Senin, 17 Juni 2024

Bobroknya Masyarakat Kita

Bobroknya Masyarakat Kita

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Banyak orang dengan bara semangat yang bergolak hebat menjadi ini-itu tidak lebih sekedar untuk mencari simbol, membangun simbol-simbol. Sementara sisanya lebih pada soal eksistensi belaka. Sedikit sekali diantara generasi yang ada kini berupaya membangun substansi, pembangunan kesadaran dengan membumikan literasi di kiri-kanan masyarakatnya. Lain lagi masalahnya di wilayah kepemimpinan, tidak seperti sebagian orang yang hobi mengatakan "jaga persatuan" sementara mereka tak paham dengan apa yang mereka ucapkan. Sejak puluhan tahun lalu Syafruddin Prawiranegara dengan gelar kemasyhurannya dalam ingatan sejarah bangsa ini "Sang PenyelamatRepublik" dalam bukunya "Agama dan Bangsa" beliau katakan pada kita, "mereka yang suka mengatakan jagalah persatuan sesungguhnya merekalah yang tidak pandai menjaga persatuan itu !".

Mengapa kita susah bersatu ?

Jawaban atas pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk diketengahkan. Jika kita bicara takdir Allah maka jawabannya sudah cukup dengan mengatakan "apa saja yang terjadi di dunia ini sudah menjadi sunnatullah, semuanya telah tercatat dalam kitab yang agung yakni Lauh Mahfudz". Tapi apakah kita selesai sampai disitu saja ?, tentu saja tidak. Jika apa-apa saja yang terjadi kita kembalikan bahwasanya semua itu sudah menjadi takdir Allah belaka, maka dikhawatirkan kita terjebak kepada sifat lemah dan tidak mau berjuang. Padahal Allah sudah menegaskan: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia" (Q.S. Ar-Ra'd: 11). 

Meyakini segala sesuatu yang terjadi adalah takdir Allah sudah menjadi keharusan bagi setiap mukmin. Tapi Allah memberikan kita akal, hati, inderawi untuk memikirkan dan berikhtiar agar kita mengupayakan kebaikan bagi kemaslahatan umat, masyarakat dan bangsa ini. Apakah kita menjadi lemah dan berputus asa melihat carut marut kehidupan yang kita saksikan saat ini, apakah kita akan menjadi apatis dan tidak mau berjuang, ataukah kita akan berupaya sekuat tenaga memperbaiki sengkarut keadaan ini. 

Semuanya kita yang tentukan. Untuk itulah Allah berikan kita akal, hati dan inderawi sebagai alat bagi kita untuk menghadirkan sebanyak-banyaknya kebaikan di tengah kehidupan bermasyarakat, beragama dan berbangsa dalam rangka pengabdian kepada Allah. Sebagaimana fiman Allah, "Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku" (QS. adz-Dzariyat: 56). Masih pada upaya mencari jawaban atas pertanyaan di atas. Saya tidak menemukan jawaban yang lebih tegas melainkan jawabannya adalah pendidikan. Bagi para peneliti atau pemerhati pendidikan di negeri ini tentu mereka sangat menyadari betapa pendidikan itu menjadi faktor paling penting penentu jatuh bangunnya suatu peradaban. 

Pendidikan bukan hal yang dapat dipandang enteng sambil lalu saja. Pendidikan ini soal yang sangat fundamental dan menentukan arah suatu masyarakat maupun bangsa. Menjadi masyarakat yang tertinggal, kolot, bodoh, miskin, lemah, masyarakat yang mudah dipecah dan dikotak-kotakkan atau menjadi masyarakat yang terbuka dan tercerahkan pikirannya, masyarakat yang cerdas, agamis, kuat, masyarakat yang sadar jati dirinya semuanya ada pada pendidikan. Semakin bagus kualitas pendidikan semakin baik kualitas masyarakatnya. Sementara orang mungkin bertanya apa hubungannya pendidikan dengan masyarakat. Jelas sangat berkaitan. Pendidikan berbanding lurus dengan kondisi masyarakat. Jika pendidikan rusak, salah urus, tidak diurus serius maka sesungguhnya yang sedang dipertaruhkan itu adalah takdir atau nasib masyarakat bahkan peradaban suatu bangsa. 

Masyarakat yang buruk, bodoh, masyarakat yang mudah dipecah-belah adalah cerminan dari buruknya kualitas pendidikan. Pendidikan yang buruk tidak berefek apapun terhadap perbaikan pola pikir maupun mentalitas masyarakat. Hari ini pendidikan kita bermasalah, institusi pendidikan berubah menjadi industri kapitalis, dijadikan lahan bisnis yang eksploitatif dan menindas, industri yang memperkaya elit para pengurusnya, rumah tua yang hanya memproduksi para sarjana yakni orang-orang dengan sederet gelar diatas kertas yang tidak punya motivasi dan kualitas, bukannya mencetak para cendekiawan yaitu orang-orang yang mumpuni dalam penguasaan keilmuan menjadi orang-orang yang ahli di bidangnya. 

Proses seleksi masuk perguruan tinggi yang demikian ketat hanya akan menghilangkan kesempatan orang-orang dengan potensi yang memadai untuk mendapatkan pembelajaran demi meningkatkan kualitasnya. Sebaliknya terlalu memudahkan bahkan terkesan tanpa proses seleksi sama sekali juga hanya akan menghasilkan para sarjana yang tidak berkualitas. Institusi pendidikan itu dibentuk tidak untuk mencetak para sarjana, tetapi mencetak para ilmuan, para cendekiawan, orang-orang yang mumpuni dalam penguasaan suatu bidang keilmuan agar siap berkontribusi untuk memperbaiki keadaan masyarakat, bangsa dan negara. Ini yang tampaknya tidak lagi dipahami. Banyak hari ini perguruan tinggi baik berupa sekolah tinggi maupun universitas didirikan tak punya paradigma yang jelas, tak punya prinsip yang jelas hanya berfungsimemproduksi para sarjana, bukan para ilmuan. 

Hari ini para sarjana sangat ramai berserakan di masyarakat kita. Banyaknya perguruan tinggi yang didirikan meluluskan ribuan orang dalam setahun telah berlangsung selama puluhan tahun. Jumlah ini akan terus bertambah dan semakin tidak terhitung banyaknya. Orang-orang yang tidak punya motivasi, kerisauan dan kepedulian sosial tumpah ruah di masyarakat kita. Kita bertanya, apa yang diinginkan dengan banyaknya para sarjana itu ?. Perguruan tinggi hari ini-tanpa mengeneralisir-hanya menghasilkan para sarjana bukan para ilmuan sebagaimana yang telah disebutkan. Ada kesenjangan yang sangat besar kita perhatikan bahwa seseorang dengan sederet gelar akademik yang banyak tetap saja tidak selalu mencerminkan kualitas intelektualnya sama sekali. 

Artinya antara gelar dengan ilmu tidak berbanding lurus. Sehingga kita melihat gelar itu pada akhirnya tidak lebih hanya sekedar syarat administratif untuk diterima bekerja atau untuk mendapatkan suatu jabatan baik yang berorientasi uang maupun popularitas belaka. Bahkan gelar itu dipahami hanya untuk mempertinggi status sosial untuk mencari simpati dan mengharapkan respek dari masyarakatnya. Seakan dengan memiliki gelar sudah cukup menjadikan para pemuja gelar itu dalam pandangan masyarakat dianggap sebagai orang yang hidupnya lebih baik, maju, sukses dan lain sebagainya. 

Padahal tanggung jawab yang melekat pada gelar itulah yang paling penting bahwa melekat kewajiban moral dan intelektual yang besar untuk memperbaiki keadaan masyarakat dalam banyak aspek. Bagian substansial itulah seperti tak pernah dipahami. Masih saja banyak orang terlihat membanggakan diri dengan gelar yang sedemikian banyaknya meskipun kualitas mereka anjlok. Banyaknya aneka ragam gelar yang merepresentasikan berbagai bidang keilmuan justru membuat banyak orang dalam hal keilmuan tidak ada satupun yang tuntas. Itulah sebabnya hendaknya antara gelar-gelar itu mestinya selaras tidak melompat ke berbagai bidang.

Ramainya para sarjana yang minim motivasi kemasyarakatan, yang punya kesadaran memperbaiki masyarakatnya tidak saja karena mereka produk pendidikan yang gagal di perguruan tinggi. Tetapi masalahnya dimulai dari salah urusnya sekolah. Manajemen pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas yang buruk menjadi fase pertama lahirnya para lulusan yang minim motivasi mau menjadi apa mereka di masa yang akan datang. Keadaan ini terbawa sampai para alumni sekolah menengah atas itu menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Saya kira mengenai hal ini terlalu panjang jika harus di bahas semuanya satu persatu. 

Masyarakat yang tercerai berai 

Akibat dari salah urusnya institusi pendidikan menghasikan produk pendidikan yang buruk dan rusak. Jika mereka menjadi pejabat yang ada dalam kepalanya hanyalah uang atau kekayaan, fasilitas, penghormatan, nama besar atau popularitas, dan status sosial yang tinggi. Begitulah mereka memandang jabatan. Orang seperti ini bawaannya arogan (merasa sudah sangat besar, sangat tinggi, sangat berkuasa), rakus, suka menindas dan memperbudak. Masih ditambah lagi kebijakannya memecah-belah, anti pikiran, dan tidak sungkan menyebarkan pembusukan yang masif terhadap orang-orang yang dianggapnya mengancam kewibawaan sebab sikap kritisnya atau sebab kualitasnya lebih baik. 

Jika jabatan-jabatan di birokrasi dipegang oleh orang-orang yang buruk dan rusak seperti itu maka penuh sesaklah birokrasi itu dengan praktik kotor, korupsi, penyuapan, manipulasi, perlombaan mempertinggi gaya hidup dan lain sebagainya. Pada sisi yang lain lagi, mereka produk pendidikan yang buruk dan rusak dalam pergaulan di tengah masyarakat perilakunya suka membuat kegaduhan, membusuk-busukkan orang lain, menggunjing, menyebarkan aib, memecah-belah dan lain sebagainya. Akhirnya di lingkungan masyarakat manapun dapat kita jumpai bahwa orang-orang yang buruk, rusak, bodoh, arogan dan bebal ini mendominasi dan jumlah mereka semakin bertambah banyak. Keberadaan mereka ini dimana saja hanya menjadi racun yang meracuni kehidupan, merusak pola pikir, menanamkan kebodohan pada banyak orang, menyebarkan kebencian dan menciptakan permusuhan. 

Ditambah lagi hampir tidak adanya sikap saling menghargai, kurangnya adab diantaranya suka menyela pembicaraan, meremehkan pendapat orang lain, menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dan lain sebagainya. Rendahnya kualitas intelektual sering kali berdampak terhadap kejatuhan akhlak. Inilah yang membuat bobroknya masyarakat kita dan sebagai jawaban mengapa sulitnya kita bersatu. Masalah yang disebutkan di bagian akhir ini hanya akumulasi. Adapun akarnya atau sumbernya adalah pendidikan, terletak pada pengelolaan pendidikan. Akhirnya keadaan yang buruk ini menjadikan kita terus-menerus terpecah sebab ramainya danbetapa mendominasinya orang-orang bodoh lulusan institusi pendidikan itu melakukan kerusakan-kerusakan.

Menemukan Kembali Spirit Persatuan Kita

Menemukan Kembali Spirit Persatuan Kita

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

"Generasi umat ini takkan terbaiki kecuali dengan faktor yang memperbaiki generasi awalnya", demikianlah nasehat Imam Malik bin Anas salah seorang tabi'in senior yang menjadi bagian dari 3 generasi umat terbaik sebagaimana sabda Rasullullah, "khoirunnasi qorni tsummalladzina yaluunahum tsummalladzina yaluunahum", yang berarti sebaik-baik manusia ialah mereka yang hidup dalam kurunku, kemudian setelahnya, lalu setelahnya. Faktor yang memperbaiki generasi awalnya tidak lain adalah tauhid yang kuat, keistiqomahan beribadah dan ukhuwah islamiyah yang kuat. Hadits ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an: "Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nāsi ta`murụna bil-ma'rụfi wa tan-hauna 'anil-mungkari wa tu`minụna billāh", yang berarti: Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah (Q.S. Ali-Imran:110). 

Dari sepotong ayat tersebut mengertilah kita bahwa terkandung 3 syarat untuk menjadi umat terbaik, yaitu: menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Para ulama berkeyakinan bahwa umat terbaik tersebut tak lain adalah 3 generasi terbaik yang hidup semasa dan setelah Rasulullah yaitu generasi sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Namun 3 syarat tersebut masih tetap terbuka bagi generasi umat Islam setelahnya untuk menjadi umat terbaik selama memenuhi kaidah Al-Qur'an tersebut. 

Dahulunya di bawah naungan keistiqomahan ber-Islam, umat Islam mengalami masa-masa persatuan dan persaudaraan yang luar biasa kuat sehingga mampu mewarnai dunia dengan warisan peradaban yang bernilai tinggi selama berabad-abad lamanya. Fase daulah Ummayah, daulah Bani Abbasiyah hingga kesultanan Turki Utsmani bukti betapa Islam menciptakan peradaban besar yang gemilang saat dunia Barat di fase titik terendah dalam sejarah umat manusia akibat otoriterianisme gereja di Eropa yang alergi pada perkembangan ilmu pengetahuan hingga memusuhi dan menghukumi secara bengis para ilmuwan dan para pemikir. 

Zaman ini di Eropa disebut abad kegelapan (Dark Age) yang menjadikan Eropa kolot, terbelakang, dan kotor. Namun seiring bertukarnya zaman dan kelahiran generasi baru yang menggantikan generasi lama, persatuan yang luar biasa kokoh itu mulai melemah, meredup dan bahkan lenyap ditelan gelapnya perpecahan dari dalam ditambah invasi militer dari luar yang berupaya melumat kekuatan kaum muslimin, menguasai dan merebut kembali wilayah yang telah dimakmurkan oleh umat Islam dengan kearifannya, keadilannya dan toleransinya yang tinggi yang belum pernah ada dalam sejarah peradaban umat lainnya. Jauhnya umat ini dari agamanya (Islam), berpalingnya umat dari tradisi keilmuan, bergeser menjadi umat yang menggemari nyanyian yang melenakan. 

Dalam sejarah yang mengiringi kejatuhan peradaban islam, munculnya Ziryab murid Ibrahim al Maushili misalnya, menjadi faktor sekaligus simbol yang memalingkan umat dari majelis ilmu kepada musik dan nyanyian yang melemahkan spirit menuntut ilmu dan menurunkan mentalitas berjuang merupakan salah satu sebab yang paling besar pengaruhnya atas jatuhnya peradaban Islam di Andalusia (Spanyol, Portugal dan Selatan Prancis) yang telah berdiri dengan megahnya selama 8 abad dari 711-1492 Masehi. Maraknya kezhaliman penguasa, kelobaan pada materi yang menggurita, merajalelanya kemaksiatan dan terpecahnya daulah kedalam negeri-negeri akibat ambisi berkuasa menjadi faktor yang menginisiasi kejatuhan kekuasaan pemerintahan Islam sekaligus menandai kehancuran peradabannya. 

Sejak dari perisitiwa ini umat Islam di berbagai negeri kehilangan persatuannya dan spirit keber-Islamannya. Hingga peradaban barat menggantikan dominasi atas dunia, menyebarkan ajaran dan gaya hidup barat yang liberal dan netral agama. Peradaban barat yang dibangun diatas kebebasan dan netral agama tak lain imbas dari konfrontasi yang panjang dengan rezim gereja di abad pertengahan. Pentingnya mentadabburi sejarah sebagaimana telah digariskan dalam Al-Qur'an: "maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir" (Q.S. Al-A'raf: 176). Atau sebagaimana nasehat Sa'ad bin Abi Waqqash pada anaknya: "wahai anakku, sejarah itu adalah warisan dari nenek moyangmu, maka jangan sekali-kali engkau menyia-nyiakannya" (diabadikan dalam Kitab Al Jami li Akhlaq Ar Rawi wa Adab As Sami', dinukil dari Edgar Hamas dalam "The Untold Islamic History #2 Mengungkap Kisah Sejarah Islam yang Lama Terpendam). Setelah lama umat ini kehilangan persatuan. 

Maka dari mentadabburi sejarah penting bagi kita untuk menemukan kembali spirit persatuan yang telah lama hilang itu. Di bawah naungan nation state (negara bangsa) dan nasionalisme sebagaimana nasionalisme yang dilafadzkan oleh H.O.S Tjokro Aminoto bahwa nasionalisme tidaklah mencampakkan ruh Islam dalam bernegara, diatas nasionalisme itulah kita mesti menemukan kembali puing-puing spirit persatuan kita, menyusun dan merekatkannya lagi untuk menaikkan kembali wibawa Indonesia di mata internasional sebagaimana di tangan founding fathers dahulu negeri ini disegani asing dan tokoh-tokohnya dihormati di kancah politik bahkan forum keagamaan internasional. 

Namun dari manakah kita akan memulainya, jawaban atas pertanyaan ini tidak lain adalah dengan membiasakan sholat berjamaah di masjid. Sholat adalah ibadah pertama dalam risalah Islam, sholat adalah tiang agama, mendirikan sholat maka mendirikan agama dan meninggalkannya berarti meruntuhkan agama. Persatuan umat Islam diawali dengan sholat. Sholat bukan hanya sebentuk wujud penghambaan diri makhluk secara total pada sang khalik. Tetapi sholat memiliki dimensi sosial politikyang fundamental terhadap persatuan kaum muslimin. Sebaik-baik sholat ialah yang dikerjakan berjamaah. Makmum adalah rakyat dan imam adalah pemimpin yang ditunjuk melalui mekanisme syuro dari orang yang paling fasih bacaannya, ia disukai rakyat dan mengerti kondisi rakyatnya. 

Demikianlah dasar-dasar persatuan dan kepemimpinan diletakkan dan diajarkan dalam Islam melalui praktik peribadatan sholat berjamaah. Ada makmum yang mentaati Imamnya, dan Imam yang berlapang dada menerima kritik dan saran dari makmumnya serta memahami permasalahan dan kondisi makmumnya menciptakan masyarakat dan negeri yang solid, negeri yang utuh dan negeri yang baldathun thayyibatun warabbun ghafur. Melalui momentum Ramadhan 1444 H inilah hendaknya menjadi kesempatan bagi kita semua tidak terkecuali bagi diri saya untuk berbenah diri. 

Hendaknya kita belajar membiasakan sholat berjama'ah di masjid seraya memperbaiki perilaku kita ke arah yang sejalan dengan koridor syari'at guna menemukan kembali spirit keber-Islaman kita, dan spirit persatuan kita yang telah lama hilang di makan zaman. Umat ini hanya akan bangkit dan bersatu jika sholat subuhnya sudah kembali ramai seperti sholat hari rayanya. Lalu ciri kebangkitan itu akan terus terlihat dengan berpalingnya umat dari tradisi, gaya hidup, pola pikir barat yang liberal dan sekuler, individualis dan hedonis menuju kegandrungan pada tradisi keilmuan, menghidupkan kembali majelis ta'lim sebagaimana dilakukan para pendahulu kita di masa kejayaan Islam.

Nasehat Untuk Penguasa

Nasehat Untuk Penguasa

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Birokrasi hari ini memang sangat mendesak kritisisme sebab tidak memberikan tempat atau ruang kepada fikiran-fikiran yang konstruktif dan egaliter untuk tumbuh. Tesis yang dipegang penguasa atau seorang pemimpin birokrat yakni kelas pekerja dipandang tidak mengerti apapun, tidak tau apapun, selalu salah, gemar bermalas-malasan, tidak disiplin dan terpecah-pecah. Sedangkan untuk memberikan justifikasi atas tesis itu penguasa selalu menganggap dirinya benar atau pasti benar, kebenaran adalah miliknya, bahkan dia adalah jelmaan dari kebenaran dan keadilan. Mirip seperti ungkapan Raja Prancis Louis XIV untuk memberikan legitimasi terhadap monarki absolutisme yang dipimpinnya ia berkata: "L' etat C'est Moi" yang berarti Negara adalah Saya. 

Louis XIV adalah Raja Prancis yang berkuasa paling lama yakni 72 tahun sejak 14 Mei 1643 sampai 1 September 1715. Jika demikian, maka dengan semangatpembelaan diri, maka kelas pekerja tentu dapat saja mengajukan anti tesis bahwa penguasa cenderung sewenang-wenang, tidak bijaksana, kebijakannya sering menimbulkan pergesekan dan perpecahan antar pekerja, pencetus pertama tentang ketidakdisiplinan, menyukai gaya hidup hedonis, selalu ingin dipuja-puji, menolak fikiran dan menginginkan kepatuhan penuh, tidak menginsyafi dirinya banyak melakukan kesalahan, mementingkan diri sendiri, arogan dan tamak. Anti tesis ini masih dapat berlanjut penguasa dapat mengajukan anti tesis atas anti tesis kelas pekerja, demikian juga kelas pekerja dapat mengajukan anti tesis pula atas anti tesis penguasa, sehingga sulit untuk merumuskan sintesis yang relevan dan dapat diterima kedua belah pihak. 

Penguasa mungkin saja menganggap anti tesis yang diajukan kelas pekerja tersebut bohong, fitnah, mencemarkan nama baik, bentuk arogansi dan pembangkangan, tidak tau diri, tidak tau berterima kasih. Sebaliknya kelas pekerjapun dapat saja menuduh bahwa tuduhan penguasa tersebut tidak benar, ngawur, arogan, senang memperbudak pekerja, pencipta situasi keruh, anti fikiran dan gila puja puji atas status sosialnya itu. Status sosial penguasa birokrasi telah merubah paradigma dan cara pandangnya terhadap lingkungan sekitarnya. Kejatuhan moral merusak harmonisasi dan menghambat kemajuan. Status sosial pula yang menyebabkan penguasa alergi dengan fikiran-fikiran pembaharuan atau ide-ide yang visioner untuk kepentingan kolektif. 

Sikap yang ditonjolkan malah ke arah yang sebaliknya yaitu gemar mempertinggi ego, fokus pada meningkatkan popularitas, menuntut kesadaran mendalam kelas pekerja bahwa penguasa birokrasi memiliki kedudukan yang tinggi serta layaknya tuhan dapat menentukan kehidupan dan masa depan kelas pekerja, sebab itu kelas pekerja harus tunduk dan patuh sepenuhnya apapun kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Meskipun di tengah kelas pekerja itu terdapat para sarjana, dan diantara para sarjana itu ternyata memiliki kegelisahan intelektual dalam memandang realitas dalam dunia kelas pekerja sehingga memberanaikan diri mengajukan terobosan-terobosan pemikiran, namun semua itu tidak berguna bagi penguasa. Penguasa selalu memandang bahwa hal semacam itu dapat mengancam kewibawaannya sehingga harus diberangus dan jika perlu disingkirkan. Sebab mengacu kepada tesis yang dipegang penguasa yakni anggapan bahwa dirinya benar atau pasti benar, kebenaran adalah miliknya, bahkan dia adalah jelmaan dari kebenaran dan kebijaksanaan. 

Penguasa hanya mau mendengarkan suara dari mereka yang kedudukan atau status sosialnya lebih tinggi yaitu dari mereka yang berada di atas mereka. Jika yang bicara itu adalah seorang Profesor, Doktor atau pimpinan suatu lembaga tertentu serta yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat dalam pandangan mereka maka penguasa memandang disanalah letak kebenaran gagasan, disanalah letak moralitas, disitulah tempatnya fikiran-fikiran yang layak dipertimbangkan dan diikuti. Sedang apa yang diucapkan oleh mulut-mulut sarjana disekitar mereka, disebabkan status sosialnya rendah yakni kelas pekerja kelompok yang mereka kuasai maka apapun yang disampaikannya semuanya harus dianggap salah, merusak tatanan birokrasi. 

Sampai disini kita dapat merenungkan bahwa benar apa yang disampaikan Machiavelli, "Manusia dihargai bukan karena gelar, tapi manusialah yang menghargai gelar". Jika kita menilik dasar filsafat yang digunakan, maka kita akan menjumpai bahwa penguasa birokrasi cenderung menganut materialisme historis Karl Marx dan mengambil sebagian dari filsafat politik Niccolo Machiavelli. Materialisme historis Marx terlampau bersandar dan bergantung kepada materi, sementara filsafat Machiavelli khusus tentang konsep medis yang terkenal dengan metode amputasi terhadap pelanggaran atas ketertiban, pelaku kriminal dan situasi konflik diambil tetapi dengan pemahaman yang berlainan dan salah menurut pemikiran filsafat Machiavelli. Penguasa hanya mengambil sisi-sisi yang dapat mendompleng kekuasaannya dan yang dianggap dapat memberikan legitimasi atas kebijakannya dalam mengelola birokrasi.

Kekuasaan yang Harmonis

Orientasi kekuasaan seharusnya diarahkan pada kemaslahatan yang jujur, bukan kemaslahatan semu yang mengutamakan kepentingan diri sendiri dan golongan, yangpenuh tipu daya, pembodohan dan perbudakan terhadap kelas pekerja. Kemaslahatan yang jujur terjadi manakala tugas-tugas dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Disini moralitas mengambil peran yang dikonkretisasikan dalam bentuk keputusan atau kebijakan yang bijaksana. Keputusan yang bijaksana dapat mengundang dan mempercepat terbentuknya persatuan, kekompakan dan rasa persaudaraan yang tinggi. Penting untuk membentuk kekuasaan yang harmonis antar penguasa birokrasi dengan kelas pekerja sebab antara penguasa dengan kelas pekerja adalah satu kesatuan esensial untuk melaksanakan program dan mencapai tujuan-tujuan birokrasi. 

Untuk mewujudkan kekuasaan yang harmonis penguasa harus membuka diri terhadap masukan, saran dan krtikan. Selain itu penguasa harus membiarkan dan memberikan ruang untuk tumbuhnya fikiran-fikiran, bukan malah menutup diri dengan menentang dan memaki. Ruang untuk fikiran-fikiran perlu ada sebagai kontrol atas kebijakan agar tercipta keseimbangan. Bukan malah bertindak represif dengan jalan memberangus, menyebarkan ketakutan berlebihan bahwa fikiran dipandang sebagai penyakit menular, dan mereka yang berfikir dipandang layaknya wabah penyakit sehingga harus diwaspadai dan dijauhi. Kondisi sekarang ini menarik kita menuju sejarah ratusan tahun lalu di masa dark ege di Eropa khususnya Italia, dimana frustasi gereja yang menghendaki kemurnian ajaran kristus. Akibatnya gereja dalam perkembangannya menolak semua fikiran dan filsafat bahkan telah menjelma sebagai diktator yang memerintah atas nama tuhan.

Kekuasaan yang intelektual

Kekuasaan yang intelektual dijalankan oleh penguasa yang intelektual. Seorang penguasa dengan seabrek gelar, pengalaman dan prestasi belum cukup untuk dikatakan penguasa intelektual. Predikat penguasa intelektual baru dikatakan telah dimiliki ketika dalam menjalankan kekuasaan itu ia mampu membaca pilihan-pilihan dan memilih pilihan yang bijaksana. Ada beberapa pilihan yaitu menuntut kepatuhan penuh sehingga mematikan pikiran, menumpulkan nalar dan kreatifitas, menginginkanfanatisme buta atas kelas pekerja atau memberikan kesempatan dan menjamin ketersediaan ruang kontrol untuk pikiran-pikiran, termasuk di dalamnya saran, masukan, dan kritik yang konstruktif. Penguasa yang intelektual hanya akan mengambil pilihan yang kedua sebab hanya dengan pilihan itulah kekuasaannya akan memperoleh kewibawaan dimata kelas pekerja. Intelektualitas kekuasaan hanya mungkin terjadi setelah kejumudan dan kekolotan disingkirkan.

Kekuasaan, ketertiban dan keteraturan

Saya mau mengajukan pikiran yang radikal terkait sikap skeptis pada anarkisme. Penguasa/hukum janganlah memenjarakan rakyat dengan argumentasi ketertiban umum. Bahwa perilaku rakyat harus senantiasa bergerak sejalan dengan postulat-postulat logika kekuasaan yang melahirkan hukum atau hukum itu sendiri (legal positivism). Terserah kepada rakyat bagaimana ia bicara pada penguasa. Penguasa berasal dari rakyat, dan rakyat sebagai pemilik kekuasaan dalam negara. Penguasa harus tertib menghadapi rakyat, ia (rakyat) itu tempat bertanya dan mengambil rujukan dalam kekuasaannya itu. 

Bahwa konsepsi ketertiban umum telah kehilangan pijakan, penyimpangan-penyimpangan terhadapnya begitu terang. Hal tersebut tidak lagi sesuai dengan pembawaan kondisi alamiah yang melingkupi rakyat (manusia), bahwa tiap-tiap bagian daripada rakyat itu (manusia individual) memiliki kemerdekaan untuk berbuat sekehendak hatinya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ketertiban umum adalah bentukan dan formulasi dari kondisi alamiah rakyat itu sendiri, rakyatlah yang dapat mengubah dan merumuskannya kembali untuk ketertiban umum yang baru, yaitu sebuah pikiran tentang menertibkan kekuasaan. Demonstrasi sebagai hak alamiah harus menciptakan anarkisme. Dengannya keteraturan akan di dapatkan. 

Pergerakan massa aksi harus mampu menciptakan anarkisme untuk ketertiban yang sebenarnya, yaitu ketertiban pemerintah negara dalam bekerja untuk rakyatnya. Tempat terbaik mendidik penguasa adalah dijalanan, di tengah jalan. Dan cara yang paling baik mendidik penguasa yaitu dengan anarkisme. Anarkisme adalah jalan juang multi elemen dipelopori oleh massa pejuang hak dan harkat martabat kemanusiaan rakyat. Anarkisme harus ada dan dalam banyak kondisi menjadi jalan yang utama disamping jalan-jalan lain sebagai alternatif, yaitu sebuah konsepsi tanpa mengabaikan gerakan-gerakan intelektual menghadapi otoritarianisme. 

Anarkisme hanya diarahkan untuk tujuan-tujuan keadilan, penghapusan diskriminasi, serta tujuan kemanusiaan, mengembalikan dan meletakkan asas-asas kemanusiaan pada tempat yang tinggi melebihi tingginya penghormatan terhadap negara maupun diatas tempat yang lebih tinggi daripada kedaulatan. Inilah anarkisme "yang berjiwa persatuan". Anarkisme yang tidak berpijak pada "yang berjiwa persatuan" adalah anarkisme yang beku, ia adalah anarkisme yang bergerak tanpa standar capaian-capaian keteraturan. 

Anarkisme yang beku ini tidak boleh dilakukan dan harus ditentang sebab tidak membawa pada cita-cita ketertiban. Konsepsi "ketertiban lama" yang menghendaki ketertiban umum, telah membuat pengecualian, bahwa di luar struktur hukum dan tatanan praktis pembentuk hukum tidak terikat kepada ketertiban. Tetapi ia diberi fasilitas atau perlengkapan untuk meredam upaya pelanggaran ketertiban umum. Konsepsi ketertiban lama ini menampakkan arus otoriter bahwa setiap pendapat dan kritik hanya akan diterima kalau kooperatif dengan kehendak pemerintah, tetapi jika bertolak belakang dianggap telah terjadi kekacauan, maka perlu represifitas alat-alat pemerintah untuk mempertahankan ketertiban umum. 

Ketertiban lama kita koreksi dengan sebuah ketertiban baru, bahwa yang pertama sekali harus ditertibkan adalah penguasa atau pemerintah negara. Ketertiban haruslah ditujukan untuk pemerintah, agar penyakitnya sembuh dengan penawar atau obat-obatan racikan dari rakyat. Penawar tersebut tak lain adalah anarkisme. Semakin anarkis semakin baik dan ketertiban akan dibentuk ulang dengan redaksi regulatif-implementatif yang lebih matang dan kuat. Anarkisme sebagai metode pendidikan dan instrumen gerakan multi elemen sangat efektif untuk perbaikan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan oleh arogansi dan kesewenang-wenangan. 

Bahwa hanya dengan anarkisme ketertiban lama dapat hapus dan diganti dengan ketertiban baru. Disamping kita haruslah tetap ingat, kekuasaan rakyat adalah kondisi alamiah untuk terus bergerak menciptakan keseimbangan pergaulan dan keteraturan perilaku merupakan hukum alam yang dijupai dimana saja. Betapapun negara memiliki peralatan pelembagaan norma-norma positif tetaplah kita jangan lalai bahwa peraturan perundang-undangan negara bersumber dari asas-asas hukum alam, bahkan ia penerjemahan konkret lebih lanjut terhadap ketentuan abstrak alam. 

Rabu, 05 Juni 2024

Tragedi Palestina dan Tidak Berdayanya Negeri-negeri Muslim

Tragedi Palestina dan Tidak Berdayanya Negeri-negeri Muslim

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Negeri ini dahulunya menjadi satu diantara tempat yang dikunjungi oleh para sahabat nabi untuk berdagang. Negeri Syam (Suriah, Palestina, Yordania, Lebanon) menjadi tempat yang banyak diziarahi untuk tujuan perdagangan atau bisnis. Pasca Rasulullah wafat dan dimasa pemerintahan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab, negeri ini ditaklukkan oleh generasi sahabat yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian negeri ini lepas dari tangan umat Islam dikuasai oleh rezim Kristen. Setelah beberapa kali penaklukan yang belum berhasil dilakukan oleh Imaduddin Zanki dan anaknya Nuruddin Zanki, barulah Palestina berhasil ditaklukkan kembali dibawah kepemimpinan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. 

Kemudian negeri ini dijaga dan dilindungi dibawah naungan pemerintahaan kekuasaan Ottoman atau Turki Utsmani. Pasca lengsernya Sultan Abdul Hamid II ditandai dengan berakhirnya kekhilafahan atau kesultanan Islam pada 3 Maret 1924 sejak disekulerisasikan oleh Kemal Pasha hingga kini Palestina telah terlepas sepenuhnya dari pangkuan negeri-negeri muslim. Babak awal penderitaan muslim Palestina dimulai pada kurun waktu 1948, yang terus berlanjut pada tahun 1960 an hingga kini semakin merasakan penderitaan yang luar biasa akibat invasi dan penjajahan zionis Yahudi.

Sulitnya Menolong Palestina

Sudah puluhan bahkan ratusan ribu nyawa muslim tercabut dengan sangat tragis oleh invasi besar-besaran zionis Israel yang ingin mengambil alih tanah Palestina dari penduduk muslimnya dengan cara pembunuhan sadis genosida terus menerus. Mirip seperti pembantaian penduduk suku Indian notabene berkulit hitam yang menurut data sejarah merupakan penduduk asli Amerika yang kini telah musnah akibat invasi dan genosida. Hingga akhirnya negeri Paman Sam itu kini dihuni oleh mayoritas penduduk berkulit putih yang terus menerus mendiskreditkan warga yang berkulit gelap atau hitam padahal merekalah penduduk asli tanah saudara kandung zionis itu.

Kematian terus bertambah di Palestina, negeri kelahiran Imam Asy-Syafi'i ini memang sudah berada diambang kehancuran total dan pemusnahan yang nyaris sempurna. Sebab Rafah diinformasikan menjadi tempat berlindung terakhir muslim Palestina yang terus dihujani bom menjadi tempat singgah sementara menuju akhirat menghadap sang khalik. Tapi gaung kebangkitan Islam belum kunjung terlihat menguat dan nyata untuk menolong sisa-sisa nyawa muslim yang masih bertahan. 

Turki dibawah kepemimpinan Reccep Tayib Erdogan yang dikenal sangat Islamis sosok yang menunjukkan simpati dan empatinya, yang dipandang memiliki ghiroh dan ukhuwah islamiyah yang kuat hanya mampu mengutuk dan mencela Benyamin Netanyahu (Perdana Menteri Israel) dalam sidang-sidang di PBB, melontarkan intimidasi pada petinggi Israel itu disamping melakukan boikot atas produk yang berafiliasi dengan Israel serta mengupayakan distribusi makanan, tim medis dan obat-obatan ke Palestina. 

Sementara negeri mayoritas muslim terbesar di Asia Tenggara semisal Malaysia dan Indonesia tidak jauh berbeda, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsyudi juga hanya bisa mengutuk, mengecam dan menolak invasi Israel di Palestina, menolak dan tidak mengakui eksistensi Israel dalam kompetisi olahraga dunia, melakukan aksi boikot terhadap makanan dan minuman atau produk buatan Israel maupun yang berafiliasi dengan Israel. Keadaan semacam itu sepertinya merata terjadi di negeri-negeri mayoritas muslim. Sayangnya semua tindakan itu tidak banyak membantu menyelesaikan tragedi Palestina. Invasi dan penjajahan zionis tetap tidak berhenti, ada gencatan senjata untuk sementara waktu tetapi lalu berlanjut lagi hingga kini tanpa ujung. Hingga munculnya Iran secara berani dan mengambil sikap konkret menghujani Israel dengan roket dan rudal yang mencoba membalas invasi zionis.

Mengapa terasa begitu sulit untuk menolong Palestina? Pertanyaan ini tidak mudah ditemukan jawabannya bagi negeri-negeri muslim. Pertama, soal kualitas muslim yang tidak paralel dengan kuantitasnya terutama di negeri mayoritas muslim. Harus diakui Islam merupakan agama kedua yang paling banyak penganutnya di dunia setelah Kristen. Tetapi dengan jumlah yang luar biasa banyak tidak mencerminkan kualitas yang sepadan. Di negeri mayoritas muslim lebih dominan berislam sebatas status belaka. Ajaran, nilai, dan tuntunan syariat justru tidak terpahami dan banyak ditinggalkan oleh mayoritas muslim. 

Sebagiannya berislam karena keturunan, sebagian kecil sisanya belajar, menekuni dan mendalami Islam secara rutin. Kondisi ini yang membuat umat Islam banyak terpecah-pecah kedalam banyak faksi sehingga melemahkan ukhuwah islamiyah, mudah diprovokasi dan rentan berselisih. Persis seperti hadits yang menyatakan bahwa kelak di akhir zaman umat Islam akan diperebutkan seperti sepotang roti diatas meja makan. Salah seorang sahabat bertanya, apakah karena jumlah kami sedikit?, Nabi menjawab justru karena jumlah kalian banyak tapi seperti buih dilautan.

Kedua, sistem bernegara, konsepsi bernegara yang menyebabkan tertahannya kebangkitan umat Islam. Diantara sistem dan konsepsi bernegara yang mendalangi rapuhnya ukhuwah islamiyah yaitu misalnya konsepsi nation state atau negara bangsa yang mengkotak-kotakkan dan menceraiberaikan umat Islam kedalam batas-batas teritorial. Bahwa Indonesia sebagai sebuah negara dengan rakyatnya yakni bangsa Indonesia diakui memiliki kedaulatan dalam batas-batas teritorialnya belaka sehingga dibatasi untuk turut mengintervensi persoalan yang terjadi di negeri muslim lainnya. Dalam Islam persoalannya tidak sesederhana itu. Dalam Islam diajarkan bahwa sesama muslim bersaudara, seperti tubuh jika yang satu merasakan sakit maka bagian tubuh lainnya juga merasaka sakit. Inilah ukhuwah islamiyah yang berlaku universal dimana saja dan kapan saja tidak dapat dibatasi oleh batas-batas teritorial.

Kondisi seperti ini mirip seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam karya Mukaddimah nya yang populer bahwa fanatisme kesukuan lah yang pertama sekali menginisiasi retaknya dan pecahnya kepemimpinan politik dalam diri umat Islam pasca Nabi wafat. Padahal fanatisme kesukuan sangat dibenci Nabi sebab merupakan tradisi arab jahiliyah yang membangga-banggakan sukunya hanya menimbulkan perpecahan. Sementara Allah menciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tidak lain agar saling mengenal menguatkan ukhuwah islamiyah bukan untuk dipertengkarkan dengan membangga-banggakan satu suku dan merendahkan suku lainnya.

Ketiga, hubbuddun ya atau cinta dunia dan takut mati. Umat Islam saat ini mayoritas sudah terjangkiti oleh kecintaan pada dunia dalam semua bentuk dan aspek yang bermuara pada pemujaan kesenangan duniawi. Misalnya menyukai harta benda dan suka menumpuk-numpuk kekayaan, hanya sibuk dengan urusan lambung hingga urusan otaknya dan kalbunya tidak terurus, kering dari sentuhan syari'at yang mengajarkan wara' dan zuhud dalam menjalani dinamika kehidupan. Disebabkan kecintaan pada kesenangan duniawi ini banyak menjerumuskan umat Islam pada praktik perbuatan suap, korupsi, perampokan, pembunuhan, dan sederet perbuatan tercela lainnya. 

Kondisi ini membentuk mentalitas umat Islam menjadi kian merosot dsn rapuh serta akhlak yang semakin bobrok sehingga semakin menjauhkan umat Islam pada soal-soal akhirat, peribadatan, pengkajian keilmuan, dan terlena pada kesenangan duniawi lainnya. Inilah hal-hal yang melatarbelakangi betapa kompleknya persoalan di internal umat Islam yang sulit untuk diatasi. Kita berharap dan terus mengikhtiarkan untuk memunculkan generasi mujtahid dan mujahid untuk mengatasi dan menghentikan kebrutalan zionis. Wallahu'alam.

Keempat, jeratan hutang luar negeri dan eksploitasi kekayaan alam oleh hegemoni Barat menjadikan negeri-negeri muslim kehilangan kedaulatan politik dan ekonominya. Kondisi yang demikian menjadikan negeri-negeri muslim menjadi terpenjara karena dibuat berketergantungan pada bantuan Barat meskipun disaat yang sama harus merasakan pahitnya ditindas. Perekonomian nasional dihidupkan oleh kekuatan kantong-kantong kapitalis dengan beragam investasinya dengan semua itu pembangunan nasional dapat dilaksanakan. Dalam kondisi seperti itu bagaimana mungkin negeri-negeri muslim dapat bersikap tegas untuk Palestina. Justru mereka hanya disibukkan mengurusi persoalan-persoalan dalam negeri yang tidak pernah selesai, aparatur pemerintah dan lembaga pemerintah bermasalah tiap saat hanya mampu menindas rakyatnya sendiri menjadikan gaduh yang berkepanjangan**.

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD

Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD Oleh: Syahdi (Pemerhati Hukum Tata Negara) Akhir-akhir ini ramai isu pemilihan kepala daerah dipilih oleh ...