Kamis, 29 Februari 2024

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum Tata Negara)

Beberapa hari pasca pemungutan suara pemilu penggunaan hak angket oleh DPR yang ditujukan pada penyelenggara pemilu bahkan diduga mengarah pada Presiden ramai dibicarakan banyak orang. Hal ini diantaranya disebabkan ketidakpercayaan terhadap hasil perolehan suara pemilu yang saat ini dalam tahapan rekapitulasi yang diduga banyak kecurangan. Koalisi partai politik peserta pemilu Paslon Presiden dan Wakil Presiden Ganjar-Mahfud dan Anis-Muhaimin mendorong agar DPR menggunakan hak angket untuk mengusut dugaan praktik kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. 

Secara konstitusional hak angket diatur dalam Pasal 20A UUD NRI Tahun 1945 bahwa "DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat". Penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau lazim dikenal dengan UU MD3 menyebutkan bahwa "Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan".

Penggunaan hak angket oleh DPR dapat berlanjut pada hak menyatakan pendapat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 79 ayat (4) huruf b UU No. 17 Tahun 2014 bahwa "hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket". Ujung dari penggunaan hak angket adalah hak menyatakan pendapat yang tidak lain merupakan rekomendasi DPR kepada Mahkamah Konstitusi berupa pengajuan permintaan agar Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR.

Jika pada hak interpelasi DPR dapat disebut menjalankan fungsi penyelidikan, maka pada hak angket DPR dapat disebut menjalankan fungsi penyidikan (meskipun UU menyebut penyelidikan). Sementara itu hak menyatakan pendapat akan menjadi rekomendasi untuk mengadili pihak yang menjadi sasaran angket DPR ke peradilan konstitusi atau Mahkamah Konstitusi.

Hanya saja jika hak angket mengenai Presiden dan/atau Wakil Presiden dan berlanjut hak menyatakan pendapat kemudian meminta agar keabsahan atau legitimasi Presiden dan/atau Wakil Presiden diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, maka jelas hal itu bukan ranahnya MK. Sebab MK tidak memiliki kompetensi absolut memeriksa, mengadili dan memutus dugaan pelanggaran pemilu oleh Presiden. Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 sudah mengunci kewenangan MK. Terkait dengan pemilu, MK hanya berwenang memeriksa dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. 

Lagi pula substansi hak angket adalah untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah. Dalam konteks pemilu, yang melaksanakan undang-undang adalah KPU, Bawaslu dan DKPP, bukan Presiden. Dalam Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang hak angket disebutkan sasaran hak angket adalah pada kebijakan Pemerintah, frasa Pemerintah ditulis dengan huruf "P" kapital yang dimaksudkan adalah pemerintah dalam artian sempit yakni Presiden, bukan pejabat ataupun penyelenggara negara yang lain. 

Lain halnya jika frasa pemerintah ditulis dengan huruf "p" kecil maka menandakan pemerintah dalam artian yang luas yang memungkinkan DPR dapat melakukan angket semua pejabat atau penyelenggara negara. Oleh sebab itulah tidak tepat DPR melakukan angket terhadap penyelenggara pemilu seperti KPU.

Dengan demikian tidak tepat DPR menggunakan hak angket terkait dengan pelaksanaan undang-undang dan atau/kebijakan Pemerintah oleh Presiden ataupun melakukan angket pada penyelenggara pemilu dalam dugaan pelanggaran pemilu. Soal DPR berhak ya secara konstitusional DPR memang berhak melakukan angket. Tapi tidak tepat DPR menggunakan angket untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dalam praktik dugaan pelanggaran pemilu.

Jika memang terdapat dugaan pelanggaran pemilu maka UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menentukan dapat ditempuh melalui prosedur peradilan etik yaitu diselesaikan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) jika KPU dan/atau Bawaslu diduga melakukan pelanggaran etik. Namun jika terdapat dugaan pelanggaran administrasi oleh KPU terkait dengan penghitungan dan rekapitulasi oleh KPU maka dapat diselesaikan oleh Bawaslu. Tetapi jika yang terjadi adalah dugaan pidana pemilu maka penyelesaiannya ada pada Bawaslu dan Sentra Gakkumdu. Sebab itulah saya menilai hak angket DPR tidak tepat ditujukan pada Presiden terlebih lagi pada penyelenggara pemilu dalam konteks dugaan pelanggaran pemilu.*

Kamis, 01 Februari 2024

Para Pemuja Eksistensi

Para Pemuja Eksistensi

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Sungguh sangat menggelikan dan betapa mengerikannya realitas yang kita lihat hari ini, hampir disetiap sudut akan selalu dijumpai orang-orang yang hanya berbakat menata tutur kata sebagus mungkin, membagus-baguskan perangai di depan orang banyak. Kita sedang berhadap-hadapan dengan kondisi betapa orang-orang acuh pada substansi, sibuk membangun eksistensi, membangun simbol, sementara nyaris tanpa ada kerisauan terhadap kondisi masyarakatnya dan nol kadar intelektualitas, bersungguh-sungguh untuk urusan yang main-main sebaliknya bermain-main pada urusan yang harusnya diseriusi. Dimana saja kita jumpai apa yang diucapkan tidak sejalan dengan apa yang diperbuat. Sementara ada rasa bangga bisa menipu orang, menindas dan memperbudak menjadi pakaian kebesaran yang diagung-agungkan. Mereka yang seperti ini isi kepalanya cuma uang, hidup bersenang-senang dan bengis pada orang yang dipandang tidak sejalan dengan kerakusannya. Pembusukan menjadi senjata untuk melumpuhkan orang yang tidak mau bergabung dalam barisannya dan dibawah komandonya. Dengan pembusukan itu dirusaklah sedemikian rupa nama baik dan karakter orang yang berseberangan. 

Manakala orang telah berkumpul ramai, yang dicari bukan persaudaraan melainkan panggung. Diatas panggung itu segala macam pertunjukan kebodohan disajikan. Ini ciri khas pemuja eksistensi yang paling dominan. Betapapun juga kita tidak pula hendak menafikan bahwa yang paling sulit dalam hidup ini adalah menyesuaikan antara ucapan dengan perbuatan. Tetapi ada yang lebih rumit dari itu ialah nalar yang sungguh-sungguh telah runtuh dan ringsek menjadi rongsokan akibat terlampau memuja materi dan gila penghormatan. Tanda bahwa nalar itu ringsek dapat kita lihat betapa ramainya orang yang menyeru pada kebaikan, himbauan-himbauan menjaga hati, menjaga persatuan, dan lain sebagainya. Bak api dalam sekam, ada niat buruk dan kejahatan yang sedang bersekongkol mencoba menenangkan dan mendamaikan keadaan agar kebusukan-kebusukan tersamarkan. Merasa nyaman dengan keadaan yang bobrok adalah penyakit yang tidak ada obatnya. 

Demikian peliknya keadaan kita hari ini lebih kurang seperti yang dikatakan Moh. Hatta, "kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman,  namun tidak jujur itu sulit diperbaiki". Sementara itu bobroknya keadaan memang dirancang dan dibentuk sedemikian rupa maka kita akan melihat pada tampilan luarnya dibungkus dengan retorika yang mengakar pada keserakahan, kecurangan, keangkuhan dan kebodohan. Betapapun juga yang namanya bangkai tetap akan tercium juga dimanapun ia disimpan sebab baunya yang menyengat. Sungguh keanehan yang tidak dapat dirasionalkan manakala orang-orang hobi mengucapkan kata-kata yang mereka sendiri tidak peduli, kata-kata yang mereka tidak paham dan tidak pula mau berpijak di dalamnya. Apa yang disebut dengan "Integritas", "Persatuan","Berkualitas", "Jujur", "Adil", "Amanah", tak dapat dipahami sama sekali. 

Lain dimulut lain di hati lain pula di perbuatan. Hanya saja banyak orang tanpa berpikir hobi mengobral kata-kata itu secara absurd. Tidak ada rasa malu melakukan kecurangan, merasa paling benar, merasa tinggi dan sangat bijak, rakus, arogan menjadi tabi'at. Kalau sudah tabi'at sangat sulit untuk dihilangkan sebab ia sudah mendarah daging. Dimana saja manusia seperti itu hanya akan merusak, menghalangi tumbuhnya pikiran yang sehat, menggembosi, memecah-belah dengan pembusukan-pembusukan. Dia hanya menginginkan puja-puji dan semua orang meyetujui kepongahannya tanpa syarat. Kita tidak habis pikir hingga terkadang muncul dipikiran mengapa ada manusia seperti itu. Ujung dari itu semua hanya akan menggiring kita pada sebuah hipotesis yang tidak pernah tuntas yaitu adanya manusia seperti itu untuk menguji atau musibah yang ditimpakan tuhan kepada masyarakat jika manusia-manusia itu memegang urusan orang banyak. Sebetulnya naiknya orang-orang yang dari sisi kualitas nol, dan dari sisi kelayakan sangat rendah merupakan cerminan dari masyarakat. 

Ditengah masyarakat yang tidak tersentuh literasi, tidak pula tersadarkan dengan nasehat, tidak pula terbangunkan dengan argumentasi moral hanya akan mencetak para pemangku kepentingan yang buruk. Bak pepatah "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Siapa yang menyemai akan menuai hasilnya. Jika tabi'at buruk yang dipelihara dan diwariskan maka kehancuranlah yang akan dituai. Mereka yang masih sehat akal pikirannya, memiliki kerisauan yang bersar tentang kondisi masyarakatnya tidak banyak yang dapat dilakukan melainkan hanya upaya penyadaran yang terus menerus. Tugas inipun tidak mudah. Selain kader-kader intelektual yang peduli soal ini jumlahnya sedikit juga betapa masifnya pembodohan dan pengrusakan yang disebarkan hampir disetiap aspek kehidupan. Mereka yang kerjanya merusak mendominasi dan aktif melakukan pengkaderan yang akan meneruskan tabi'at dan jalan hidup yang menyimpang. 

Di masyarakat kita minim kader-kader intelektual, yang punya kerisauan melakukan perbaikan. Bahkan fungsi pengkaderan itu sendiri tidak banyak dijalankan sehingga idealisme hanya mampu bertahan di jaket almamater mahasiswa saja. Kisah seorang mantan petinggi di salah satu universitas misalnya perlu menjadi pelajaran, manakala ia merasa kesal dengan buruknya pengelolaan perguruan tinggi dan proses pengambilan kebijakan yang juga buruk oleh para penggantinya. Mendengar itu, seorang guru idealisme pun berujar, "Itu kesalahan bapak. Ketika menjabat bapak tidak melakukan pengkaderan orang-orang yang akan meneruskan pikiran, kerisauan dan kepedulian bapak tentang masa depan lembaga ini. Sekarang inilah hasilnya, terima saja". Inilah alam tempat kita hidup dan bernafas yang semerbak dengan dominasi manusia-manusia hipokrit. Kita berlindung kepada Allah-Tuhan Semesta Alam dan berharap dijaga dalam anugerah-Nya yang besar terpelihara dari tabi'at hipokrit yang hanya memikirkan perut belaka. 

Sebab dihadapan para hipokrit sejuta nasehat hanya akan dipahami sebagai kesombongan dan pembangkangan, setinggi apapun argumen moral hanya akan dilabeli sebagai seorang yang belagak bijak, berlagak cerdas. Pada intinya manusia yang demikian itu cerminan yang sempurna sebagai gerombolan anti pikiran sehingga kecil sekali kemungkinan untuk tersadarkan kecuali berkat campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Sebagai kader intelektual yang di dalam dadanya menyimpan kerisauan melihat kondisi masyarakatnya meski betapapun kecilnya, tak peduli meski sebutir pasir sekalipun, perlu untuk kita renungkan apa yang pernah terucap dari lisan seorang yang mulia, "kezhaliman akan tetap ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat. Melainkan karena diamnya orang-orang baik". Demikian sayyidina Ali bin Abi Thalib mengingatkan kita.

Ketika Nalar Ringsek

Ketika Nalar Ringsek

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Barangkali sudah menjadi sunnatullah terlebih hidup di zaman akhir ini, beberapa orang sepertinya diciptakan Allah hanya untuk menjadi ujian bagi orang lain dengan semua tingkah pongah, kelobaan dan kebebalannya. Ia sanggup berdakwah berpanjang lebar menasehati orang lain. Segala hadits dia baca lengkap dengan syarahnya seakan seorang 'alim berilmu luas. Sementara antara perkataan dan perilakunya terpaut jauh hingga sejauh sidratul muntaha bahkan menyamai jarak ke baitul makmur. Manusia jenis inilah yang harus di dakwahi bukan malah mendakwahi.  Sementara itu janganlah kita lupa teguran Allah dalam Al-Qur'an: "wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Sungguh sangat besar kebencian di sisi allah kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan" (Q.S. Ash-Shaf: 2-3). Ini bukan hanya sekedar peringatan, tetapi terkandung di dalamnya ajaran tentang konsistensi atau keistiqomahan atau dapat pula dimaknai dalam bahasa pseudo-politis saat ini sebagai ajaran tentang integritas atau moralitas. 

Islam sesungguhnya telah meletakkan dasar-dasar integritas atau moralitas agar manusia dalam hidupnya hendaknya sejalan perkataan dengan perbuatan, berperilaku baik yang berupaya mengimplementasikan syari'at sebagai konsekuensi keberimanan. Bahwa menjadi muslim tidak cukup hanya dengan mengikrarkan syahadat di lisan. Melainkan syahadat itu haruslah diterjemahkan kedalam perbuatan konkret. Terlebih dalam setiap sholat seorang muslim selalu membaca dalam sholatnya: innassholati, wanusuki, wamahyaya, wamamati lillahirabbil'alamin. Yang bila diterjemahkan ialah: sesungguhnya sholatku, dan ibadahku, dan hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Satu sisi ini adalah ajaran tentang penghambaan diri secara total kepada sang khalik bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah beribadah dan mengabdi kepada Allah. 

Di sisi lain sesungguhnya ini tidak lain adalah apa yang masyhur disebut manusia hari ini sebagai pakta integritas. Hanya sedikit sekali muslim yang mampu menginsyafinya. Menghadapi orang-orang yang disebutkan di awal yang mungkin saja keberadaannya di muka bumi ini hanya menjadi ujian belaka bagi orang lain sungguh sangat merepotkan dan menghabiskan banyak energi. Betapa tidak, bawaannya saja selalu sinis melihat orang lain penuh kebencian dengan sebab yang tidak dapat diidentifikasi secara rasional dan objektif, setiap pendapat dianggapnya adalah ancaman. Ini sudah berada pada fase bodoh diatas bodoh yang tidak termakan nasehat. Kendati demikian jika dibiarkan malah semakin bertambah-tambah arogansinya. Ia merasa diri sudah sangat besar, sudah sangat tinggi, merasa sangat berkuasa dan berwibawa. Hal itu tercermin dalam kesehariannya. Semua itu memang hanyalah klaim-klaim saja. Masih saja ia menyangka orang-orang menghormatinya. 

Hanya orang yang lemah analisanyalah yang menjadi pendukung setia. Kalbunya buta bahwa lingkungannya menyumpah-serapahinya sementara ia tiada mengetahuinya. Jika seseorang tempurung kepalanya hanya uang dan kuasa saja maka jadilah dia seorang dungu yang menindas, kerjanya hanya membuat kerusakan demi kerusakan. Bahkan setiap huruf yang keluar dari mulutnya hampir pasti semuanya adalah kebohongan. Memang manusia jenis ini kualitasnya dibangun dengan kemampuan piawai berbohong. Lalu tertipulah orang yang lemah analisanya memandang si dungu itu sebagai seorang yang sangat berwibawa, seorang yang ma'rifat dengan simpati sosial yang tak bertepi. Memberi mahkota pada monyet adalah kesia-siaan. Dan memberi mahkota pada maling adalah sangat berbahaya. Hilangnya kemampuan mempertimbangkan, mengerti baik-buruk, benar-salah (nalar) pada seseorang atau sekelompok orang yang dipercayakan mengurusi kemaslahatan orang banyak memang menjadi tragedi besar mengingat daya rusaknya yang tidak terkira. 

Jika setiap nasehat dan pendapat dianggap sebagai ancaman maka tidak ada kata yang tepat untuk dihidangkan kecuali "perlawanan". Menukil apa yang diucapkan Wiji Tukul yang dihilangkan oleh kekuasaan otoriter: "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: "lawan".  Demikianlah sejatinya kekuasaan yang otoriter harus ditertibkan. Penertiban yang paling efektif untuk itu adalah dengan menghambat, menghalangi para dungu otoriter memimpin di masa yang akan datang. Mereka yang isi kepalanya cuma uang dan uang tidak pantas diberi kuasa memimpin orang banyak. Selama berkuasa hembusan nafasnya seperti orang yang kerasukan berteriak agar pabrik percetakan uang berpindah ke kantongnya. Demikianlah orang yang orientasi hidupnya hanya uang saja. Jika kegilaan pada materi menguasai diri yang terjadi adalah perlombaan dalam kelobaan (kerakusan) penguasaan materi, perampokan untuk hidup berkelimpahan materi dengan segala cara.

Dengan kondisi nalar yang ringsek itu, adab dan akhlakpun turut tercabut dan hilang. Ini tak ubahnya pemandangan kengerian yang tak terperikan. Ini musibah besar yang melanda masyarakat kita dengan segala carut marutnya. Maka cukuplah bagi kita sebagai pengingat untuk direnungkan bahwa apa yang dikatakan seorang sahabat Rasulullah yakni Amar bin Ash sungguh benar adanya, "matinya seribu orang yang beradab lebih kecil mudharatnya ketimbang tenarnya seorang yang dungu". Masalahnya kini si dungu dengan mentalitas maling di banyak tempat diberikan panggung dengan mahkota di kepalanya. Tidak sadarkah kita betapa berbahayanya membiarkan si bodoh yang diberi kuasa bahwa ia hanya menjadi maling, menindas dan membuat kerusakan.

Relasi Materi Dengan Keruntuhan Nalar

Relasi Materi Dengan Keruntuhan Nalar

Oleh: Syahdi 

(Cendekiawan Muslim)

"Menjegal kawan seiiring-menggunting dalam lipatan", demikian bias yang menguap ke atas langit yang menghitam akibat tangan-tangan kotor si bodoh-tamak anti pikiran yang terlahir dari buruknya sistem birokrasi. Kelahiran budak-budak materi yang berpikir serba uang, isi kepalanya cuma uang, bahkan lapisan tempurung kepalanya bahan dasarnya juga terbuat dari uang dimanapun hanya membuat kerusakan demi kerusakan. Keberadaan mereka seakan sudah menjadi takdir sejarah yang merepotkan tetapi mau tidak mau harus dihadapi dan dirobohkan dengan sekuat-kuatnya. Materi dengan segala ritual yang dipersembahkan kepadanya telah menunjukkan daya dobraknya yang besar mengobrak-abrik nilai-nilai luhur yang semula melingkupi masyarakat kita. Begitu memesonanya materi menjadikan para pemujanya jatuh dalam jurang kebodohan yang tidak terkira dalamnya. Orang-orang mendengar derap tapak kaki dan hentakan tongkat menduga-duga seseorang sedang berjalan perlahan menuju mimbar bersiap untuk suatu tujuan atas nama kemaslahatan umum. 

Telah tampak dihadapan kita seseorang dengan jubah kewibawaannya yang terjuntai sepanjang jalan menuju surga tengah bersiap untuk suatu pengumuman penting, dengan segala atribut kebesaran yang dipasangkan di badannya ia mengangkat telunjuknya dan bersyair merdu sekali menyampaikan pesan kehidupan yang cerah dari negeri-negeri kenabian di atas sebuah dataran tinggi di surga firdaus. Katanya, "Wahai sekalian manusia, dengarkanlah aku, menghadaplah dalam khusyuknya suka-cita kepadaku, jangan rakus, jagalah hati, janganlah buruk sangka dan berbusuk hati, bersyukurlah atas betapa baiknya aku, jaga kekompakan dan persaudaraan di tengah umat manusia, jawablah salamku penuh penghormatan, dan kepadakulah kamu sekalian bersimpuh. Akulah keadilan yang kalian cari, akulah persatuan yang kalian risaukan, padakulah segala kewibawaan dan pengharapan hidup yang tentram".

Rekaman syair yang berakar dari dasar hati yang terdalam sungguh terasa menggetarkan sekujur badan, kita terkesima larut dalam ketakjuban yang tak terkatakan keindahannya. Demikianlah budak-budak materi itu mampu menyihir kepala-kepala yang tidak tersentuh dialektika. Para budak itu dengan kerakusannya, kebodohannya, keangkuhannya telah lama terdidik dibawah asuhan materi. Memang harus diakui banyak orang nyaman dengan bobroknya keadaan dan mereka menikmati keadaan itu dengan hati yang gembira. Banyak orang sangat bangga dan ambisius menjadi rakus, bodoh dan angkuh. Mereka menyangka mampu mengontrol semua orang dengan tabiat iblisnya. Mereka menginginkan semua orang tunduk dan bersimpuh dengan penuh pengharapan, berbaris dibawah kebodohan dan kerakusannya.

Buruknya sistem rekrutmen pejabat di birokrasi telah mendatangkan masalah besar yang bertubi-tubi dengan gelombang yang tak terbendung. Model rekrutmen dengan mekanisme seleksi, di disain sedemikian rupa sehingga orang-orang yang layak tidak diperhitungkan. Orang-orang yang loyal sekalipun bodoh dan nol penguasaan keilmuan menjadi pilihan prioritas untuk diketengahkan. Sistem yang buruk dengan orang-orang yang buruk melahirkan para pejabat dengan mentalitas maling dan menindas menjadi penghuni mayoritas di lembaga plat merah di republik ini. Dalam keadaan yang demikian itu, para kacung yang dipakaikan kepadanya otoritas memimpin dan mengelola sumber daya dari hari ke hari hanya melakukan kerusakan demi kerusakan, meng-akal-akali anggaran, merekayasa birokrasi sehingga menggelantung di bawah ketiaknya. Ia merasa risau jika tidak ada pemasukan dan merasa terhinakan hidupnya sebelum mesin percetakan uang Bank Indonesia pindah ke kamar tidurnya mencetak uang yang tidak ada habis-habisnya seperti air laut yang tidak pernah mengering atau seperti air terjun yang selalu riuh berjatuhan setiap saat mengenai mukanya yang memancarkan cahaya keserakahan yang berkilauan. 

Materi dengan keindahannya membius orang-orang lemah lagi rapuh mental dan jiwanya sehingga dengan kerelaan menghibahkan hidupnya menjadi budak. Setelah menjadi budak, materi meng-kayakan para kacungnya, menjadikan para kacung hidup berkelimpahan  atas kepemilikan berbagai harta benda. Kacung itu kemudian menghabiskan tenaganya dengan pertengkaran dan perlombaan memperkaya diri. Bersemangat melakukan pembusukan untuk merusak kebaikan-kebaikan pada diri orang lain. Tidak peduli benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas apa saja akan dilakukan demi membesarkan perutnya. Seseorang jika sudah sampai di tingkat separah itu tidak lagi menghiraukan nasehat, tidak sudi menerima pikiran-pikiran yang sehat. Setiap pikiran dianggap sebagai ancaman dan pembangkangan bagi kewibawaannya, setiap nasehat dipandang sebagai penghinaan. Semua orang dipandang buruk sok bijak, sok cerdas, sok ini-itu. 

Satu-satunya yang ia percayai hanya keserakahan dan kebodohannya yang diyakini membimbingnya kepada hidup yang tenang, nyaman, dan tenteram dalam keberlimpahan materi. Sementara ia senantiasa merasa benar, merasa besar, merasa sedemikian tinggi. Hingga hampir-hampir saja ia berkata sebagaimana Iblis berkata kepada Sang Pencipta mengumpat Adam, "Ana khoirumminhu", atau seperti Fir'aun berkata kepada Musa, "Ana Rabbukumul'ala". Pada diri yang diperbudak materi kemampuan berpikir logis, dan lurus, kemampuan menganalisa dan mempertimbangkan baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas tidak mendapat tempat untuk tumbuh sama sekali. Akumulasi dari kondisi tersebut mengakibatkan hilangnya rasa malu sehingga kacung-kacung itu kemana saja mereka melangkah tidak didapati rasa malu dalam dirinya. Inilah risalah kejatuhan nalar yang membuat nalar menjadi rusak dan ringsek parah. Sementara kacung-kacung itu semakin bertambah idiot setiap harinya. 

Dalam kondisi nalar yang bangkrut itu tidak ada bedanya kacung-kacung itu dengan hewan yang hidupnya hanya memikirkan perut belaka. Lagi-lagi untuk kesekian kalinya benarlah apa yang dikatakan oleh Buya Hamka, "Kalau hidup hanya sekedar hidup babi di hutan juga hidup, kalau bekerja sekedar bekerja kera juga bekerja". Buya Hamka benar, kata-katanya benar sejak diucapkannya pertama sekali sampai hari ini. Dalam nalar yang bangkrut itu kebaikan, ketulusan hati, kebersihan hati kehilangan tempat terbit sehingga tidak dapat mengorbit sama sekali. Inilah tragedi yang merundungi kondisi masyarakat kita, merusak dan meracuni birokrasi yang dibiayai dari peluh keringat rakyat sepanjang waktu seuumur hidupnya tanpa mereka tau kemana dan untuk apa uang mereka digunakan. Melainkan yang nyata terpampang dihadapan kita hanyalah gambaran tentang eksploitasi, penindasan dan perbudakan yang disemarakkan oleh orang-orang yang diamanahkan mengurusi kepentingan orang banyak.

Selasa, 27 Desember 2022

Kembali ke UUD 1945 yang Asli Tidak Menyelesaikan Persoalan

 


Kembali ke UUD 1945 yang Asli Tidak Menyelesaikan Persoalan

Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H

(Pemerhati Hukum dan Konstitusi)

Beberapa pekan belakangan ini ide untuk kembali ke UUD 1945 yang asli atau UUD 1945 sebelum amandemen yang disahkan pada 18 Agustus 1945 kembali menguat. Sebenarnya penggunaan nomenklatur UUD 1945 "yang asli" tidak tepat. Sebab kata "yang asli" dapat dilawankan dengan "yang palsu". UUD 1945 yang sebenarnya dimaksudkan adalah UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 atau UUD 1945 pra amandemen (sebelum perubahan). Adapun alasan kembali ke UUD 1945 pra mandemen ini secara umum karena ketidakpuasan atau kekecewaan dengan sistem politik yang meliberalisasikan norma konstitusi, paradigma atau konsekuensi konstitusional yang buruk yang terdapat dalam UUD 1945. Ketidakpuasan tersebut bisa saja karena perilaku partai koalisi rezim yang berkuasa yang dipandang otoriter maupun kelemahan dalam UUD 1945 yang membuka celah penyelewengan yang mendasar. 

Dilema Kesejahteraan Rakyat dan Kekecewaan Oposisi

Jika ditelusuri munculnya pikiran ini paling tidak dilatabelakangi oleh beberapa hal diantaranya pemilihan umum yang dipilih secara langsung oleh rakyat telah menciptakan otoriterianisme partai koalisi rezim yang berkuasa, munculnya presidenthial threshold yang di design menguntungkan rezim yang berkuasa yang memungkinkannya berkolaborasi dengan kapitalis yakni pengusaha kaya yang mem-back up perekonomian nasional yang turut pula terlibat dalam percaturan penentuan pemegang jabatan strategis dalam perpolitikan nasional dengan jalan memanfaatkan wajah pemilihan umum yang berbiaya tinggi. Selain itu desakan untuk kembali pada UUD 1945 pra amandemen dipandang menghilangkan fungsi monitoring rakyat melalui representasi Dewan Perwakilan Rakyat sebab pemerintahan yang dibentuk hasil pemilihan umum berasal dari kekuatan politik yang sama di Dewan Perwakilan Rakyat. Tentang pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri negara misalnya, sekalipun Presiden dikatakan memiliki hak prerogatif hal itu sebagaimana tercermin dalam Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, "Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden". 

Namun hak prerogatif tersebut hanya secara yuridis atau konstitusional belaka. Tidak benar-benar dimiliki Presiden. Nyatanya Presiden tidak dapat serta merta mengangkat seseorang menjadi menteri, demikian pula Presiden tidak dapat secara sepihak memberhentikan menteri. Peran ketua umum partai politik koalisi yang mengusung Presiden dan Wakil Presiden pada pemilihan umumlah yang menentukan siapa yang akan diangkat maupun diberhentikan sebagai menteri. Dengan demikian fungsi Presiden dalam hal ini hanya sekedar menandatangani rekomendasi (orang-orang titipan) ketua umum partai politik koalisi. Demikian pula orang-orang yang mengisi jabatan di lembaga atau badan negara lainnya baik lembaga struktural maupun nonstruktural juga berasal dari rekomendasi koalisi partai politik yang sejalan dengan visi misi koalisi partai politik rezim yang berkuasa. Jadi yang sebenarnya terjadi adalah hak prerogatif yang secara konstitusional ada pada Presiden sesungguhnya dalam praktik telah bergeser menjadi hak prerogatif ketua umum partai koalisi. 

Terlebih dari sisi politik sebenarnya hak prerogatif itu sedari awal memang bukan dimiliki Presiden melainkan ada pada ketua umum partai koalisi dan tidak pernah bergeser ke Presiden walau sedetikpun. Ini yang dari perspektif hukum tata negara konstitusi (UUD 1945) bernilai nominal. Artinya ketentuan konstitusi tersebut masih berlaku tetapi sebagiannya hanya tinggal teks diatas kertas belaka. Sebab ia tidak diberlakukan dalam kenyataan praktik bernegara. Selain itu munculnya pikiran untuk kembali pada UUD 1945 yang asli juga disebabkan oleh UUD pasca amandemen membuka selebar-lebarnya dominasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". Kemudian pada ayat (3) dikatakan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". 

Ketentuan pasal tersebut bersifat multitafsir dan tafsir subjektif kekuasaan lah pada akhirnya menjadi tafsir resmi yang dipakai dalam praktik sebab dapat memberikan keuntungan bagi elit politik di partai koalisi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. Meskipun diakui terdapat Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution (malaikat penjaga konstitusi) ataupun sebagai the sole of constitution (penafsir tunggal atas konstitusi) yang tafsir konstitusional putusannya mengikat final and binding secara hukum. Tetapi janganlah kita lupa bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak ada eksekutornya sehingga tidak ada jamininan akan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah. Pentaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi diserahkan sepenuhnya pada kesadaran hukum pemerintah dan hanya memiliki sanksi moril jika tidak dilaksanakan. Adapun faktor lainnya yang melatarbelakangi pikiran kembali ke UUD 1945 pra amandemen yaitu pengaturan tentang warganegara dan penduduk yang dipandang memungkinkan bagi berkuasanya "non pribumi" Indonesia jika menggunakan terminologi zaman kolonial. 

Hal itu termaktub dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, "Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara". Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama dikatakan, "Penduduk ialah warganegara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia". Ketentuan tersebut membuka peluang berkuasanya orang asing di Indonesia. Hal itu dimungkinkan dengan jalan naturalisasi kewarganegaraan menjadi warganegara Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, ketentuan tersebut juga membuka ruang eksodusnya secara besar-besaran orang-orang asing ke Indonesia yang dalam jangka panjang dapat menguasai dan mengendalikan banyak aspek dalam negeri, terutama pada sisi ekonomi dan politik yang dapat merugikan. Dibawah UUD 1945 pasca amandemen keadaan perekonomian, stabilisasi politik dan kesejahteraan rakyat dirasaakan tidak semakin membaik. Itulah beberapa faktor yang paling mendasar munculnya pikiran yang menginisiasi kembali ke UUD 1945 pra amandemen. Tentu persoalan ini akan lebih mencair jika disampaikan oleh mereka yang menginginkan kembali ke UUD 1945 pra amandemen. 

Tabrakan Konstitusional yang Besar

Betapapun ada sisi positifnya jika kembali ke UUD 1945 dengan menganalisa semua kelemahan dalam UUD 1945 pasca amandemen, tetapi pilihan kembali ke UUD 1945 pra amandemen tidak berarti menyelesaikan persoalan. Justru jika pilihan itu diambil akan menimbulkan persoalan yang lain lagi dari sisi ketatanegaraan. Pertama, sistem politik maupun sistem ketatanegaraan telah dilaksanakan dan berjalan sedemikian rupa di bawah UUD 1945 sehingga kembali ke UUD 1945 pra amandemen akan menimbulkan tabrakan yang luar biasa besar. Misalnya tentang konsep Trias Politica yang dipahami sebagai pemisahan (separation of powers) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Menurut UUD 1945 pasca amandemen tidak dikenal lagi lembaga tertinggi negara yang dahulu dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dibawah UUD 1945 pasca amandemen semua lembaga negara yang mencerminkan fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif berada dalam kedudukan yang setara dengan prinsip check and balances satu sama lain. 

Kedua, UUD 1945 pra amandemen tidak mengenal adanya lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah yang diinstitualisasikan secara khusus. Ketiga, persoalan seperti pengangkatan dan pemberhentian menteri serta kewarganegaraan pengaturannya dalam UUD 1945 pra amandemen tidak berbeda jauh yang secara substansial sama saja. Keempat, ketentuan tentang masa jabatan Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 7 UUD 1945 pra amandemen bahwa "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali". Ketentuan ini sangat mudah diselewengkan dengan tafsiran sepihak Presiden sehingga Presiden dapat berkuasa dalam waktu yang relatif lama. Keadaan yang demikian itu akan mengukuhkan adagium Lord Acton "Power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely", yang artinya kekuasaan cenderung disalahgunakan semakin absolut (tak terbatas) kekuasaan itu semakin besar pula potensi penyalahgunaan kekuasaan itu. 

Kelima, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dibawah UUD 1945 pra amandemen merupakan lembaga negara tertinggi hal itu sebagaimana tersirat pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 pra amandemen yang menyatakan bahwa "Kedaulatan berada ditangan rakyat, dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat". Sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat Presiden dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 pra amandemen bahwa "Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak". Kondisi ini hanya akan mengulang pengalaman sejarah yang sama seperti pada masa orde baru. Dibawah sistem yang diciptakan oleh UUD 1945 pra amandemen ini mengenai jabatan Presiden dan Wakil Presiden terbuka paling tidak dua kemungkinan, pertama Presiden akan berkuasa sangat lama jika yang menjadi Presiden adalah ketua umum partai politik dengan latar belakang petinggi militer. Dengan keadaan yang demikian maka akan sangat mudah baginya mengendalikan parlemen dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan jalan mendudukkan orang-orangnya yang sejalan dengan pandangan politiknya untuk mendompleng kekuasaannya. Atau keadaan yang kedua yaitu seringnya gonta-ganti perdana menteri dan kabinet. 

Sebab UUD 1945 pra amandemen menganut sistem parlementer yang ditandai dengan pemusatan kekuasaan pada parlemen. Selain itu pengaturan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) misalnya, pada UUD 1945 pra amandemen dapat dikatakan tidak mengaturnya sama sekali. Kondisi demikian jika kembali ke UUD 1945 pra amandemen terbuka peluang bagi pemerintah untuk bertindak semena-mena melakukan pelanggaran HAM tanpa ada acuan konstitusional untuk memimta pertanggungjawaban. Sementara pada UUD 1945 pasca amandemen Hak Asasi Manusia menjadi tema sentral sehingga pengaturannya dapat dijumpai dalam banyak pasal kendatipun bersifat sangat liberal. Sebab itu pikiran untuk kembali ke UUD 1945 pra amandemen perlu dipertimbangkan kembali dan mesti ada kajian akademik yang panjang untuk menciptakan design ketatanegaraan yang efektif. Menurut saya akan lebih baik pada pilihan mengamandemen UUD 1945 yang berlaku saat ini sehingga kebaikan-kebaikan dalam UUD 1945 pra amandemen dapat diakomodir kembali dan dapat pula memperbaiki apa yang telah ada menjadi lebih baik sehingga sistem politik, maupun pemerintahan menjadi lebih stabil.

Rabu, 09 November 2022

Kuasa Materi

Kuasa Materi

Oleh: Syahdi

(Cendekiawan Muslim)

Kegandrungan hidup pada materi sering dipersalahkan atas kebangkrutan nalar sehingga seseorang kehilangan kemampuan untuk mengerti baik-buruk, benar-salah. Dengan kondisi nalar yang bangkrut dan ringsek itu seorang dengan seabrek gelar akademik, dengan status sosial yang dianggap terpandang namun pada kenyataannya tidak ubahnya bagaikan seorang idiot yang tidak mampu berpikir. Jika materi sudah menguasai diri dan meruntuhkan nalar maka manusia hidupnya tidak ada bedanya dengan kehidupan hewan yang hanya memikirkan perut. Betapa pengaruh materi mampu merusak dan menyeret seseorang menjadi sedemikian berkarat ke tingkat separah itu. Seseorang dapat bertransformasi menjadi tipikal tempramen akibat ketidaksabarannya atas kemiskinan juga di dalangi oleh materi. Maraknya perceraian dalam banyak kasus juga disebabkan oleh materi sehingga seorang suami dianggap tidak bertanggung jawab menafkahi keluarganya meskipun ia telah berjuang dalam kepayahan dan menderita hidupnya demi anak istrinya tetap tercukupi makan dan minumnya. Demikian pula tumpah-ruahnya korupsi, perampokan, pencurian dan sejenisnya juga imbas dari materi. 

Tidak dapat terbantahkan bahwa betapapun juga materi merupakan pendobrak paling kuat dalam menopang kehidupan. Keberadaannya tidak sekedar untuk survive. Tapi materi dapat membangun peradaban, di sisi lain dapat pula meruntuhkannya dengan singkat. Materi dapat membangkitkan kepekaan dan kepedulian sosial yang kuat sehingga menjadi faktor pendorong yang menginisiasi rasa simpati dan empati yang tebal. Dengan materi pula seseorang menjadi sangat arogan, rakus, dan bebal. Sebab itu kita tidak heran dalam kelobaan dan kebebalan itu orang-orang rela bersitegang dan berlomba entah itu demi memberi makan perut yang kelaparan maupun memberi makan keinginan menjadi kaya dengan gaya hidup yang elitis. Pembusukan sengaja disebar agar penguasaan materi tersentralisasi kepada orang-orang tertentu hingga menjadikannya mendominasi. Setelah mendominasi lalu ia pun berkata: "Akulah yang memberi kalian kehidupan, maka dengarkan dan patuhilah aku dengan penuh pengharapan".

Tidak ada benteng paling kuat menahan otoritarianisme materi selain kesabaran yang dilandasi oleh akal yang terhubung kepada tuhan atau akal yang dituntun moralitas untuk mampu bertahan dalam keadaan sesulit apapun. Kuasa materi yang begitu kuat mampu menyerap habis kesempatan untuk berpikir jernih mengorbitkan pikiran-pikiran yang mencerahkan. Orang-orang hidupnya di didik dibawah kuasa materi sehingga menjadikan banyak orang serba materialistik, penuh perhitungan untung-rugi, individualis, tidak punya kepedulian kepada soal-soal kemasyarakatan yang berkembang. Orang-orang yang tidak mampu bertahan di bawah kuasa materi akhirnya termaginalkan dan terpaksa terbenam dalam hidup yang kumuh dan lusuh sementara tidak ada seorangpun juga yang peduli padanya hingga ia menghadap tuhan yang maha kuasa.

Materi dapat memadamkan cahaya akal disamping ia dapat pula melatarbelakangi kelahiran sebuah gagasan pembebasan atas perbudakan dan penindasan. Dalam kondisi kekurangan dan ketiadaan materi dapat membangkitkan semangat juang yang tinggi untuk memperbaiki hidup yang lebih baik. Dengan kondisi kekurangan materi pula banyak orang memilih gantung diri mengakhiri hidupnya secara tragis. Diantara efek materi yang paling merisaukan ialah menganggu pertumbuhan nalar sehingga menjadikan banyak orang idiot dan terbelakang, menghalangi terbitnya ide dan gerakan pencerahan yang merestorasi mentalitas budak masyarakat menjadi orang-orang yang memiliki kesadaran hidup kolektif untuk pembangunan mental, moral dan intelektual. Kondisi inilah yang paling berat, tidak dapat tidak orang-orang yang masih waras akal pikirannya harus berkonfrontasi, mendirikan bangunan nalar yang kokoh menghebatkan perlawanan untuk menyadarkan orang-orang yang tenggelam dalam lautan materi yang dalam.

Sejarah telah banyak mengajarkan kepada kita bahwa dari zaman ke zaman selalu ada perjuangan pembebasan perbudakan dan penindasan, ada segelintir orang yang menolak kemapanan karena kesadaran nurani dan pikirannya untuk menjaga agar tidak diperbudak materi dan mewakafkan hidupnya untuk banyak orang. Sementara banyak orang yang rela melakukan segalanya untuk menjadi kaya meskipun dengan jalan memperbudak dan memiskinkan banyak orang. Ada orang yang bagus moralnya maka ia disebut orang baik, ada pula yang rendah kualitas moralnya maka ia pun dikenal sebagai orang yang buruk dan rusak, inilah  realitas sejarah yang terus berulang dari zaman ke zaman sebagai sebentuk sunnatullah yang berlaku atas manusia. Hanya saja pada tiap pengalaman hendaknya menjadi guru bagi tugas berat di masa kini dan masa yang akan datang untuk terus mengikhtiarkan perbaikan kondisi kemasyarakatan, dan yang paling terpenting kondisi nalar. Perjuangan merawat dan memelihara nalar yang sehat dan jernih jauh lebih berat di tengah ketidakwarasan dan kebobrokan di banyak aspek ketimbang berkonfrontasi panjang dengan kedigdayaan materi yang mampu mengontrol dan mengubah segalanya. Demikianlah kuasa materi, dengan otoritarianismenya ia dapat melakukan apa saja bagi orang-orang yang memujanya dan mengkultuskannya. 

Sabtu, 24 September 2022

Menggagas Pemilu Yang Efektif dan Efisien


Menggagas Pemilu Yang Efektif dan Efisien

Oleh: Syahdi

(Pemerhati Hukum dan Konstitusi)

Munculnya banyak komentar tentang pemilihan umum berbiaya tinggi harus menjadi perhatian yang serius bagi siapa saja yang konsen pada pemilihan umum dan dinamikanya dari tahun ke tahun. Terutama sekali bagi pembentuk undang-undang agar legislasi pemilihan umum dapat diperbaharui sehingga semakin membaik dan responsif terhadap perkembangan zaman. Sudah seharusnya kita pikirkan kembali matang-matang konsep pemilihan umum yang ideal dan yang paling terpenting model pemilihan umum yang efektif dan efisien. Sudah banyak kasus yang sampai kepada kita melalui pemberitaan di berbagai media menyuguhkan permasalahan yang bergulir saja seakan tanpa ada upaya yang berarti untuk memperbaiki model pemilihan umum yang diterapkan. 

Undang-undang pemilihan umum dirancang bersifat matematik mengakibatkan tingginya biaya pemilihan umum. Misalnya saja mengenai kebijakan penentuan daerah pemilihan untuk menjadi anggota DPR RI, dikutip dari CNN Indonesia, pada pemilihan umum tahun 2019 lalu KPU RI menetapkan 80 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut meningkat dari pemilihan umum tahun 2014 yaitu sebanyak 77 daerah pemilihan. Melonjaknya penambahan daerah pemilihan menjadi 80 daerah pemilihan pada pemilihan umum tahun 2019 terjadi di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara dan Nusa Tenggara Barat. Pembentuk undang-undang berpendapat bahwa penambahan daerah pemilihan tersebut sebagai imbas dari bertambahnya jumlah kursi anggota DPR RI yaitu sebanyak 575 kursi pada pemilihan umum tahun 2019, sedangkan pada pemilihan umum tahun 2014 ada sebanyak 540 kursi. 

Sementara itu jumlah daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPRD provinsi seluruh Indonesia yaitu sebanyak 272 daerah pemilihan. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan jumlah daerah pemilihan pada pemilihan umum tahun 2014 yaitu sebanyak 259 daerah pemilihan. Demikian pula halnya dengan jumlah daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia yaitu 2.206 daerah pemilihan pada pemilihan umum tahun 2019. Jumlah tersebut juga mengalami peningkatan dibandingkan jumlah daerah pemilihan pada pemilihan umum tahun 2014 yaitu sebanyak 2.102 daerah pemilihan untuk seluruh Indonesia. Kalkulasinya sama dengan banyaknya jumlah daerah pemilihan DPR RI yaitu bertambahnya jumlah kursi yang diperebutkan dalam pemilihan umum. Disinilah tidak bijaksananya pembentuk undang-undang pemilihan umum. Menggunakan indikator jumlah kursi sebagai acuan untuk memperbanyak jumlah daerah pemilihan dalam pemilihan umum tidak tepat. 

Jika ditelusuri latar belakang paradigma penambahan jumlah daerah pemilihan tersebut tidak akan jauh-jauh dari pikiran tentang legitimasi anggota parlemen. Legitimasi seseorang menjadi anggota DPR RI misalnya diukur dari seberapa merata penyebaran dukungan dari jumlah provinsi di Indonesia. Demikian pula untuk anggota DPRD kabupaten/kota, termasuk pula pada pemilihan kepala daerah. Undang-undang mensyaratkan bahwa derajat legitimasi seseorang menjadi anggota parlemen harus berbanding lurus dengan derajat representasinya di daerah. Artinya semakin banyak daerah pemilihan semakin seseorang itu dipandang representatif. Disinilah paradigma pemilihan umum yang untuk sementara ini sampai hari ini dinilai berkualitas itu dibentuk. Keadaan itulah yang membuat tingginya biaya penyelenggaraan pemilihan umum itu. Jika seseorang mencalonkan sebagai angggota DPR RI misalnya, maka dia harus turun kampanye ke masyarakat di semua daerah pemilihannya yang meliputi beberapa provinsi. 

Dari situ kita bisa menduga berapa banyak  biaya yang dihabiskan oleh seorang calon. Itu bukanlah biaya yang sedikit. Belum lagi berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk mencetak surat suara untuk selanjutnya disebar ke seluruh daerah pemilihan tersebut. Masih ditambah lagi dengan biaya distribusi ke seluruh daerah pemilihan. Bayangkan itu hanya biaya untuk surat suara saja. Bagaimana pula dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk logistik pemilihan umum yang lainnya. Akumulasi dari semua hal tersebut menjadikan pemilihan umum berbiaya tinggi. Kendatipun demikian mengenai logistik pemilihan umum ini tak lain adalah soal proyek, soal bisnis dan soal sirkulasi uang. Sementara retorika yang selalu dimunculkan adalah pemilihan umum yang demokratis dan berkualitas. Padahal keadaannya jelas sangat membebani keuangan negara dan yang dipertaruhkan adalah pemilihan umum itu sendiri. 

Data dari publikasi informasi sekretariat kabinet terbit tanggal 26 Maret 2019 menyebutkan bahwa pemerintah melalui kementerian keuangan mengalokasikan anggaran pemilihan umum 2019 sebesar 25, 59 triliun atau naik sebanyak 61 % dari anggaran pemilihan umum tahun 2014 sebesar 15, 62 triliun. Meskipun data tersebut masih berupa data global untuk keseluruhan biaya yang dihabiskan untuk penyelenggaran pemilihan umum tetap saja jumlah tersebut sangat banyak dan membebani APBN. Banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan umum hanya satu dari sekian masalah. Model pemilihan umum berbiaya tinggi tersebut nyatanya telah menjadi pemicu paling dominan dalam menyuburkan praktik money politic. Keadaan itu satu sisi merupakan konsekuensi logis yang diciptakan oleh undang-undang pemilihan umum yang kapitalistik. Dengan undang-undang yang kapitalistik seperti itu tidak hanya menginisiasi maraknya money politic. 

Jika sudah demikian keadaannya, masalah yang sebenarnya bukan lagi terletak pada soal money politic, tetapi pada kerusakan moral atau degradasi moral yang mendorong seseorang mau tidak mau, suka tidak suka harus berpikir dan berprilaku serba pragmatis dan oportunis. Lagi-lagi kondisi tersebut akhirnya mendidik seseorang khususnya siapapun yang ingin menjadi pejabat publik melalui mekanisme pemilihan umum menjadi sangat materialistik, serba money oriented dan berpikir serba untung-rugi. Sementara yang dipertaruhkan adalah kemaslahatan umum. Ini sama saja sebentuk "legalisasi" perjudian dalam pemilihan umum. Kemerosotan moral tersebut belum selesai sampai disitu. Setelah menjadi pejabat publik masa-masa yang panjang dalam memegang jabatan dihabiskan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya uang sebagai ganti biaya yang dikeluarkan pada kampanye pemilihan umum, terus berlanjut memperkaya diri dengan korupsi, gratifikasi, manipulasi anggaran, dan lain sebagainya. 

Jadi nyatalah dihadapan kita bahwa pemilihan umum berbiaya tinggi hanya akan menciptakan generasi para pejabat yang bobrok secara moral dan lestarinya perilaku korupsi. Itu jugalah yang membuat bangsa ini memiliki ikatan persaudaraan yang kuat dengan korupsi yang tidak akan pernah selesai dengan upaya-upaya pemberantasan secanggih apapun juga. Sadarlah kita pemilihan umum berbiaya tinggi menciptakan efek domino yang panjang. Pemilihan umum akhirnya hanya soal persepsi tentang penggantian penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum dari yang buruk ke yang lebih buruk lagi, dari yang rusak ke yang lebih rusak lagi demikian seterusnya. Jarang sekali sepertinya orang menyangka bahwa masalah ini disebabkan kebijakan regulatif pemilihan umum yang membuat banyaknya daerah pemilihan. 

Soal jumlah daerah pemilihan ini harus di dudukkan ulang, dipikirkan ulang. Bahwa legitimasi seseorang yang disandarkan kepada jumlah daerah pemilihan sebagai cerminan dari representasinya perlu dikoreksi. Jumlah daerah pemilihan harus dikurangi, disederhanakan, bahkan paradigma legitimasi dan representasi itu harus diperbaiki. Secara matematik kita bisa saja mengusulkan bahwa jumlah daerah pemilihan itu tidak mesti harus mencapai lima puluh persen dari total propinsi untuk pemilihan anggota DPR RI atau lima puluh persen dari total kabupaten/kota untuk pemilihan anggota DPRD. Sementara itu di sisi lain sampai saat ini konsepsi dan regulasi pemilihan umum kita masih terus bermasalah dengan diberlakukannya presidenthial threshold yang membatasi hak konstitusional warganegara untuk dicalonkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum. 

Tidak hanya soal pembatasan hak yang bersifat inkonstitusional, tetapi bahaya lain yang dapat merusak dan mengacaukan penyelenggaraan negara akibat konspirasi oligarki dan kapitalis untuk menguasai aspek-aspek penting sehingga pemerintahan menjadi sangat otoriter dan tanpa kontrol yang berarti. Sebab itulah sudah semestinya dilakukan kajian akademik yang lebih mendalam sehingga kriteria atau indikator legitimasi pemilihan umum atau kualitas pemilihan umum itu lebih baik dari sisi konseptual dalam arti tidak menimbulkan masalah yang serius ketika diimplementasikan. Jika model regulatif pemilihan umum seperti itu terus dipertahankan sulit kita bicara pemilihan umum akan efektif terlebih efisien. Sebab yang nyata adanya adalah wajah pemilihan umum yang kapitalistik, menginisiasi degradasi moral dan merebaknya money politic, korupsi dan lain sebagainya. Sebab itu tidak dapat tidak masalah yang serius ini harus cepat-cepat diselesaikan.

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat

Hak Angket DPR Dalam Dugaan Pelanggaran Pemilu Tidak Tepat Oleh: Syahdi Firman, S.H., M.H (Pemerhati Hukum Tata Negara) Beberapa hari pasca ...