaan. Konvensi tidak mensyaratkan pengulangan, sementara untuk dapat dikatakan kebiasaan bahwa praktik-praktik ketatanegaraan yang dilakukan oleh pemerintah sudah tentu dilakukan secara berulang-ulang.
Konvensi atau kebiasaan adalah nilai-nilai yang tumbuh dan terpelihara dalam praktik ketatanegaraan diterima dan diakui sebagai konstitusi yang tidak tertulis disamping konstitusi tertulis yaitu UUD 1945. Sebab seperti Van Apeldoorn mengatakan bahwa tidak ada konstitusi yang seluruhnya tertulis dan tidak ada pula konstitusi yabg seluruhnya tidak tertulis.
Di negara yang memiliki konstitusi tertulis sudah pasti juga memiliki konstitusi tidak tertulis. Demikian halnya di Inggris sebagai bagian dari United Kingdom (UK), Inggris tak memiliki UUD yang tertulis dalam suatu dokumen formal yang dikodifikasi seperti UUD 1945 yang kita punya. Tetapi tidak berarti Inggris tak memiliki konstitusi tertulis.
Hanya yang menjadi konstitusi tertulis di Inggris adalah statuta (undang-undang), Magna Charta 1215, Declaration of Human Rights (1948), Bill Of Right, Habeas Corpus Act. Tapi khusus untuk statuta, tidak semua statuta dapat dijadikan sebagai konstitusi tertulis. Hanya statuta yang memuat prinsip-prinsip tentang perlindungan HAM, dan tentang struktur lembaga-lembaga negara. Sedangkan konstitusi tak tertulisnya adalah konvensi, kebiasaan, yurisprudensi.
Perlu sedikit disinggung, karena di Inggris tidak terdapat konstitusi tertulis dalam bentuk naskah yang formal dan terkodifikasi, konstitusi tertulis Inggris tersebar kedalam berbagai statuta maka praktik judicial review di Inggris tidak berkembang. Dan di Inggris pengadilan hampir tak punya wewenang untuk melakukan review.
Sebab traumatik sejarah di Inggris rupanya masih dirasakan sampai hari ini, kekecewaan yang sangat mendalam sehingga muncul sikap tidak percaya kepada pengadilan, karena pengadilan dulunya hanya sebagai kaki tangan pemerintah yang absolut, hukum ditegakkan berdasarkan pesanan untuk melindungi kediktatoran pemerintah.
Namun sunggpun demikian, tidak berarti judicial review tidak diterapkan di Inggris. Judicial review tetap dipraktikkan tetapi terbatas hanya dilakukan untuk menguji keputusan administratif pejabat administrasi negara, seperti kita di Indonesia mengenal pula adanya peradilan tata usaha negara yang berwenang menguji keputusan administratif.
Sedangkan undang-undang di Inggris tidak dapat diganggu gugat, sebab Inggris menganut supremasi parlemen. Adapun jika terdapat pertentangan antara undang-undang dengan undang-undang lalu bagaimanakah mengatasinya jika undang-undang tak bisa di judicial review?, maka praktik yang diterima dan diakui secara umum dalam kehidupan ketatanegaraan Inggris bahwa undang-undang yang baru atau yang disahkan belakangan itulah yang harus dinyatakan berlaku.
Inilah salah satu bentuk kebiasaan ketatanegaraan Inggris. Kebiasaan ini pula sejalan dengan semangat dan menjiwai asas terpenting dalam ilmu perundang-undangan yaitu asas lex posterior derogat legi apriori. (Baca tulisan saya "Perihal Asas-asas dalam Ilmu Perundang-undangan").
Meski demikian pentingnya peranan konvensi maupun kebiasaan ketatanegaraan, tapi sesuatu itu baru dapat dikatakan konvensi atau kebiasaan hendaknya dipahami hanya selama tidak melanggar norma-norma pengaturan dalam UUD 1945.
Sebab konvensi dan kebiasaan itu fungsinya/peranannya adalah untuk melengkapi kekurangan atau kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945, bukan malah menggerogoti ketentuan normatif yang ada dalam UUD 1945. Jika itu yang terjadi maka tak layak disebut konvensi, melainkan tindakan inkonstitusional yang harus dihindari oleh setiap negara hukum.
Seperti di masa awal lebih kurang 3 bulan UUD 1945 baru disahkan, muncul maklumat wakil pemerintah (ada pula yang menyebutnya maklumat pemerintah, maklumat wakil presiden) pada 16 Oktober 1945, yaitu Maklumat No X Tahun 1945 yang mengubah kedudukan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dari yang semula tercantum dalam UUD 1945 KNIP sebagai pembantu Presiden, kemudian menjadi suatu badan tersendiri disamping Presiden dan diberi wewenang membentuk undang-undang, dan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang menjadi pedoman kinerja Pemerintah.
Bahkan menteri-menteri yang oleh UUD 1945 sebagai pembantu Presiden diangkat oleh Presiden, dan bertanggungjawab kepada Presiden, bergeser menjadi bertanggungjawab kepada KNIP. Di masa pasca kemerdekaan, KNIP ini adalah parlemen (kalau sekarang DPR), Sedang di masa pra kemerdekaan dikenal Volksraat/dewan rakyat.
Sejak saat itu sistem pemerintahanpun berganti dari presidensil menjadi parlementer. Ini dianggap sebagai konvensi oleh sebagian orang, padahal ini bertentangan dengan UUD 1945. Bukannya melengkapi kekurangan UUD 1945 tetapi menggerogoti UUD 1945. Karena itulah tidak tepat disebut sebagai konvensi.
Beda dengan di Inggris dan Amerika konvensi dapat menjadi acuan bagi hakim dalam mengadili suatu perkara. Sebab praktik di Amerika yurisprudensi atau judge made law berperan sangat penting, sementara anutan asas legisme (kepastian hukum) sangat longgar.
Ada atau tidak ada undang-undang, lengkap atau tidak lengkapnya isi undang-undang, hakim kapanpun dapat mengenyampingkan undang-undang. Hakim dalam mengambil putusan mengacu dan berpegang kepada konvensi, yurisprudensi, kebiasaan atau adat istiadat warganya.
Sedang praktik di Negara kita, hakim tidak terikat kepada konvensi. Kapanpun hakim dapat mengenyampingkan konvensi. Dan Indonesia masih sangat kental menganut asas legisme.
Selanjutnya perihal inkonstitusionalitas yang dibahas dalam tulisan ini, ada kekeliruan atau kesalahpahaman dikalangan sarjana hukum itu tentang maksud inkonstitusional atau tidak sesuai, tidak menurut, atau melanggar konstitusi (UUD 1945).
Sebuah pertanyaan dapat diajukan, misalnya, apakah sesuatu hal yang tidak diatur dalam UUD 1945 baik secara eksplisit ataupun implisit berarti inkonstitusional atau harus dianggap inkonstitusional?,
Kapan suatu perbuatan Pemerintah itu dikatakan inkonstitusional? Atau apa ukurannya mengatakan inkonstitusional itu?.
Masalah ini harus dibahas dalam suatu pembicaraan tersendiri. Selama ini argumen yang bertahan adalah setiap yang tidak ditemukan pengaturannya secara tekstual (ekplisit/implisit) dalam UUD 1945 cenderung diartikan inkonstitusional. Saya kurang sependapat dengan hal ini.
Konstitusi/UUD 1945 jangan dipahami secara tekstual (formalnya) tapi juga secara materil yaitu semangat dan jiwa yang terkandung dalam konstitusi itu. Bahwa sesuatu yang tidak ditemukan pengaturannya secara tekstual dalam UUD 1945 belum tentu inkonstitusional.
Tetapi manakala kebijakan pemerintah nyata-nyata melanggar pasal-pasal/kententuan dalam kenyataan tekstual baik yang eksplisit tegas diatur dalam konstitusi atau pemerintah memungkiri pengakuan implisit dalam konstitusi, maka barulah dapat kita mengatakan inkonstitusional, namun tentu setelah melalui pembuktian berdasarkan putusan peradilan konstitusi (Mahkamah Konstitusi).
Tapi jika perbuatan/kebijakan Pemerintah itu selaras dengan semangat dan jiwa (ruhnya) konstitusi seperti perlindungan terhadap HAM, membina dan memelihara hubungan diplomatik yang baik, yang harmonis dalam rangka meningkatkan kualitas kerjasama internasional, mengupayakan atau membantu memberikan keadilan, mewujudkan perdamaian internasional dan itu tercermin dalam konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan tentunya tidak dapat kita mengatakan inkonstitusional.
Sebab konvensi dilakukan karena tidak ditemukan pengaturan konstitusional bahkan konvensi itu akan tumbuh secara alamiah dengan sendirinya.
Jadi sekali lagi ukuran atau patokan untuk mengatakan inkonstitusional tidaknya suatu perbuatan/kebijakan pemerintah adalah ukuran formal dan materil. Jika bertentangan dengan konstitusi dalam arti formal atau tekstual dan/atau bertentangan dengan konstitusi dalam arti materil yaitu semangat dan jiwa atau ruhnya konstitusi maka barulah dapat dikatakan inkonstitusional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar