Perihal Ilmu Undang-Undang
Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)
Dalam tulisan sebelumnya saya menulis "Perihal Ilmu Perundang-undangan", dalam kesempatan ini saya mempersempit ruang lingkup pembahasan, mengkhususkan pembahasan hanya pada undang-undang yang dilihat dalam perspektif ilmu.
Undang-undang dimaksud adalah undang-undang secara umum berlaku, bukan undang-undang tertentu seperti UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, undang tentang ini tentang itu dan sebagainya. Undang-undang yang tertentu itu hanya saya cantumkan sebagai contoh saja, bukan dijadikan sebagai objek pembahasan.
A. Dari segi isi (materil), suatu undang-undang dapat dibedakan kedalam:
1. Perppu, bentuknya (formalnya) adalah peraturan pemerintah tapi isinya adalah undang-undang. Perppu tak lain adalah undang-undang yang dibentuk dalam keadaan tertentu, yaitu "dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa", dan "dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya (Baca: Pasal 22 UUD 1945, Pasal 12 UUD 1945, Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009).
2. Perda, hakikatnya juga adalah undang-undang. Tepatnya undang-undang lokal. Pembahasan mengenai hal ini mungkin baiknya dikaji dalam pembahasan tersendiri pada tulisan berikutnya tentang kedaulatan rakyat (demokrasi).
B. Sifat norma dan subjek peruntukannya, dikenal pula:
1. Ada undang-undang yang bersifat mengatur dan peruntukannya umum disebut juga undang-undang yang bersifat umum;
Contoh:
KUHP, KUHPerdata, undang-undang tentang perkawinan, undang-undang tentang kekuasan kehakiman, undang-undang tentang HAM, undang-undang tentang kewarganegaraan, undang-undang tentang sistem pendidikan nasional, undang-undang tentang pemilu, undang-undang tentang ketenagakerjaan dan lainnya.
2. Ada yang bersifat mengatur peruntukannya lokal (daerah tertentu) disebut juga undang-undang yang bersifat lokal;
Contoh: perda, qanun, undang-undang tentang pembentukan kabupaten baru, undang-undang otsus NAD, undang-undang otsus papua, undang-undang tentang pemerintahan DIY.
3. Ada yang bersifat mengatur peruntukannya bersifat personal/individual (subjek hukum tertentu) disebut juga undang-undang yang bersifat personal/individual.
Contoh: tap mpr tentang pemberantasan KKN terhadap siapa saja termasuk mantan presiden soeharto, pada 1947 kita mengenal ada undang-undang tentang naturalisasi.
Yang tidak boleh itu undang-undang yang bersifat konkret dan individual, ialah undang-undang yang tidak bersifat mengatur melainkan bersifat memutuskan dan berlaku secara personal/individual.
Dalam praktik ternyata ada saja undang-undang yang demikian, kita tidak dapat pula mengingkarinya. Hal ini merupakan suatu penyimpangan atau pengecualian yang tidak lazim atas materi undang-undang.
C. Dari segi bentuk (formal)nya, suatu undang-undang dapat dibedakan pula yaitu:
1. Formalnya peraturan pemerintah atau perpres tapi isinya seharusnya dituangkan dalam bentuk undang-undang.
2. Formalnya mungkin saja perda tetapi seharusnya isinya dituangkan dalam bentuk undang-undang.
Keduanya ini, dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui formal judicial review. Sejak disahkannya UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah diterima suatu pengaturan yang sangat tegas mengenai materi muatan yang harus diperhatikan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Materi muatan undang-undang tidak boleh diambil alih dan diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Demikian juga materi muatan undang-undang tidak boleh diatur dalam perda misalnya mengenai mencetak mata uang, hubungan diplomatik kecuali dalam batas-batas yang memang telah diatur dalam undang-undang seperti melakukan kerjasama pada bidang tertentu.
Tetapi kebalikannya seharusnya juga berlaku terhadap undang-undang. Undang-undang seharusnya tidak mengatur sesuatu apa yang mestinya diatur perda. Kecenderungan selama ini undang-undang seakan-akan mengatur semua hal yang semestinya cukup diatur dalam perda.
Biarkanlah daerah mengatur apa yang perlu dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Misalnya tentang pilkada, tidak perlu diatur secara komprehensif dan diputuskan model pilkada itu dalam undang-undang.
Cukup pilkada itu diatur dan diputuskan pelaksanaannya dalam perda, langsung oleh rakyat, dipilih oleh DPRD, atau tidak langsung dengan varian yang lain biarkan saja daerah yang menentukannya sendiri.
Sebab masyarakat daerahlah yang lebih mengerti kondisi, yang punya aspirasi yang seharusnya berhak menentukan bagaimana pelaksanaan pilkada itu diputuskan. Lagi pula UUD 1945 menjamin otonomi yang seluas-luasnya. Tetapi praktiknya kebijakan legislasi di Negara ini berlaku sebaliknya yaitu otonomi yang sesempit-sempitnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar