Jumat, 21 Desember 2018

Adagium "Segala Sesuatu Itu Boleh Selama Tidak Dilarang" Perlu Penjernihan



Adagium "Segala Sesuatu Itu Boleh
Selama Tidak Dilarang" Perlu Penjernihan

Oleh: Syahdi, S.H
(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Sebagai produk universitas, dan sebagai seorang intelektual yang hidup di dalam riuh serta semaraknya kebebasan berfikir adalah hal yang lumrah beda pendapat dalam melihat suatu persoalan. Sering dikatakan, jika dua orang sarjana hukum duduk berdialog maka akan muncul 3 pendapat. Karena itu biasa bila dalam menyikapi suatu persoalan muncul beragam pendapat.

Pendapat hukum (legal opinion) beda dengan pendapat biasa. Pendapat hukum selalu dan harus mengacu kepada rujukan-rujukan konseptual, kerangka teoritis yang relevan, dan dalil-dalil yuridis formil. Jadi dalam menyampaikan pendapat hukum, anasir yang bersifat emosional, penilaian berdasarkan subjektifitas, atau mengambil rujukan yang bukan hukum harus dihindari.

Satu hal yang cukup menarik, sepertinya mulai populer dan belakangan kerap dijadikan justifikasi dalam menyampaikan suatu pendirian dalam memahami regulasi pemilihan umum yaitu munculnya semacam adagium yang menyatakan "Segala Sesuatu Itu Boleh Selama Tidak Dilarang". Pernyataan ini tidak tepat dan justru sangat berbahaya jika dijadikan sandaran atau pijakan dalam membaca dan memahami suatu regulasi tanpa disertai dengan pemahaman yang jelas.

Dalam memahami soal ini hendaknya janganlah dilihat secara picik, karena tidak semua yang tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan berarti semuanya boleh untuk dilakukan. Sebab untuk hal-hal yang tidak diatur itu jika ingin dilakukan sejauh mungkin harus tetap memperhatikan apakah itu sesuatu yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apakah bertentangan dengan norma agama dan norma sosial sebagai the living law ditengah-tengah masyarakat, ataukah bertentangan dengan etika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Regulasi seperti peraturan perundang-undangan dalam telaah ilmu hukum khususnya ilmu perundang-undangan yang merupakan spesialisasi kajian dalam Hukum Tata Negara mempunyai dan terikat kepada asas hukum (legal princip) dan sifat-sifat tertentu yang sudah diterima sebagai ius comminis opinio doctorum. Membaca dan memahami suatu peraturan perundang-undangan atau menjawab suatu persoalan yang muncul dalam bidang hukum dengan menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai orientasi dan perspektif tidak bisa dijawab dengan pilihan jawaban "benar" atau "salah", "ya" atau "tidak", "boleh" atau "tidak boleh".

Karena permasalahan yang timbul di bidang hukum selalu memerlukan argumentasi untuk menjawabnya. Lagi pula harus dipahami bahwa hukum itu bukan ilmu eksakta yang bersifat serba pasti, hukum adalah ilmu sosial yang selalu berkembang dan berubah-ubah mengikuti perubahan dan kompleksitas suatu masyarakat. Karena hukum bukan ilmu eksakta, maka dalam hukum 1+1 hasilnya bisa (-2), (1,9), atau (-3,5) dan sebagainya.

Jika pernyataan "Segala Sesuatu Itu Boleh Selama Tidak Dilarang" diterima begitu saja, maka akan menimbulkan kekacauan dalam berfikir terutama dalam mengambil suatu kebijakan. Jika logika dalam pernyataan itu dipakai, maka coba tunjukkan misalnya ketentuan, pasal, atau peraturan perundang-undangan mana yang melarang mendirikan Negara Fedaral, mengangkat sanak keluarga dan/atau sahabat akrab menjadi pejabat penting di lingkungan Gubernur, Bupati/Walikota. Maka tidak satupun dijumpai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit menyebut hal itu dengan rumusan "dilarang  bla bla bla bla".

Tetapi mendirikan Negara Federal itukan kaitannya dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik". Karena susunan Negara Kesatuan yang telah dipilih oleh founding father (pendiri Negara) dan diputuskan itu dalam konstitusi, maka ide untuk mengubah Negara Kesatuan (NKRI) untuk mendirikan Negara Federal menjadi dilarang. Demikian juga mengangkat sanak keluarga menjadi pejabat penting di lingkungan Gubernur, Bupati/Walikota, tidak satupun ada rumusan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyebut "bla bla bla bla dilarang". Tapi itukan kaitannya dengan konsep merit system dalam pengisian jabatan dalam birokrasi, juga kaitannya dengan konsep Pemerintahan Yang Bersih dan Bebas KKN.

Lagi pula sesuatu itu dilarang dalam peraturan perundang-undangan tidak mesti selalu ditulis dengan rumusan "bla bla bla bla bla dilarang:". Dalam memahami jumlah dan jenis Bahan Kampanye misalnya, dulu sempat disepakati bersama oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau dalam suatu Rakernis bahwa Bahan Kampanye itu tidak terbatas hanya pada 12 item seperti yang diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Kampanye Pemilu.

Melihat hal itu, muncul pertanyaan dalam hukum, bagaimanakah kedudukan hukum kesepakatan itu?, bagaimanakah kekuatan hukum mengikatnya kesepakatan itu?. Maka saya tegas mengatakan bahwa kesepakatan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau itu bukan peraturan perundang-undangan. Karena bukan peraturan perundang-undangan maka secara hukum tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku mengikat untuk dipatuhi.

Apalagi kesepakatan yang dibuat itupun berisi norma yang bersifat ultra vires (melampaui kewenangan), menganulir apa yang telah tegas diatur dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebab Peraturan Komisi Pemilihan Umum itu adalah peraturan perundang-undangan dan jangkauan kekuatan berlaku mengikatnya secara hukum bersifat nasional. Karena itu tidak bisa dianulir berdasarkan kesepakatan bersama Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau.

Penganuliran dengan cara seperti itu tidak ada logika hukumnya sama sekali. Kesepakatan bersama tersebut bukan produk hukum atau peraturan perundang-undangan, lebih tepat disebut produk kebijakan atau peraturan kebijakan (beleidsregel, freies ermessen, atau diskresi). Peraturan kebijakan tentu sah-sah saja dibentuk sepanjang diperlukan, asalkan pembentukannya mengacu kepada UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Tetapi dalam konteks pembicaraan ini, harus diingat bahwa peraturan kebijakan tidak dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan, sebab ia bukan hukum, dan ia dibentuk sebagai peraturan yang bersifat teknis-operasional belaka untuk memudahkan penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Andaipun hukum berupa peraturan perundang-undangan, mengenyampingkan suatu norma dalam suatu peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada asas lex superior derogat legi inferiori, lex spesialis derogat legi generalis, lex posteriori derogat legi a priori. Karenanya ini bukanlah hal yang remeh temeh.

Melanggar kesepakatan tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi hukum apapun baik sanksi administratif, denda maupun sanksi pidana. Padahal mengenai kemungkinan penambahan jenis dan jumlah Bahan Kampanye itu sudah dikunci dalam Pasal 73 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018. Masih syukur ada Pasal 73 ayat (1) itu, andai pasal itu tidak ada maka dengan mudahnya jenis dan jumlah Bahan Kampanye itu menjadi sangat banyak dan cenderung tidak terbatas atas dasar kesepakatan sepihak yang diambil dari pemahaman terhadap peraturan KPU. Sebab "Segala Sesuatu Itu Boleh Selama Tidak Dilarang".

Karena itu, praktiknya dapat terjadi bahwa di suatu daerah dengan daerah yang lain akan bebeda-beda jenis dan jumlah Bahan Kampanye, di daerah A ada 20 jenis, di daerah B ada 38 jenis, di daerah yang lain lagi ada 50 jenis dan begitu seterusnya. Jika sudah demikian keadaannya maka konsekuensi yuridis yang timbul adalah tidak adanya unifikasi Bahan Kampanye dan tidak adanya kepastian hukum dalam kampanye pemilihan umum. Dan soal Bahan Kampanye dibahas disini hanya sebagai salah satu contoh saja.

1. Resultante diatas Resultante

Resultante, atau disebut juga kesepakatan politik.  Dalam pembicaraan ini pelu dipahami bahwa kesepakatan politik beda dengan keputusan hukum. Kesepakatan politik (dalam artian formil) dituangkan dalam wujud berupa peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga/pejabat negara sesuai kewenangannya menurut suatu prosedur tertentu. Sementara keputusan hukum dari segi bentuk formalnya ada yang berupa peraturan, keputusan/ketetapan dan penetapan administratif, maupun putusan (vonnis).

Keputusan hukum yang berupa peraturan untuk sebagian adalah produk hukum yang dibuat melalui proses politik, oleh lembaga politik dan disahkan pemberlakuannya atas dasar kesepakatan politik, maka disebut disebut juga produk politik. Tetapi tidak semua produk hukum yang berupa peraturan adalah juga produk politik, seperti Peraturan Mahkamah Agung (Perma), dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) adalah contoh paling konkret produk hukum yang bukan produk politik.

Sebab Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi itu bukan lembaga politik, dan produk hukum yang dibentuknya bukan pula produk politik. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan tempat orang mencari keadilan, dan tempat untuk memutuskan konflik politik baik itu konflik antar sesama interest group, maupun antar interest group dengan warganegara atau dengan social group seperti Lembaga Swadaya Masyarakat. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara institusional (kelembagaan) diberikan kewenangan membentuk produk hukum sendiri yang bersifat internal.

Dalam doktrin demokrasi, prinsipnya pembentukan produk hukum berupa peraturan perundang-undangan mutlak adalah wewenang rakyat melalui perantaraan wakilnya di parlemen, tidak boleh dan tidak berhak lembaga negara manapun selain parlemen membentuk peraturan, kecuali bila parlemen mengizinkan melalui undang-undang. Karena itu dalam undang-undang sering dijumpai ketentuan misalnya menyatakan bahwa "...diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah". Itu adalah cara parlemen memberikan izin, bahkan itu adalah cara pembentuk undang-undang memberikan instruksi untuk diatur lebih lanjut secara lebih rinci. Dalam teori kewenangan itu disebut juga dengan kewenangan yang diperoleh melalui delegasi.

Lalu bagaimana dengan kesepakatan bersama Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau?, apakah kesepakatan itu dapat disebut kesepakatan politik dalam artian formil yaitu peraturan perundang-undangan?. Saya berpendapat tidak sama sekali, kesepakatan yang demikian itu tidak dapat disamakan dengan peraturan perundang-undangan. Kesepakatan tersebut sifatnya sepihak dan tidak resmi. Karena itu tidak memiliki keabsahan secara hukum untuk dipatuhi.

Tetapi akan menjadi lain ceritanya jika Bawaslu RI membentuk peraturan Bawaslu. Peraturan Bawaslu diakui keberadaannya sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jika peraturan perundang-undangan, maka apapun itu jenis atau bentuknya maka ia mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dipatuhi, dan kepada pelanggarnya dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan jenis sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri.

Tetapi yang terjadi sekarang ini adalah seakan-akan ada resultante diatas resultante dimana resultante yang satu menganulir atau mengenyampingkan resultante lainnya. Padahal resultante, dalam hal ini produk hukum berupa Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tidak dapat dianulir atau dikesampingkan oleh peraturan kebijakan seperti kesepakatan Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau.

Andai diambil kebijakan atas dasar atau dengan cara penganuliran seperti itu, maka kebijakan itu potensial tidak sah bahkan pintu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terbuka untuk menyelesaikan soal itu. Maka kadang-kadang saya terfikirkan, andai calon anggota legislatif itu atau Partai Politik Peserta Pemilu itu cerdas dan cermat melakukan analisis peraturan perundang-undangan pemilu, maka ada saja kebijakan Bawaslu yang dapat digugat secara perdata ke Pengadilan Negeri bahkan etik penyelenggara Pemilu dalam hal ini Bawaslu dapat dipersoalkan.

Karena itu dari gerbong suara intelektual ini saya bicara, bahwa hendaknya persoalan seperti ini jangan dipandang remeh sebab berdampak pada paradigma yang keliru, bahkan dapat berdampak serius jika kebijakan diambil berdasarkan paradigma yang keliru itu. Disamping itu pada sisi lain janganlah hendaknya kita belum apa-apa, secara a priori sudah menganggap apapun pernyataan dan produk Bawaslu RI segalanya harus dianggap sebagai kebenaran mutlak, tidak boleh dikritik dan harus dipatuhi, sebab dibuat oleh orang-orang cerdas, oleh para ahli jadi tidak mungkin salah.

Pemikiran serba a priori seperti itu dapat dengan mudah kehilangan validitasnya seketika diuji. Jika berfikir demikian, maka tidak akan ada Mahkamah Konstitusi karena secara a priori sudah dianggap bahwa apapun produk hukum pemerintah pusat semuanya adalah benar adanya sebab dibentuk oleh orang-orang cerdas, oleh para ahli. Praktiknya sudah puluhan mungkin ratusan ketentuan atau pasal-pasal undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak Mahkamah Konstitusi terbentuk pada 2003 sebab bertentangan dengan konstitusi.

Jika semua produk hukum pemerintah adalah benar dan dibuat oleh atau melibatkan para ahli lalu mengapa teganya Mahkamah Konstitusi membatalkan dalam judicial review ketentuan dalam produk buatan para ahli itu?, akankah kita berfikir Mahkamah Konstitusi diisi oleh orang-orang bodoh??, tentu tidak.

Dengan pengujian seperti ini maka gugurlah validitas pandangan serba a priori itu. Padahal dalam demokrasi atau dalam dialog intelektual sangat wajar muncul pendapat berbeda atau kritikan terhadap peraturan perundang-undangan. Bahkan kritikan itu justru sering berpengaruh kepada upaya pembaharuan hukum nasional. Kritik juga merupakan upaya kontrol terhadap pengambilan kebijakan agar mekanisme check and balances berjalan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan

Ormas Berseragam ala Militer: Dari Kebebasan Sipil, Konflik Sosial dan Potensi Instabilitas Pemerintahan Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pe...